Ketika Bumi Berbicara di Panggung: Catatan Pertunjukan Bala Bhumi

Senin, 29/12/2025 15:17 WIB
Pementasan seni Bala Bhumi karya sutradara Afrizal Harun yang dipentaskan pada Selasa, 23 Desember 2025 di Auditorium Boestanul Arifin Adam ISI Padang Panjang.foto denny cidaik

Pementasan seni Bala Bhumi karya sutradara Afrizal Harun yang dipentaskan pada Selasa, 23 Desember 2025 di Auditorium Boestanul Arifin Adam ISI Padang Panjang.foto denny cidaik

OLEH Fitri Atul Aini (Penikmat Teater)

PERTUNJUKAN  Bala Bhumi karya sutradara Afrizal Harun yang dipentaskan pada Selasa, 23 Desember 2025 di Auditorium Boestanul Arifin Adam ISI Padang Panjang, hadir bukan sebagai pertunjukan yang menenangkan.

Sejak awal Bala Bhumi secara terang-terangan memposisikan panggung sebagai ruang gugatan yang menyatakan bahwa bencana alam bukan sekadar takdir, melainkan hasil dari keserakahan dan legitimasi kuasa manusia.

Secara tematik, Bala Bhumi berdiri jelas di jalur teater lingkungan (eco-theatre). Tubuh aktor, layar visual, bunyi lonceng dari ranting kayu, hingga visual baliho pertunjukan berupa gambaran bumi yang “sakit” dan bergantung pada selang oksigen, membentuk narasi bahwa alam tengah berada di titik kritis. Pertunjukan ini tidak ambigu, tidak berjarak, dan tidak netral. Ia berpihak, menuduh, dan menuntut pertanggungjawaban.

Namun, pilihan sikap ini sekaligus menjadi titik problematis pertunjukan Bala Bhumi. Kehadiran tausiah oleh Ustadz Heru Sentosa, Lc sebelum pertunjukan dimulai, lengkap dengan meja ceramah di panggung, langsung membingkai isu ekologis sebagai kebenaran moral yang telah final. Kekuatan kata-kata dari isi ceramah mendahului kerja artistik, sehingga panggung berisiko bergeser dari ruang tafsir menjadi ruang penegasan.

Hal serupa terlihat pada penggunaan layar visual di awal pertunjukan. Visual keindahan alam yang perlahan berubah menjadi gambar kehancuran berupa kebakaran hutan, banjir dan penebangan liar sanagt efektif secara informasi, tetapi terkesan terlalu mendikte.

Penonton sejak awal sudah diarahkan pada kesimpulan tertentu, bahkan sebelum tubuh aktor diberi ruang untuk membangun makna secara organik.

Justru setelah ceramah dan layar visual selesai ditayangkan, Bala Bhumi menemukan kekuatan estetiknya. Tubuh para performer yang bergerak menyerupai “orang hutan”, penggunaan material alam, asap gasmok, dan bunyi-bunyian sederhana menciptakan pengalaman multisensori yang kuat. Pada bagian ini, penonton tidak lagi sekadar memahami pesan, tetapi mengalaminya secara fisik dan emosional.

Momen paling kuat hadir saat tokoh “Ibu Bumi” menyatakan dirinya sebagai bumi itu sendiri. Bumi tidak lagi menjadi latar eksploitasi, melainkan subjek yang berbicara, mengeluh, dan menggugat manusia. Adegan penutup berupa visual bumi terbakar dan properti bola biru yang kotor diduduki seorang performer menjadi metafora tajam tentang planet yang kelelahan menopang ambisi manusia. Bunyi lonceng yang dimainkan bersama seluruh aktor menyerupai alarm darurat: waktu hampir habis.

Afrizal Harun menegaskan bahwa Bala Bhumi telah berproses sejak Agustus 2025, jauh sebelum rangkaian bencana ekologis melanda wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh.

Baginya, isu lingkungan bukan hal baru, tetapi justru terus diulang tanpa perubahan mendasar. Teater dipilih sebagai sarana kritik sosial untuk menolak cara pandang yang menyederhanakan bencana sebagai cobaan atau takdir semata, tanpa menyinggung relasi kuasa, kepentingan ekonomi, dan legitimasi kebijakan yang memungkinkan eksploitasi alam berlangsung.

Pertunjukan Bala Bhumi patut dibaca sebagai pertunjukan yang penting dan berani, tentu dengan beberapa catatan. Ketegangan antara pesan advokatif dan kebebasan estetik menjadi persoalan utama.

Ketika pesan terlalu diarahkan melalui ceramah dan visual informatif, teater berisiko berubah menjadi medium penyuluhan. Sebaliknya, ketika tubuh, simbol, dan ambiguitas diberi kepercayaan penuh, pertunjukan justru memiliki daya ganggu yang lebih dalam.

Di tengah krisis iklim yang kian nyata, Bala Bhumi mengingatkan bahwa teater masih mampu mengambil posisi politis. Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi memaksa publik menghadapi kenyataan yang kerap dihindari.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pesan yang ingin disampaian Bala Bhumi mampu membuat penonton sadar dan peduli pada isu ekologi, melainkan sejauh mana teater mempercayai bahasa artistiknya sendiri untuk mengguncang kesadaran penonton?*

Padang Panjang. 28 Desember 2025



BACA JUGA