Sawahlunto Cultural Spectrum Festival, Merawat Warisan Dunia lewat Seni Komunitas

Minggu, 21/12/2025 12:11 WIB

Sawahlunto, sumbarsatu.com — Status Sawahlunto sebagai Kota Warisan Dunia UNESCO tidak berhenti sebagai label simbolik. Melalui Sawahlunto Cultural Spectrum Festival 2025, Pemerintah Kota Sawahlunto berupaya menerjemahkan pengakuan global tersebut menjadi praktik kebudayaan yang hidup, partisipatif, dan berdampak langsung bagi warga.

Festival yang digelar pada 19–21 Desember 2025 di Kawasan Taman Silo, salah satu area penting dalam lanskap Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS), menjadi strategi city branding berbasis kebudayaan dengan menjadikan kawasan cagar budaya sebagai ruang publik aktif.

Pengakuan UNESCO terhadap WTBOS pada 6 Juli 2019 menempatkan Sawahlunto sebagai satu-satunya kota di Pulau Sumatra dengan legitimasi warisan dunia.

Tantangan pasca-penetapan tidak lagi sebatas pelestarian fisik, tetapi bagaimana warisan tersebut dimaknai ulang sebagai identitas kota dan sumber daya kebudayaan yang berkelanjutan.

Melalui Sawahlunto Cultural Spectrum Festival, Dinas Kebudayaan Sawahlunto mendorong aktivasi kawasan warisan dunia sebagai ruang ekspresi seni dan kolaborasi komunitas.

Pendekatan ini menegaskan bahwa cagar budaya bukan ruang beku, melainkan bagian dari kehidupan sosial dan kreatif masyarakat kota.

Festival ini dirancang sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sekaligus terjemahan dari Misi ke-4 Pemerintah Kota Sawahlunto, yaitu pengembangan komunitas seni untuk mendukung kota wisata yang estetik, bernilai ekonomi, dan menyejahterakan.

Lebih dari 50 kelompok seni, komunitas, sekolah, dan perorangan akan terlibat menampilkan ragam seni pertunjukan—mulai dari tari tradisi dan kreasi, randai, musik tradisional dan kolaborasi, teater, tonel, hingga prosesi budaya nagari. Seni rupa hadir melalui penataan artistik panggung yang mengolah konteks ruang warisan dunia sebagai bagian dari narasi visual.

Proses kurasi dilakukan melalui dua skema, yakni penunjukan langsung untuk kebutuhan seremonial serta open call yang membuka partisipasi luas komunitas. Pola ini menjadi bagian dari strategi memperkuat ekosistem seni sekaligus memperluas kepemilikan warga terhadap identitas kota warisan dunia.

Pelaksanaan festival ini juga menjadi momentum peringatan Hari Jadi Kota Sawahlunto ke-137, menegaskan kesinambungan antara sejarah industri tambang, dinamika kebudayaan, dan masa depan kota berbasis ekonomi kreatif.

Dalam konteks city branding, Sawahlunto Cultural Spectrum Festival diposisikan sebagai platform untuk memperkuat citra Sawahlunto sebagai kota warisan dunia yang aktif, inklusif, dan kreatif—bukan sekadar destinasi wisata sejarah, tetapi kota budaya yang hidup.

Kolaborasi pentahelix antara pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha, dan media dalam festival ini memperlihatkan upaya kolektif menjadikan warisan dunia UNESCO sebagai fondasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata berkelanjutan.

Dengan menghidupkan kawasan cagar budaya melalui festival komunitas, Sawahlunto menegaskan bahwa city branding berbasis UNESCO bukan soal logo dan slogan, melainkan tentang bagaimana warisan dunia dirawat, diaktifkan, dan diwariskan melalui praktik kebudayaan yang melibatkan warganya sendiri. ssc/rel



BACA JUGA