OLEH Dr. Lismomon Nata, M.Si., CHt (Social Risilience and Family Development Expert T.CARE)
DI BALIK setiap karyawan yang datang ke kantor dengan semangat dan pikiran jernih, hampir selalu ada satu faktor penting yang kerap luput dari perhatian, yaitu keluarga.
Normalnya keluarga yang hidup dalam sebuah rumah sehingga dipahami bukan sekadar tempat pulang setelah jam kerja berakhir, melainkan ruang pertama dan utama tempat seseorang memulihkan diri, mendapatkan dukungan emosional, serta meneguhkan kembali makna dari setiap peran yang dijalani. Karena itu, kenyamanan di tempat kerja sejatinya berkelindan erat dengan kenyamanan di dalam keluarga.
Selama ini perusahaan telah berupaya menciptakan lingkungan kerja yang aman, kondusif, dan produktif. Namun, perhatian pada karyawan di samping sebagai manusia seutuhnya menuntut perspektif yang lebih luas. Karyawan tidak datang ke kantor sebagai individu yang “kosong”.
Mereka membawa perasaan, pikiran, dan kondisi psikologis yang dibentuk oleh kehidupan keluarga di rumah. Ketika suasana keluarga hangat dan harmonis, karyawan berangkat bekerja dengan ketenangan.
Sebaliknya, konflik keluarga yang berlarut-larut kerap menyisakan kelelahan emosional yang berdampak pada fokus dan produktivitas kerja. Maka, tidak jarang ada istilah yang menyebutkan bahwa hari anda baik atau buruk dapat berawal saat pertama kali saat membuka pintu rumah.
Sejak lama, berbagai pemikiran klasik yang telah dituliskan dalam berbagai macam kitab telah menempatkan keluarga sebagai fondasi kehidupan sosial. Keluarga adalah organisasi paling sederhana, namun juga paling menentukan dalam kehidupan sosial. Di dalamnya terdapat pembagian peran, komunikasi, serta nilai-nilai yang menjadi dasar perilaku seseorang di ruang publik, termasuk di tempat kerja.
Menariknya, meskipun keluarga merupakan institusi yang sangat tua, ia juga tergolong rapuh. Konflik kecil, miskomunikasi, atau ketidakhadiran emosional dapat dengan cepat menggerus keharmonisan yang dibangun bertahun-tahun bahkan dapat seketika “hancur”.
Dalam keluarga, setiap anggota memiliki peran penting. Ayah, misalnya, bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga agen sosialisasi utama yang mengenalkan nilai, norma, dan tanggung jawab kepada anak-anaknya. Di tengah dinamika kerja modern, muncul tantangan berupa minimnya kehadiran ayah dalam kehidupan keluarga, yang sering disebut sebagai fatherless.
Hal demikian dapat memberikan dampak untuk terjadinya father hunger (kondisi anak merasakan tekanan psikologis karena ketiadaan figur seorang ayah) bagi anak . Padahal, kehadiran ayah secara emosional terbukti berperan besar dalam membangun rasa aman dan percaya diri anak. Ibu pun demikian, juga memegang peran sentral dalam menjaga kualitas lingkungan domestik, stabilitas emosional, serta nilai-nilai keluarga. Anak-anak, pada gilirannya, belajar menjalankan peran sosialnya dari teladan kedua orang tua.
Di sinilah peran perusahaan menjadi semakin relevan. Perusahaan tidak hanya berkepentingan terhadap kinerja karyawan di ruang kerja, tetapi juga terhadap ketahanan keluarga yang menopang karyawan tersebut. Upaya perusahaan dalam memberikan edukasi, ruang dialog, atau program yang melibatkan keluarga karyawan sejatinya merupakan investasi jangka panjang.
Ketika keluarga karyawan memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya relasi yang sehat, dukungan emosional, dan pembagian peran yang seimbang, semangat kerja orang tua pun tumbuh dengan sendirinya.
Perusahaan yang peduli pada keluarga karyawan sedang menjaga hulu sumber daya manusianya. Sebab, karyawan yang merasa didukung tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai anggota keluarga, akan memiliki keterikatan emosional yang lebih kuat terhadap perusahaan. Loyalitas, rasa memiliki, dan motivasi kerja pun tumbuh lenih alami.
Pada akhirnya, keluarga harmonis dan lingkungan kerja yang nyaman bukanlah dua hal yang berdiri sendiri. Keduanya saling menguatkan. Rumah yang menenangkan melahirkan karyawan yang fokus dan produktif.
Sementara tempat kerja yang manusiawi memberi ruang bagi karyawan untuk tetap menjadi ayah, ibu, pasangan, dan orang tua yang hadir. Dari sinilah target kinerja maksimal bukan hanya tercapai, tetapi juga berkelanjutan karena dibangun di atas fondasi manusia yang utuh dan keluarga yang kuat.*