OLEH Wannofri Samry (Menulis Puisi Sejak 1980-an. Buku Puisinya Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala (2020)
I.
Ketika menulis puisi, setidaknya ada tiga “ruang” yang selalu hadir dan mungkin mengganggu para penulis: ruang sunyi, masalah profetik, dan realisme.
Ruang sunyi adalah tempat kata mengalir, saat penyair merenungkan dan berpikir. Kata, frasa, simbol, dan metafora muncul ketika seluruh pengalaman masuk ke ruang sunyi seorang penulis. Di sana, pengalaman itu diolah dan berproses hingga menemukan kepuitikannya dalam bentuk kata, frasa, simbol, dan metafora—atau sederetan ekspresi melalui bahasa yang mungkin tidak terduga bentuk dan wujudnya.
Dalam kondisi seperti ini, penyair sering digoda oleh keyakinan, keimanan, kenabian, dan sebagainya, sehingga ia berhubungan dengan yang supernatural dan transendental. Ia mempertanggungjawabkan kata bukan hanya kepada puisi dan publik atau pembaca, tetapi jauh di atas itu—secara vertikal—menjadi bagian dari kenabian itu.
Penulis—sebutlah penyair—yang bergulat dengan masalah sosial dan duniawi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan sosial dan kemanusiaan. Ia hadir di tengah masyarakat dengan permasalahan yang sangat beragam: penuh tantangan dan harapan, kebahagiaan bahkan penderitaan.
Penyair, pada satu sisi, merupakan bagian dari lingkungan sosial sebagai subjek; pada sisi lain, ia menjadi objek yang mengalami. Secara historis dan psikologis, ia berada dalam lingkungan itu.
Untuk memahami bagaimana sastra ditulis oleh seorang pengarang, maka perlu dikemukakan pandangan para kreator.
Sastrawan yang juga sejarawan, Kuntowijoyo (2019), mengatakan bahwa sastra adalah bagian dari ibadah, penghayatan atas nilai-nilai agama, serta tangkapan atas realitas yang universal. Kuntowijoyo menyebut sastranya sebagai sastra profetik.
Dengan sastra profetik, penulis melakukan kritik terhadap realitas. Ia menjelaskan bahwa sastra adalah bagian dari sejarah kemanusiaan; sastra yang ditulis Kunto terlibat dalam arus sejarah itu. Dengan begitu, ia melepaskan diri dari belenggu realitas yang ada.
Bagi Kunto, sastra berbeda dengan sejarah dan bidang lain di luar sastra. Sastra adalah realitas simbolis, bukan realitas aktual sebagaimana peristiwa sejarah; sastra menjadi sistem simbol yang fungsional.
Ada tiga kaidah yang dikemukakan Kuntowijoyo dalam sastra profetik:
- Epistemologi Strukturalis Transendental, yaitu sastra bersandar pada kitab suci sebagai pegangan hidup, sebagai sistem yang memberi arah.
- Sastra ibadah, yakni sastra sebagai bagian dari pemahaman yang kaffah terhadap agama.
- Keterkaitan antara kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.
Rene Karl Wilhelm Johann Josef Maria Rilke (Austria, 1875–1926) adalah penulis lain yang perlu dikemukakan mengenai daya profetik dan keinginannya untuk menulis. Membaca Rilke—dalam tatanan yang mirip tapi berbeda—ada kesamaan dalam eksistensi kepenulisan.
Keduanya sama-sama bersandar pada agama, meskipun berpegang pada kitab yang berbeda. Kesamaannya adalah: menulis dalam ruang sunyi, profetik, dan realisme.
Rilke dikenal sebagai penyair dengan sajak-sajak lirik. Ia menulis surat-surat kepada penyair muda sebagai nasihat bagi para penulis. Ketika ada yang bertanya kepadanya, “Apakah sajak saya bagus atau jelek?” Rilke menjawab: “Pergilah ke dalam dirimu. Jangan tanya kepada orang lain.”
