OLEH Djohermansyah Djohan (Pakar Otonomi Daerah dan Guru Besar IPDN)
PENEMPATAN anggota kepolisian aktif dalam jabatan-jabatan sipil kembali mengemuka dan memantik perdebatan publik. Isu ini bukan sekadar persoalan teknis kepegawaian, melainkan menyentuh fondasi tata kelola pemerintahan demokratis, khususnya prinsip supremasi sipil, meritokrasi birokrasi, dan netralitas aparatur negara dalam pemilu.
Dalam konteks negara demokrasi modern, birokrasi sipil adalah tulang punggung penyelenggaraan pemerintahan. Ia dibangun dengan prinsip profesionalisme, karier berjenjang, diklat, dan kompetensi teknokratik. Ketika jabatan-jabatan sipil strategis justru diisi oleh polisi aktif, maka yang terluka bukan hanya perasaan aparatur sipil negara (ASN), tetapi arsitektur pemerintahan negara.
Supremasi Sipil yang Terkikis
Reformasi 1998 menegaskan satu prinsip mendasar: pemisahan tegas antara fungsi sipil dan fungsi keamanan. Polri diposisikan sebagai alat negara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas menegakkan hukum, bukan sebagai aktor birokrasi sipil. Ketika polisi aktif menduduki jabatan sipil—terlebih tanpa mengundurkan diri dari institusinya—maka terjadi "overlapping authority" yang berbahaya.
Supremasi sipil bukan slogan normatif. Ia adalah mekanisme pengendali kekuasaan agar aparat bersenjata tidak memiliki "dual loyalty"—kepada institusi asal dan kepada jabatan sipil yang diemban. Jika garis ini kabur, maka risiko konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan menjadi terbuka.
Meritokrasi ASN yang Tercederai
Lebih dari itu, praktik ini melukai sistem merit yang selama bertahun-tahun dibangun dengan susah payah dalam birokrasi Indonesia. ASN meniti karier melalui pendidikan, pelatihan, evaluasi kinerja, dan seleksi terbuka. Ketika posisi puncak justru diisi oleh figur dari luar sistem ASN, pesan yang diterima oleh birokrasi sangat jelas: kompetensi dan loyalitas profesional tak lagi menjadi faktor utama.
Akibatnya, demotivasi ASN tidak terelakkan. Aparatur sipil yang seharusnya menjadi motor penggerak roda pemerintahan di pusat maupun daerah justru merasa tersisih di rumahnya sendiri. Dalam jangka panjang, ini berbahaya bagi kualitas pelayanan publik dan kapasitas institusional negara.
Mengulang Bayang-Bayang Masa Lalu
Indonesia pernah mengalami fase panjang ketika tentara memainkan peran dominan dengan label dwi-fungsi ABRI dalam urusan sipil. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa dominasi tersebut tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif, akuntabel, atau demokratis. Justru sebaliknya, ia melahirkan birokrasi yang hierarkis, tertutup, dan miskin kontrol publik.
Karena itu, kekhawatiran publik hari ini bukan berlebihan. Penempatan polisi aktif di jabatan sipil—meski dibungkus dalih kebutuhan keahlian dalam penegakan hukum atau penugasan khusus—secara sosiologis dan politis membangkitkan kembali trauma masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Penegasan Arah
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa anggota Polri aktif harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu sebelum menduduki jabatan sipil patut diapresiasi. Putusan ini bukan sekadar koreksi hukum, melainkan penegasan arah penataan cara bernegara yang sehat.
Namun, putusan hukum saja tidak cukup. Tanpa kemauan politik dan konsistensi pelaksanaan, praktik lama bisa terus berulang dalam bentuk dan nama yang berbeda. Kerap disebut sekarang dengan istilah multi-fungsi aparat keamanan.
Menata Ulang dengan Kepala Dingin
Pemerintah perlu bersikap tegas dan jernih. Jika suatu jabatan adalah jabatan sipil, maka mekanisme pengisiannya harus tunduk pada sistem ASN dan prinsip meritokrasi. Jika negara membutuhkan keahlian tertentu dari aparat kepolisian, maka jalurnya jelas: pengunduran diri, transisi status, dan seleksi terbuka yang transparan.
Pada saat yang sama, Polri perlu memperkuat reformasi internal agar karier anggotanya tidak “bocor” ke wilayah sipil yang bukan mandat institusionalnya. Profesionalisme kepolisian menurut hemat saya justru akan lebih kuat jika fokus pada fungsi utamanya: menjaga keamanan dan ketertiban, serta menegakkan hukum secara profesional. Tak "tebang pilih", dan tak "cawe-cawe" dalam pemilu.
Penempatan polisi aktif di jabatan sipil bukan persoalan siapa orangnya, melainkan soal sistem dan prinsip bernegara yang sehat. Pemerintahan demokratis tidak boleh dikendalikan oleh pragmatisme jangka pendek yang mengorbankan prinsip jangka panjang.
Jika birokrasi terus dilukai hatinya, jangan heran bila pemikiran inovatifnya tak akan lahir, semangat pengabdiannya menjadi merosot. Bekerja apa adanya saja, "bisniss as ussual". Tentu lebih jauh ini akan berefek kepada melemahnya pelayanan publik dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada penguasa negara.
Penataan birokrasi negara menuntut konsistensi, keberanian politik, dan penghormatan pada batas-batas kewenangan institusi yang telah diamanahkan konstitusi. Di situlah masa depan tata kelola pemerintahan Indonesia dipertaruhkan.*