OLEH Zulkarnaini Diran (Pendidik)
BENCANA dapat mengandung multipesan. Pesan-pesan itu hanya dapat dibaca, dipahami, dan direspons oleh orang yang mau berpikir. Secara psikologis, respons terhadap suatu pesan bisa beragam; di antaranya bersifat positif dan negatif.
Mereka yang terbiasa berpikir positif akan merespons secara positif, demikian pula sebaliknya. Kita boleh sepakat bahwa bencana menyimpan pesan-pesan yang perlu direspons oleh manusia yang berpikir.
Bisa jadi pesan itu ditujukan kepada mereka yang terdampak langsung oleh musibah, bisa pula kepada mereka yang menyaksikannya dari dekat maupun dari jauh. Seperti apa respons yang dilakukan—positif atau negatif—itulah cerminan pesan yang “bersemayam” di dalam pikiran kita.
Pascabencana alam yang melanda tiga provinsi di Sumatra—Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh—kiranya kita perlu melakukan refleksi yang mendalam. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari refleksi tersebut, salah satunya adalah menangkap “pesan” alam kepada manusia. Pesan itu perlu direnungkan secara sungguh-sungguh untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya.
Segala peristiwa yang terjadi adalah kehendak Allah Swt. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan; selalu ada hikmah di baliknya. Oleh karena itu, manusia yang berpikir akan mampu menangkap pesan-pesan tersebut sebagai pembelajaran, baik untuk masa kini maupun masa depan.
Di antara sekian banyak pesan itu, tulisan ini membatasi diri pada empat hal, yakni: dunia bersifat fana dan tidak abadi; kemampuan manusia terbatas; manusia hidup dalam kesetaraan; serta pentingnya memupuk ukhuwah. Pembatasan ini semata-mata untuk kepentingan tulisan. Pada kesempatan lain, pesan-pesan yang lain tentu masih dapat diungkap.
Bencana alam merupakan pengingat yang paling nyata bahwa segala sesuatu yang dimiliki manusia di dunia ini bersifat sementara. Ketika bencana datang—gempa, tsunami, banjir, dan sejenisnya—harta benda yang dikumpulkan selama puluhan tahun dapat lenyap dalam hitungan detik.
Pesan ini menyadarkan kita bahwa keterikatan hati yang berlebihan pada dunia adalah kesia-siaan. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara. Allah Swt menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26–27). Kesadaran akan kefanaan dunia seharusnya mendorong kita untuk tidak sombong atas apa yang dimiliki, serta lebih fokus mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi.
Sering kali manusia merasa telah menaklukkan alam melalui teknologi dan ilmu pengetahuan yang canggih. Namun, ketika bencana besar datang, seluruh kecanggihan itu seolah tak berdaya. Pesan ini hadir untuk meruntuhkan keangkuhan intelektual manusia dan mengingatkan bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar di atas segalanya.
Manusia hanyalah makhluk yang dhaif (lemah) di hadapan skenario-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt: “…dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28). Nabi Muhammad Saw pun mengajarkan manusia untuk selalu memohon perlindungan, sebagaimana dalam hadis: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam, kehancuran, dan kebakaran…” (HR. An-Nasa’i). Ini merupakan pengakuan atas keterbatasan manusia dan kebutuhan mutlak akan perlindungan Ilahi.
Bencana alam juga tidak pernah memilih korban berdasarkan status sosial. Pangkat, jabatan, kekayaan, dan kedudukan tidak menjadi pembeda. Saat banjir bandang datang, galodo menghantam, gempa dan tsunami menerjang, semua manusia—pejabat atau rakyat, kaya atau miskin—berada dalam posisi yang sama.
Semua membutuhkan pertolongan dan merasakan kehilangan. Ini adalah pesan kuat tentang kesetaraan manusia. Di mata Allah SWT, yang membedakan manusia hanyalah ketakwaannya. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Di lokasi pengungsian, sekat-sekat sosial kerap runtuh. Semua duduk di tikar yang sama dan menyantap makanan yang sama. Di situlah pelajaran tentang kerendahan hati menjadi nyata. Allah SWT membenci kesombongan dan sikap membanggakan diri. “Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18). Nabi SAW juga bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim).
Momen pascabencana sering kali menjadi katalisator bangkitnya rasa kemanusiaan dan persaudaraan (ukhuwah). Ketika satu wilayah terluka, wilayah lain ikut merasakan pedih dan bergerak memberikan bantuan. Pesan alam ini mengajarkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri; kita saling membutuhkan untuk bangkit dari keterpurukan.
Rasulullah Saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bencana di Sumatra telah memperlihatkan bagaimana ukhuwah terwujud secara konkret—ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah Islamiyah—tanpa sekat. Kontribusi yang dilandasi ukhuwah inilah yang menjadi kekuatan utama dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, baik secara fisik maupun mental.
Pada akhirnya, tulisan ini mengajak kita menjadi ulul albab—orang-orang yang menggunakan akal pikirannya untuk menangkap hikmah di balik setiap peristiwa. Bencana bukan sekadar musibah, melainkan “tegur sapa” alam yang sarat makna.
Dengan menyadari kefanaan dunia, mengakui keterbatasan diri, menjunjung kesetaraan, dan mempererat ukhuwah, bencana dapat menjadi madrasah kehidupan yang mendewasakan jiwa dan memperkokoh spiritualitas.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.*
Demak, Jawa Tengah, 21 Desember 2025