Di Indonesia, banyak orang tertarik menulis tentang agama, termasuk puisi. Sebutlah Hamka, Taufik Ismail, Danarto, Kuntowijoyo, dan lain-lain.
Satu pandangan terhadap penulis yang berkaitan atau berlandaskan agama ini pernah dilontarkan oleh Goenawan Mohammad pada akhir tahun 1960-an: ada penulis yang menulis sebagai ortodoksi dan pengalaman pribadi, namun belum sampai kepada bagaimana bersentuhan dengan pemecahan masalah duniawi (Goenawan Mohammad dalam Satyagraha Hoerip, 1986).
Namun, hal itu tampaknya tidak termasuk dalam karya-karya Kuntowijoyo yang selalu mengaitkan pandangan-pandangan religiusnya dengan kondisi sosial masyarakat yang ada.
II
Setelah membaca dan memahami puisi-puisi Armaidi Tanjung (AT) — maaf, tidak menggunakan gelar, sebab ketika puisi ditulis, ia lebih merdeka dari ikatan apa pun. Dengan begitu, pembicaraan ini pun menjadi lebih “merdeka” dan memungkinkan diskusi memasuki ruang-ruang tanpa hambatan.
Kumpulan puisi Dinda, Tahajudmu yang Menggoda (DTM) dicetak dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Namun, pembicaraan ini berfokus pada teks berbahasa Indonesia, sebagai bahasa asli penulisnya. Sebab, jika membicarakan versi Bahasa Inggris, maka itu dapat dianggap sebagai karya lain — puisi baru yang mungkin mengandung makna berbeda dari aslinya. Setiap teks yang diterjemahkan ke bahasa lain niscaya mengalami pergeseran makna, atau setidaknya membuka kemungkinan tafsir yang berbeda.
Dari judulnya, dapat dimaknai bahwa puisi ini merupakan persembahan kepada seseorang bernama Dinda. Bisa jadi Dinda yang dimaksud adalah sosok nyata, atau justru simbolik. Pembaca bebas menafsirkan siapa “Dinda” itu.
Kata “tahajudmu” mengacu pada ibadah sunnah yang dilakukan umat Islam: bangun di malam hari setelah tidur untuk berdoa. Salat malam dilakukan setelah seseorang berikhtiar di siang hari — sebagai bentuk penyerahan diri kepada Allah SWT dan ungkapan rasa syukur.
Penjelasan tentang keutamaan tahajud dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadis. Salah satunya sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Yazid bin Abdull Qadir Jawas, “Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan salatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat” (Yazid bin Abdull Qadir Jawas, Pengertian dan Hukum Salat Tahajud, https://almanhaj.or.id).
Setelah kata tahajudmu, muncul frasa “yang menggoda.” Jika dibaca lebih cermat, suku kata -mu merujuk pada Dinda. Sosok Dinda menjadi teladan — seseorang yang rajin bertahajud dan justru menggoda penulis DTM untuk meneladaninya. Besar kemungkinan, untaian kata dan frasa dalam puisi-puisi di buku ini lahir dari dorongan spiritual yang muncul melalui sosok Dinda yang gemar bertahajud. Ia menjadi sumber godaan spiritual bagi sang penulis.
Jika ditelusuri lebih jauh, puisi-puisi dalam DTM tampak lahir dari ruang sunyi dan sesekali memperlihatkan nuansa profetik. Namun, perlu dibedakan dengan konsep profetik Kuntowijoyo yang telah dikemukakan sebelumnya.
Konsep profetik Kuntowijoyo—dan juga yang disinggung Goenawan Mohammad (GM) dalam konteks sastra keagamaan—lebih menekankan pada keterlibatan agama dalam persoalan sosial dan kemanusiaan. Agama tidak dipisahkan dari problem kehidupan sehari-hari atau dari peradaban itu sendiri.
