
Fariq Alfaruqi merespons pembicara
Padang, sumbarsatu.com—Membaca “Susi” sebagai subjek terbuka sungguh berbeda ketika membaca nama-nama dalam karya penyair lain yang diambil dari khasanah lain dalam penulisan puisi, misalnya nama Malin Kundang, Don Quizote, dan Kartosuwiryo. “Susi” adalah sebuah nama tanpa keterikatan yang ketat dan berbeban berat dengan teks lain. Dan ini dijadikan penulisnya suatu strategi puitik yang mencengangkan.
Pembicara bedah buku
Hal itu dikatakan Heru Joni Putra (HJP), penyair dan alumni Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unand, dalam bedah buku kumpulan puisi “Susi” (Sajak-sajak 2008-2013) karya Gus tf (2015), kerja sama Penerbit Kabarita dengan Labor Penulisan Kreatif FIB Unand, Senin (14/9/2015) di Ruang Seminar FIB.
Bedah buku setengah hari ini, diikuti ratusan mahasiswa FIB, dihadiri maestro sastra Rusli Marzuki Saria. Kalangan sastrawan tampak Yusrizal KW, Romi Zarman, Maya Lestari Gf, Alizar Tanjung, Fariq Alfaruqi, Ramoun Apta, Pinto Anugerah, dan staf pengajar FIB Gusdi Sastra, Armaini Arbain.
Selain HJP, pembedah “Susi” lainnya Reno Wulan Sari (RWS), dosen Kajian Puisi Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand. Bedah buku ini dimoderatori dengan dinamis Andesta Herli.
Dalam makalah 11 halaman dengan judul “Subjek Terbuka” itu, HJP lebih jauh mengatakan, sebagai subjek terbuka, ia membaca “Susi” dalam dua arah. Pertama, katanya, “Susi” terbuka terhadap dirinya sendiri. Kedua, “Susi” terbuka terhadap hal di luar dirinya.
“Susi” bukan subjek yang membawa suatu wacana dominan dalam dirinya, yang kerap mengintervensi pemaknaan atas siapa dirinya ketika ia berada di pelbagai kemungkinan ruang. Ia bukan subjek serampangan,” kata HJP.
Ketika “Susi” subjek terbuka dengan yang berada di luar dirinya, lanjutnya, ia menunjukkan dirinya sebagai subjek yang senantiasa mencari kemungkinan dunia lain.
“Susi” berada dalam kondisi pelbagai ruang yang satu dengan yg lainnya dalam hubungan komparatif. Dan “Susi” suka mengarahkan dirinya ke dunia yang mahaluas,” terang HJP saat merespons tanggapan dari yang lainnya.
Sementara itu Reno Wulan Sari, melihat “Susi” dalam perspektif lain. Dalam artikel yang berjudul “Susi” dan Dimensi: Mengaitkan yang “Saling Hubung Tak Mengikat”, yang ia bentangkan dalam pembacaannya, mengatakan, sajak-sajak dalam “Susi” seolah mendekatkan kembali manusia pada alam, pada semesta, dan pada keyakinan; sesuatu yang bersifat cahaya dan energi.
“Dalam konsep sejarah, segala peristiwa bisa berupa pengulangan, perkembangan, atau perubahan. “Susi” adalah pengulangan yang berserakan, yang sesungguhnya bisa dikumpulkan karena satu dan yang lainnya saling berkaitan,” kata RWS sembari mencontohkan puisi Gus tf yang terkait dengan itu, seperti Susi tumbuh, Susi berganti (Susi Empat, Susi Bilangan).
Menurutnya, sajak-sajak yang ia contohkan itu, terdapat pengulangan mitos, seperti angka empat dalam konteks Minangkabau dikaitkan dengan selaput jari dalam kisah Oryana.
“Lalu apa yang mengaitkan antarsajak dalam “Susi”? Pertama adalah diksi, dan kedua adalah tema,” kata RWS lagi.
Lalu lebih jauh ia katakan, diksi yang digunakan dalam “Susi” secara berulang bisa diklasifikasikan pada beberapa isotopi: jagat raya, fisika, tubuh, Minangkabau, supranatural. Sedangkan tema, sajak-sajak dalam “Susi” berada pada ide-ide yang serumpun namun berbeda dimensi.
“Susi” itu bisa menjadi pronomina atau nomina. Bisa terlihat, juga bisa tidak. “Susi” bisa jadi energi, cahaya, atau keyakinan,” katanya.
Setelah bedah buku, penulis “Susi”, Gus tf, memaparkan proses kreatif dan motif kepengarangannya yang lakoni lebih 30 tahun itu. “Saya memilih jadi penulis dengan konsisten dan konsekuensinya. Tapi, tentu saya tak akan menjelaskan arti dan makna dalam sajak-sajak “Susi” itu. Biarkan pembaca menafsirkannya,” katanya.
Selain bedah buku itu, Labor Penulisan Kreatif membuka bazar mini buku-buku di depan pintu masuk ruang seminar. “Lumayan, banyak yang beli,” kata Dini, salah seorang pelaksana acara dengan suara lirihnya.
Buku “Susi” merupakan kumpulan sajak Gus tf 2008-2013 yang diterbitkan Kabarita, sebuah penerbit di Kota Padang yang fokus pada buku-buku bermutu, pada 2015. Sebelumnya, buku puisi Odong-odong Fort De Kock karya Deddy Arsya, sebagai buku terbaik tahun 2013 pilihan Majalah Berita Mingguan Tempo. (NA)