Sastrawan Indonesia Desak Pembentukan Panitia Independen untuk Penghargaan Sastra BRICS

Senin, 27/10/2025 14:01 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com—Sejumlah sastrawan dan penggiat sastra dari berbagai daerah di Indonesia menyampaikan resolusi bersama yang menolak pengajuan calon penerima Penghargaan Sastra BRICS tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan berbasis kualitas.

Mereka mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kebudayaan, untuk segera membentuk panitia independen dan kredibel yang bertugas menyiapkan calon penerima penghargaan internasional tersebut.

Dalam resolusi yang ditandatangani 35 sastrawan itu, para penggagas menegaskan bahwa calon yang diajukan haruslah sastrawan dan karya yang merepresentasikan kekayaan sosial-budaya, kedalaman daya ungkap bahasa Indonesia, dan kualitas estetik yang tinggi.

“Kami menolak pengajuan karya atau sastrawan tingkat semenjana. Penghargaan BRICS adalah forum internasional yang semestinya diisi oleh nama dan karya yang betul-betul mencerminkan mutu serta marwah sastra Indonesia,” tegas Maman S. Mahayana, penggagas resolusi yang berdomisili di Bojonggede, Bogor, Senin (27/10/2025).

Resolusi itu memuat lima butir sikap utama, antara lain perlunya seleksi yang didasarkan pada kualitas kesastraan, ekspresi kebudayaan, kontinuitas, produktivitas, capaian, dan kontribusi sastrawan terhadap perkembangan sastra Indonesia. Hasil pemilihan juga diminta diumumkan secara terbuka, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Sastra Indonesia punya banyak karya kuat, reflektif, dan orisinal. Jangan sampai proses pengusulan justru menurunkan wibawa kita sendiri di mata dunia,” ujar Oka Rusmini, sastrawan asal Bali yang turut menandatangani resolusi.

Selain untuk menjaga standar mutu, resolusi ini juga dimaksudkan untuk menghindari kontroversi publik yang kontraproduktif serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap karya sastra nasional. Para sastrawan menilai, penghargaan internasional seperti BRICS harus menjadi ajang diplomasi budaya yang menghadirkan karya sastra Indonesia sebagai wajah intelektual dan kultural bangsa.

“Kita ingin diplomasi budaya dilakukan dengan cara yang bermartabat—dengan karya yang punya kekuatan bahasa, daya imajinasi, dan akar budaya yang jelas,” kata Ahmadun Yosi Herfanda, penyair asal Tangerang.

Penandatangan resolusi ini mencakup sejumlah nama penting dalam dunia sastra Indonesia, seperti Maman S. Mahayana, Arie Batubara, Warih Wisatsana, Helvy Tiana Rosa, Oka Rusmini, Seno Joko Suyono, Afrizal Malna, Ahmad Tohari, hingga Beni Setia. Mereka berasal dari berbagai wilayah, mulai dari Aceh, Jawa, Bali, hingga Makassar.

“Kami ingin seleksi yang independen, bukan berbasis kedekatan atau kepentingan. Ini soal tanggung jawab moral kita terhadap citra sastra Indonesia,” ujar Helvy Tiana Rosa, sastrawan asal Depok.

Para penandatangan berharap pemerintah segera merespons resolusi tersebut dengan langkah nyata. Menurut mereka, pembentukan panitia seleksi independen adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa calon penerima penghargaan sastra BRICS dari Indonesia benar-benar layak dan membanggakan.

“Ini bukan sekadar siapa yang diusulkan, tetapi bagaimana kita menjaga kehormatan sastra Indonesia di mata dunia,” tutup Maman S. Mahayana.ssc/mn

 



BACA JUGA