Yudi bersama Hanibal, orangtua asuhnya, di depan Sabuga ITB
Sungai Sariak, sumbarsatu.com – Di mana ada kemauan di situ ada jalan ternyata bukan sekadar ungkapan kata penghibur untuk orang-orang yang didera kesulitan hidup. Sudah banyak yang membuktikan kebenarannya, seorang di antaranya adalah Yudi April Nando.
Anak muda kelahiran 10 April 1992 ini merupakan anak kelima dari 6 bersaudara, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani, sedangkan ibunya membantu sebagai pencari kayu bakar. Meski demikian, Yudi berhasil menamatkan pendidikannya pada Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai Sarjana Teknik Elektro dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,18 – sangat memuaskan.
Ketika dihubungi wartawan sumbarsatu.com, Minggu (10/8/2015) malam, Yudi mengaku baru saja sampai di kampungnya – Korong Buluah Kasok, Nagari Suingai Sariak, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Padang Pariaman. “Iya, Pak, saya sengaja pulang dulu untuk mengurus kelengkapan surat-surat untuk melanjutkan kuliah ke program magister sembari mencari mencari kerja,” ujarnya.
Keberhasilannya menamatkan kuliah, kata Yudi, tidak hanya membuahkan kebanggaan dan rasa syukur keluarga, tetapi sekaligus tantangan untuk segera memperoleh pekerjaan untuk mengaplikasikan ilmu dan keahlian. Sebab, ia ingin berbakti kepada kedua orangtua kandung dan orangtua asuhnya serta membiayai kelanjutan pendidikan adik perempuannya yang kini sudah Kelas XII SMA.
“Saya Berasal dari keluarga susah secara ekonomi, Pak. Oleh karena itu saya ingin segera bekerja guna memperoleh penghasilan agar bisa membantu keluarga supaya bisa hidup layak,” cetusnya lagi. Keempat kakak Yudi hanya tamatan SD dan merantau ke Bandung, Batam dan Tangerang.
Setelah menamatkan SD 15 Buluh Kasok (2005), Yudi melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 VII. Sewaktu Kelas IX, kepala sekolahnya waktu itu memperkenalkan Yudi dengan H Hanibal SE MM, kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Padang Pariaman. “Pak Hanibal bersama isterinya, Bu Suryelita, kemudian menjadi orangtua asuh saya hingga saat ini,” aku Yudi.
Setamat SMP (2008), lanjut Yudi, atas saran Hanibal, ia melanjutkan ke SMA 1 Pariaman dan tamat 2011 dengan meraih nilai ujian nasional (UN) tertinggi di Sumbar, rata-rata 9,5. Ia pun memilih masuk ITB pada program studi Teknik Elektro dan berhasil meraih sarjana dalam 8 semester dengan IPK 3,18. Tugas Akhir (TA)-nya membuat alat pencari pembuluh vena yang sangat bermanfaat bagi dunia medis.
Meski kuliah di ITB dengan program bidik misi, urai Yudi, ia masih butuh tambahan banyak biaya. “Alhamdulillah… Pak Hanibal dan Bu Suryelita menanggung seluruh biaya yang saya butuhkan, bahkan biaya ayah dan ibu serta adik saya pergi ke Bandung untuk menghadiri wisuda saya di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Sabtu 1 Agustus 2015,” papar dia.
Mengutip catatan Tomi Tanbijo pada media sosial facebook, kisah hidup Yudi menempuh pendidikan hingga sampai jenjang perguruan tinggi sangat mengharukan. Sampai-sampai mata saya berlinang mendengarkan cerita pilu ibu, ayah dan adiknya saat wawancara di rumahnya saat Yudi dinyatakan lulus di ITB.
 
 Bahkan, saat menuliskan kisahnya menjadi sebuah feature untuk diterbitkan di media, emosi saya tak bisa tertahan. Mata saya berlinang. Saya sampai geleng-geleng kepala mendengarkan rekaman wawancara berisi cerita demi cerita kisah keluarga Yudi. 
 
 Saya bersyukur pernah dipertemukan dengan anak muda sehebat Yudi. Dari kisah hidupnya, saya dapat pelajaran berharga. Mata saya terbuka. Saya sadar betapa penting dan berharganya pendidikan.
 
 Latar belakang kehidupan ekonomi keluarga yang sangat memprihatinkan, ayah dan ibu hanya berprofesi sebagai buruh tani dan pencari kayu bakar, tak menyurutkan semangat dan tekad Yudi untuk terus belajar dan menempuh pendidikan setinggi mungkin.
 
 Modal tekad baja dan sungguh-sungguh menempuh pendidikan berbuah manis. Dari SD sampai SLTA Yudi jadi langganan juara kelas, Bahkan, kemudian tercatat sebagai peraih nilai UN tertinggi tingkat SLTA tahun 2011 di Sumbar.
 
 Setelah empat tahun berlalu, saya pun jarang berkomunikasi via facebook dengan Yudi. Sabtu, 1 Agustus 2015, saya mendapat kabar bahagia, Yudi telah diwisuda dan lulus dari ITB.
 
 Kabar bahagia itu saya dapat dari salah satu wall teman Yudi. Di wall facebook itu saya melihat Yudi berfoto dengan pakaian wisuda sambil diapit oleh ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya memegang sekuntum bunga kebahagiaan. 
 
 Bunga yang mungkin mewakili suasana hati ayah ibu Yudi saat itu. Bunga yang menyimbolkan betapa berbunga-bunganya hati keduanya bisa menginjakkan kaki di gedung semegah Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB menyaksikan putra tercinta memakai toga wisuda.
 
 Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, senang pun datang kemudian. Pahit dulu, kini telah berbuah manis. Apa yang dulu pernah disemai, kini bertahap telah bisa dituai. Selangkah, duka itu telah berbuah suka.
 
 Cemooh orang sekampung kala itu, yang tak percaya Yudi bisa kuliah di ITB, kini dia jawab dengan secarik kertas bernama ijazah. Ayah dan ibunya yang dulu tak pernah punya mimpi bisa sampai menginjakkan kaki ke kampus ITB, kini terwujud sudah.
 
 Selangkah jalan terjal penuh kerikil telah kau lalui Yudi. Di depan sana masih panjang kisah yang akan kau lalui. Itulah dunia yang sebenarnya. Dunia yang belum bisa ditebak kondisinya. Bisa keras dan bisa pula lunak bahkan biasa-biasa saja. 
 
 Selamat ya, Yudi April Nando ST. Sukses untukmu dan keluargamu. Semoga kau tetap istiqamah mewujudkan cita-cita besar keluarga-mu. Selamat Ajo Ali Ninih, kini putra-mu telah jadi sarjana. 
 
 Bawalah kabar bahagia itu ke kampung. Bukalah mata orang kampung, bahwa pendidikan tak melulu milik mereka orang kota dan orang berada saja. Jika bersungguh-sungguh, kita juga bisa. Bahkan, mungkin bisa melebihi mereka. (SSC)
Laporan: Zakirman Tanjung