Pada AT, memang sesekali muncul persoalan sosial, namun ketika ia menyentuh ranah itu, “lentingan ketahajudannya” belum terasa kuat. Ia tampak lebih larut dalam ruang batin dan spiritual personal daripada melakukan kritik sosial yang terbuka.
Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam DTM ditulis dalam rentang waktu 2022–2025. Ada pula puisi yang bertitimangsa 1984–2025, menandakan bahwa AT mulai menulis sejak 1984, meski sempat berhenti selama puluhan tahun. Berdasarkan biodata, diketahui bahwa AT kemudian banyak berkecimpung sebagai wartawan — profesi yang juga memengaruhi cara pandangnya terhadap realitas dan bahasa.
Dari keseluruhan karya dalam buku tersebut, puisi-puisi AT dapat dibagi secara longgar ke dalam beberapa kategori: religius, romantisme, nasehat, perjalanan, dan kisah. Pembagian ini tentu tidak kaku dan saling beririsan.
Kesan religius tampak dalam puisi-puisi seperti Tadarus Ramadhan, Korban Idul Adha, Wasiat Tuanku, Dinda, Tahajudmu yang Menggoda, Benih Kesabaran, Dalam Pelukan Waktu, Menyapa Tuhan di Sepertiga Malam, Membaca sebagai Ibadah, dan Malam Takbir Tanpamu.
Puisi-puisi bernuansa keagamaan ini tampaknya lahir dari kondisi psikologis tertentu — ketika penyair menghadapi beban batin yang mendalam. Dalam situasi seperti itu, jalan yang lazim ditempuh oleh seorang yang beriman adalah mendekatkan diri kepada Tuhan: tempat mengadu dan mengadu dalam kesakitan maupun kesusahan.
Dalam puisi “Dinda, Tahajudmu yang Menggoda” — yang juga menjadi judul buku ini — AT menyingkap pertemuan spiritual antara cinta manusiawi dan kerinduan kepada Tuhan. Di situlah godaan menjadi jembatan: antara rasa dan doa, antara tubuh dan sujud. Dalam puisi “Dinda. Tahajudmu yang menggoda--ini juga judul dari buku AT-- mengungkapkan:
Ya Allah, Ya Rabbi
Di sepertiga malam sunyi
Kupeluk sepi ganti selimut tidur
Saat dunia tenggelam dalam nyenyak tidurnya
Lampu-lampu gemerlapan telah padam
Aku bangkit dengan tubuh gemetar dan getaran jiwa
Mencari-Mu
Berkeluh kesah memuji-Mu
Insan yang lemah tak berdaya
Dalam sunyi tak terbagi
Tak ada suara.
Kecuali detak hatiku
Yang menyebut nama-Mu
Di antara butir tasbih
Air mata yang tak sempat kuseka
Kumohon ampun dalam bisik
Terlalu banyak aku jatuh. Terpeleset lagi, lagi
Namun tetap tersenyum
Mengharap redhamu
Seluas alam semesta ini
Langit tak berbintang pun tak apa
Asal Engkau mendengar
Rintih kecil jiwa yang galau
Yang datang dari hamba-Mu
Yang selalu berharap rahmat-Mu
Agar husnul khotimah
Dinda, tahajudmu itu yang menggoda
Walau engkau tak disisiku
Sentakkan jiwa yang tengah sunyi” (Hal. 53-54).
Puisi-puisi dalam buku Dinda, Tahajudmu yang Menggoda (DTM) karya Armaidi Tanjung (AT) menghadirkan kesan yang bening dan terang. Kata-katanya mengalir tanpa kerumitan metafora, tanpa lapisan simbol yang berlebihan. Diksi yang sederhana justru memperkuat kejujuran pengalaman batin yang diungkapkan. Banyak puisi dalam buku ini terasa lahir dari ruang sunyi, mungkin setelah penulis menunaikan salat tahajud—sebuah waktu di mana kesadaran manusia berjumpa dengan kedalaman spiritual.
