
Sitor Situmorang
Padang, sumbarsatu.com—Indonesia berduka, sastrawan generasi terakhir Angkatan 1945, Sitor Situmorang tutup usia di kediamannya Apeldoorn, Belanda, Minggu (21/12/2014). Sitor, yang sajaknya “Malam Lebaran” mengguncang dunai sastra Indonesia menghembuskan napas terakhirnya pada usia 91 tahun.
“Berita duka, Sitor Situmorang, sastrawan generasi akhir Angkatan 45 baru saja meninggal dunia pagi ini di kediamannya, Apeldoorn, Belanda. Selamat Jalan, semoga tenang di Alam Sana, menyusul 'Ibu Pergi ke Sorga' sebagaimana cerita yang telah kaunukilkan,” kata sastrawan Irman Syah yang cukup dekat dengan Sitor Situmorang, kepada sumbarsatu.com, Minggu (21/12/2014).
Sementara itu, budayawan JJ Rizal mengaku diberi tahu menjelang dini hari tadi. “Sitor memang sudah tua, usianya sekitar 90 tahun dan dia satu-satunya yang paling terakhir yang hidup dari sastrawan 1945, yang masih bertahan dan masih menulis produktif," katanya.
Sitor meninggal di Apeldoorn, Belanda. Keberadaannya di Belanda pun mengikuti isterinya yang memang seorang wanita asal negeri tulip tersebut.
Sitor tinggal di Belanda bersama istrinya memang orang Belanda tapi dia juga punya keluarga besar sebagai orang Batak. Marga dia termasuk 2 pokok aliran secara tradisi dalam silsilah Batak.
Rizal belum mengetahui apakah pihak keluarga akan membawa jenazah sang 'maestro kata' itu ke Tanah Air atau disemayamkan di Belanda. Namun Rizal menyinggung sebuah sajak karya Sitor yang terdengar seperti wasiat, 'Tatahan Pesan Bunda'.
"Kalau merunut dalam pesannya di dalam sajak, dia ingin dikremasi dan abunya dibawa, dikubur di samping kuburan ibunya di Danau Toba. Itu keinginan dia di dalam sajak itu, kalau itu memang wasiatnya," ucap Rizal.
Sang Fenomenal
Puisi “Malam Lebaran” dihimpun dalam kumpulan puisi “Dalam Sajak” terbitan 1955. Karena sajak ini sangat pendek, ia jadi puisi fenomenal hingga saat ini. “Puisi ini memutarbalikkan logika umum,” kata penyair Esha Tegar Putra.
Judul sajak “Malam Lebaran” memang unik dan “keluar” dari pemahaman awam. Lebaran jatuh setiap 1 Syawal tahun Hijriah. Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri dirayakan setelah umat Islam menunaikan puasa Ramadan selama 1 bulan. Dan “Bulan di atas kuburan” tak akan pernah ada pada 1 Syawal itu. “Di sini uniknya, tapi puisi itu cukup fenomenal,” katanya.
Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923 adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya, Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.
Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu. Dia menempuh pendidikan pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1950-1952, Sitor sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California pada tahun 1956-57.
Waktu kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli.l Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran kebangsaannya.
Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".
A Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa ini. (SSC/NA)