Dua Tersangka Operasi Pencucian Uang Judi Daring Ditangkap, Polisi Sita Aset Rp530 Miliar

Minggu, 11/05/2025 10:34 WIB
Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada memberi keterangan pers terkait penetapan tersangka dan penyitaan aset

Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada memberi keterangan pers terkait penetapan tersangka dan penyitaan aset

Jakarta, sumbarsatu.com—Selama hampir dua dekade, aktivitas mereka nyaris tak terendus. Di balik layar sistem keuangan digital Indonesia, dua orang—berinisial OHW dan H—membangun jejaring pencucian uang yang kompleks, canggih, dan lintas teknologi.

Berbekal perusahaan cangkang, ribuan rekening bank, dan celah regulasi pada sistem pembayaran digital, mereka diduga menjadi dalang operasi judi online terbesar yang pernah diungkap Bareskrim Polri.

Pengungkapan kasus ini dimulai dari analisis transaksi mencurigakan yang membanjiri sistem perbankan nasional. Petugas mendapati pola perputaran uang dalam jumlah besar melalui kanal-kanal yang tidak lazim: QRIS, mata uang kripto, dan setoran tunai dalam jumlah masif.

“Transaksinya masif, tersamar, dan dirancang untuk menghindari deteksi,” kata Komjen Wahyu Widada, Kepala Bareskrim Polri, seperti dilansir https://www.occrp.org/ Sabtu, (10/5/2025).

Skema tersebut, lanjut Wahyu, tak ubahnya seperti mesin pencuci raksasa: menerima dana kotor dari perjudian daring, memecahnya ke dalam ribuan transaksi kecil, lalu menyamarkannya menjadi dana legal melalui aset keuangan.

Dari Judi ke Obligasi

Modus mereka tidak sekadar menyimpan uang di rekening. Setelah dana terkumpul dari aktivitas judi daring, uang tersebut diputar ke dalam instrumen-instrumen yang biasa digunakan investor sah: obligasi pemerintah, surat utang, dan instrumen pasar uang lainnya. Dengan begitu, jejak asal-usul uang semakin kabur.

Bareskrim mengungkap bahwa jaringan ini menggunakan perusahaan bernama PT A2Z Solusindo Teknologi sebagai kendaraan utama. Perusahaan ini, beserta anak usahanya, memiliki ribuan rekening di atas nama institusi, memudahkan penyamaran dana dalam jumlah besar. Total ada 4.656 rekening bank tersebar di 22 bank nasional, yang digunakan sebagai perantara pencucian dana.

“Jelas ini bukan aksi individu. Ini operasi terorganisir dengan pemahaman sistemik terhadap teknologi keuangan dan celah hukum,” ujar seorang penyidik yang enggan disebut namanya.

Dalam operasinya, jaringan ini juga memanfaatkan penyedia jasa pembayaran digital (payment gateway) yang tersambung dengan sistem QRIS. Teknologi ini, yang awalnya dirancang untuk memudahkan UMKM dan memperluas inklusi keuangan, justru dibelokkan untuk transaksi ilegal.

Mewah di Atas Dana Gelap

Polisi mencatat nilai total aset yang berhasil disita mencapai Rp530 miliar atau sekitar USD 32,13 juta. Rinciannya meliputi:

  • Dana di rekening bank: Rp250 miliar
  • Surat berharga negara: Rp276 juta
  • Empat unit mobil mewah
  • 197 rekening tambahan di delapan bank lain

Seluruh dana yang disita akan dialihkan ke rekening khusus milik Kementerian Keuangan, sebagai bagian dari prosedur pemulihan aset negara.

Tersangka OHW dan H, menurut polisi, telah aktif dalam dunia perjudian online sejak 2007, dan mulai mengembangkan sistem pencucian uang sejak 2019. Dengan pengalaman panjang dan jejaring yang luas, mereka mampu beroperasi tanpa kecurigaan berarti hingga saat ini.

Pengungkapan ini menyoroti tantangan besar dalam regulasi ekonomi digital. Sistem QRIS, meski efektif dalam memperluas akses pembayaran digital, masih rentan disalahgunakan oleh pihak yang ingin menyamarkan transaksi. Demikian pula dengan mata uang kripto, yang hingga kini masih minim pengawasan terpusat di Indonesia.

Menurut pengamat ekonomi digital dari INDEF, Bhima Yudhistira, kasus ini harus menjadi alarm bagi pemerintah dan regulator. “Perlu audit menyeluruh terhadap penyelenggara payment gateway, termasuk siapa saja yang mendapat izin memproses transaksi QRIS dan bagaimana verifikasi identitas pengguna dilakukan,” kata Bhima Yudhistira.

Di sisi lain, keterbatasan alat dan sumber daya dalam mendeteksi transaksi mikro yang terfragmentasi di ribuan rekening membuat proses investigasi sangat sulit. Bahkan sistem perbankan sendiri kerap kesulitan mendeteksi transaksi mencurigakan jika dilakukan dalam pola yang “dipecah” (structuring).

Kedua tersangka kini ditahan dan dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta KUHP tentang perjudian, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.

Polisi masih melacak kemungkinan keterlibatan pihak lain, termasuk aktor pendukung seperti pengembang sistem, pengelola payment gateway, dan pihak perbankan yang lalai.

Kasus ini diyakini baru puncak dari gunung es. Dengan meningkatnya volume transaksi digital di Indonesia—terutama melalui e-wallet, crypto exchange, dan sistem pembayaran nontunai lainnya—pintu masuk bagi kejahatan finansial semakin terbuka lebar. ssc/mn



BACA JUGA