Koreografer Erwin Mardiansyah Bawakan “Menapak Jejak, Meniti Asal” di BIPAF 2025: Narasi Tiga Tubuh, Tiga Jejak

Jum'at, 24/10/2025 16:41 WIB
-Karya koreografer Erwin Mardiansyah Menapak Jejak, Meniti Asal yang dibawakan oleh Komunitas Seni PagaArt Movement tampil memukau fi perhelatan Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) 2025.

-Karya koreografer Erwin Mardiansyah Menapak Jejak, Meniti Asal yang dibawakan oleh Komunitas Seni PagaArt Movement tampil memukau fi perhelatan Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) 2025.

Bandung, sumbarsatu.com — Karya koreografer Erwin Mardiansyah berjudul Menapak Jejak, Meniti Asal yang dibawakan oleh Komunitas Seni PagaArt Movement mendapat sambutan positif dari publik pencinta seni dalam perhelatan Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) 2025, yang digelar di pelataran Gedung Isola, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kamis (23/10/2025) malam.

Karya ini menghadirkan tiga penari dengan latar gerak yang berbeda: silek Minangkabau yang lentur dan rendah, silat Sunda yang halus dan tertahan, serta karate yang tegas dan langsung. Ketiganya tidak menampilkan tradisi secara bentuk, melainkan menelusuri jejaknya melalui tubuh—melalui refleks, pijakan, napas, dan cara merespons ruang.

Menurut Erwin Mardiansyah, karya ini berangkat dari gagasan tentang tubuh sebagai arsip budaya yang hidup dan terus beradaptasi.

“Kami ingin membaca tradisi bukan sebagai sesuatu yang selesai, tetapi sebagai ingatan yang hidup dalam tubuh dan terus menyesuaikan diri dengan zaman,” ujar Erwin setelah pementasan.

Selama sekitar 30 menit, tiga tubuh penari saling berinteraksi dalam benturan, ukur, hindar, hingga negosiasi. Dari ketegangan itulah lahir bentuk-bentuk baru yang cair dan tak pasti—sebuah metafora tentang identitas manusia modern yang terus berubah.

Erwin bersama dua penari lainnya, Rio Tirta Trenggana dan Salmalia Larassari Alamsyah, menampilkan tubuh sebagai ruang dialog lintas budaya.

“Asal bukan sesuatu yang harus dicari kembali, melainkan dititi dan dihidupi melalui perjumpaan hari ini,” tambahnya.

Koreografi Menapak Jejak, Meniti Asal dibangun dalam empat babak dramaturgi: Jejak, Benturan, Negosiasi, dan Meniti Asal. Pertemuan tubuh-tubuh itu bermula dari gesekan dan perbedaan, lalu berkembang menjadi proses saling membaca, meniru, dan menyesuaikan diri untuk menemukan bentuk baru yang cair.

Secara visual, karya ini ditata dalam ruang panggung kosong dengan cahaya lembut yang mengikuti arah tubuh, membentuk ruang imajiner tempat “jejak” hidup. Musik digarap oleh Zharif Hezarpili, menggabungkan bunyi tubuh, elemen elektronik halus, dan potongan suara alat musik tradisional. Rizky Mulyana bertanggung jawab atas visualisasi karya, sementara Farah Nurul Azizah bertindak sebagai pimpinan produksi.

Seluruh penari mengenakan kostum hitam polos—simbol kesederhanaan sekaligus ruang netral tempat identitas dapat bertransformasi. Dalam konteks estetik, warna hitam dimaknai sebagai “ruang asal” sebelum bentuk, serta “ruang batin” tempat tubuh mencari keseimbangan antara masa lalu dan masa kini.

Melalui pertemuan tiga tubuh dari tiga latar budaya, karya ini mengisyaratkan bahwa identitas bukan warisan statis, melainkan proses yang terus berubah dan dinegosiasikan.

“Kami ingin menghadirkan tubuh sebagai ruang dialog lintas budaya. Dalam dunia yang semakin bercampur, manusia menapak jejak masa lalu sambil meniti asal-usul yang terus bergeser,” tutup Erwin.

Pertunjukan PagaArt Movement menjadi bagian dari 13 penampil dari lima negara — Indonesia, Tiongkok, Jepang, Malaysia, dan India — yang tampil dalam BIPAF 2025, festival seni pertunjukan tahunan berskala internasional yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dengan tema “Identity and Community Building.”

Festival yang berlangsung pada 21–23 Oktober 2025 di panggung terbuka Villa Isola UPI Bandung ini menghadirkan karya-karya inovatif yang menegaskan semangat keberagaman dan dialog lintas budaya melalui bahasa tubuh, irama, dan makna.

Merayakan Keberagaman

BIPAF 2025 ini merayakan semangat multicultural sebagai tema utama yang  menegaskan komitmen BIPAF dalam membangun dialog antarbudaya melalui seni pertunjukan. Festival seni pertunjukan tahunan ini bukan sekadar ajang pementasan, melainkan ruang dialog dan perjumpaan antara seniman, pendidik, serta komunitas kreatif dari berbagai negara.

Sebanyak 13 karya seniman tampil menafsir ulang batas-batas budaya melalui bahasa tubuh, teater tari, dan pertunjukan kontemporer.

“Tahun demi tahun, BIPAF hadir bukan hanya sebagai festival, tetapi sebagai ruang perjumpaan lintas budaya dan lintas generasi — tempat di mana gagasan, nilai, dan ekspresi seni saling menyapa,” ujar Ayo Sunaryo, Direktur BIPAF 2025, dalam keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

Ia menambahkan, tema Multicultural tahun ini menjadi napas utama festival — sebuah ajakan untuk merayakan perbedaan sebagai kekuatan kreatif, bukan sebagai batas pemisah.

“Melalui kehadiran 13 penampil dari lima negara, kita menyaksikan bagaimana setiap karya lahir dari konteks budaya yang unik, namun berbicara dalam bahasa universal: bahasa gerak, irama, dan makna,” lanjutnya.

BIPAF 2025 dirancang dalam format panggung terbuka (outdoor) dengan latar megah Villa Isola — bangunan bersejarah yang merepresentasikan identitas kampus dan jejak kolonial yang kini dihidupkan kembali dalam konteks pendidikan dan seni.

Melalui program showcase, pitching, dan diskusi bersama para direktur festival dari berbagai negara, BIPAF menjadi jembatan kolaboratif antara seniman lokal dan internasional.

Festival ini diinisiasi oleh Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana UPI bersama BIPAF Community. Selama dua hari pengunjung disuguhkan paduan karya tari dan teater yang menembus batas formal pendidikan, menghadirkan seni sebagai medium pembelajaran sekaligus refleksi sosial.

Lebih jauh, BIPAF diharapkan menjadi katalisator bagi tumbuhnya ekosistem industri kreatif seni pertunjukan di Indonesia. ssc/m



BACA JUGA