
Mawardi Sirin dengan usahanya
Sawahlunto, sumbarsatu.com—Bak dokter dengan stetoskopnya, di lehar pria yang satu ini juga menggantung sebuah meteran panjang yang hampir saja menjangkau pinggangnya. Meteran itu menjadi sahabat setia baginya dalam menjalani kehidupan.
Berbekal pengalaman menjahit dari sang paman dan beberapa tahun menjadi tukang potong kain di salah satu konveksi di Pulau Jawa, membuat kakek sepuluh cucu ini terus bertahan dengan usaha menjahit, yang telah ditekuninya semenjak 33 tahun silam.
Dibantu sang istri, pria kelahiran 6 Desember 1959 itu, merintis usaha dengan satu mesin jahit, di bedeng seluas 24 meter persegi, yang disewanya di kawasan Muaro Kalaban Kecamatan Silungkang ‘Kota Arang’ Sawahlunto, Sumatera Barat.
Berkat keyakinannya akan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap jasa penjahit, kini H. Mawardi Sirin, yang mengembangkan usaha di bawah bendera CV. Ardi Tailor, telah memiliki sembilan karyawan tukang jahit.
Berdiri di ruas Lintas Sumatera yang dilintasi banyak masyarakat dari berbagai daerah, memberikan nilai tambah tersendiri bagi Ardi Tailor dalam mengangkat usaha jahitannya.
Tidak hanya di Sawahlunto, nama Ardi Tailor kini juga berkibar hingga ke Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya. Belasan hingga puluhan stel pakaian dinas maupun biasa, dipotong dan dijahit setiap hari di workshopnya.
“Alhamdulillah, masyarakat terus memberikan kepercayaan dalam memanfaatkan jasa jahitan yang kami sediakan,” ungkap Mawardi Sirin, pekan ini.
Berkembangnya usaha jahitan Ardi tailor, tidak terjadi begitu saja, baginya memenuhi janji dan tepat waktu, menjadi kunci utama dalam mengembangkan usaha jasa tersebut. Jika tidak, bersiap-siap saja untuk ditinggalkan pelanggan.
Bagi pria yang akrab disapa Ardi itu, berusaha itu harus semangat dan tidak ada kata menyerah. Di luar waktu menjalankan perintah Allah SWT, Ardi fokus mengembangkan usaha jahitannya.
Semangatnya itu pula yang membuatnya mampu menyelesaikan kontrak 6.000 stel pakaian karyawan Tambang Batubara Ombilin (TBO), perusahaan tambang batubara yang pernah bersinar terang di Indonesia itu, dalam kurun waktu hanya 70 hari.
Kerapian akan potongan dan jahitan yang dihasilkan Ardi Tailor, membuat pelanggannya terus bertambah dan bertahan. Setidaknya, dalam satu tahun jahitan yang masuk melampaui angka 1.500 stel.
Jumlah jahitan tersebut, belum termasuk pesanan yang bersifat borongan atau pesanan khusus dalam bentuk kelompok dengan satu macam jahitan dari sejumlah perusahaan, organisasi, atau perkumpulan.
Dengan meteran plastik yang selalu setia di pundaknya, Ardi mengungkapkan susahnya mencari tenaga karyawan penjahit maupun tukang potong kain. Padahal, upah menjadi maupun memotong kain terbilang menggiurkan.
Khusus untuk tukang jahit, Ardi menyisihkan 30 persen dari total jasa jahitan yang dibayarkan pelanggan. Sedangkan untuk tukang potong, suami Hj. Hesnar memberikan upah 10 persen.
“Kalau untuk upah potong memang hanya 10 persen. Namun dalam satu hari, tukang potong bisa menyelesaikan perkerjaan hingga puluhan stel. Jika ditotal, sebenarnya pendapatan tukang potong terbilang sangat besar,” terangnya.
Ardi pun membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar mendalami keterampilan menjahit. Bagi yang berminat tidak dipungut bayaran untuk belajar, malah ditanggung makan dua kali dalam sehari.
Jika sudah pandai, mereka yang belajar akan langsung diberikan upah, sesuai dengan hasil pekerjaan yang berhasil diselesaikan. Kalau dihitung, jebolan penjahit yang pernah belajar di Ardi Tailor sudah ratusan.
Ardi melihat, semangat masyarakat, khususnya kaum muda untuk belajar dan mendalami kerajinan menjahit sangat sedikit. Padahal, jika dibandingkan dengan pekerjaan kasar, upah yang didapatkan melalui menjadi jauh lebih menjanjikan.
Setidaknya, dengan menyelesaikan satu hingga dua stel jahitan dalam satu hari, seorang penjahit yang bekerja di Ardi Tailor, akan mampu mengantongi upah sekitar Rp500 ribu setiap akhir pekan.
Upah tersebut, sudah bersih. Sebab, para penjahit juga diberikan makan secara gratis dua kali dalam sehari, yang disediakan Ardi Tailor. Namun, upah yang sedemikian menggiurkan itu, belum mampu menarik kaum muda untuk terjun menjadi penjahit.
Kesulitan dalam mendapatkan tukang potong, ternyata jauh lebih sulit. Dalam tiga tahun terakhir, Ardi justru turun tangan sendiri, dalam menyelesaikan pemotongan pakaian yang masuk sendirian.
“Tidak ada jalan dan pilihan lain, hingga ada tukang potong dengan memiliki ide yang sama, saya akan terjun langsung memotong stel demi stel pelanggan yang masuk ke sini,” ujarnya.
Ardi memang tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk mendalami dan meneruskan usaha yang telah dirintis puluhan tahun itu. Ketiga anaknya kini, mulai mengembangkan usaha sendiri-sendiri.
Mulai dari berdagang sate, air minum isi ulang, hingga jual beli kendaraan. Baginya, usaha ditekuni sesuai dengan hobi dan selera. Sehingga, usaha yang dikembangkan sejiwa dengan pemiliknya.
Usaha menjahit telah mengantarkan pelanggan Harian Haluan itu, dengan berbagai capaian. Mulai dari tanah, rumah, hingga kendaraan. Jika awal tahun 1982 silam, Ardi tidak memiliki satu kendaraan pun, kini hasil usahanya memberikan Ardi kemampuan untuk menunggangi kendaraan yang lumayan mahal. (SSC/rel)