Dalam puisi berjudul Dinda, Tahajudmu yang Menggoda, AT menulis dengan nada lirih dan reflektif. Sajak ini tampak ditulis dalam suasana galau, sedih, dan rindu. Pada bait kedua di ujung puisi muncul doa “agar husnul khotimah”—suatu doa yang biasa dipanjatkan bagi mereka yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, pembaca bisa menangkap bahwa sosok Dinda dalam puisi ini adalah seseorang yang telah tiada, sosok yang terus hidup dalam ingatan spiritual penyair.
Menariknya, AT tidak menampilkan kesedihan dengan ratapan berlebihan. Kesedihan hadir dengan tenang, melalui kesadaran religius yang matang. Ada penerimaan dan penyerahan diri. Maka, kesyahduan tahajud yang “menggoda” bukanlah dalam arti sensual, melainkan godaan spiritual—ajakan untuk meneladani kekhusyukan Dinda dalam ibadah.
Pada puisi-puisi bernuansa religius lainnya—seperti Tadarus Ramadhan, Kurban Idul Adha, Wasiat Tuanku, Benih Kesabaran, Dalam Pelukan Waktu, Menyapa Tuhan di Sepertiga Malam, Membaca sebagai Ibadah, dan Malam Takbir Tanpamu—tampak bahwa AT menulis dari kedalaman psikologis. Ia berbicara kepada Tuhan, mengadu dan meng-aduh, sebagaimana seorang mukmin yang mencari makna di balik penderitaan.
Namun, di luar puisi religius, AT juga menulis banyak sajak yang bernafaskan romantisme—baik romantisme terhadap kampung halaman, masa lalu, maupun kekasih. Romantisme semacam ini tentu “halal” dalam puisi, bahkan sering menjadi sumber keindahan. Akan tetapi, romantisme juga bisa menjadi ruang kontemplatif yang menahan langkah ke depan bila tidak diolah secara reflektif.
Dalam puisi-puisi seperti 30 Tahun Lalu, Teman Lama, Jejakmu Dinda, Empat Puluh Tiga Tahun, Untukmu Dinda Guruku, Bekalku Kelak, Lentera di Malam Kelam, dan Selamat Jalan Istriku, AT menghadirkan kerinduan yang lembut. Rasa kehilangan bercampur dengan rasa syukur, seakan kenangan tidak dimaksudkan untuk menahan waktu, tetapi untuk mengingat nilai yang pernah menghidupkan perjalanan seseorang.
Puisi Jejakmu Dinda, misalnya, menampilkan ekspresi khas AT—lirih, tenang, dan penuh perenungan. Di sini, Dinda bukan sekadar tokoh personal, tetapi bisa ditafsir sebagai simbol: kenangan, inspirasi, bahkan iman yang pernah hadir dan kini tinggal dalam jejak.
Maka, membaca puisi-puisi AT seperti menelusuri dua garis besar tema yang saling berkelindan: spiritualitas dan romantisme. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi—sebagaimana tahajud yang sunyi bisa menjadi tempat bersemayamnya cinta yang paling manusiawi. Dalam puisi “Jejakmu Dinda” berikut bisa dilihat bagaimana ekspresi AT dalam sajak kategori ini.
“Fajar pagi kau sambut,
Doa terbisik dari bibirmu yang lembut
Dalam keringat dan senyum kau sembunyikan,
Terselip kekuatan yang diam, tak tergoyahkan.
Dinda,
Engkau bukan sekedar nama,
Tapi jejak di hati yang menuntun tanpa suara
Pengajar yang tak hanya mengajar angka dan huruf
Tetapi menanam harapan di ladan jiwa tunas
….…………………………………………………..” (Halaman 43)
Selain religius dan romantis, Armaidi Tanjung (AT) juga menulis sejumlah puisi yang bernuansa nasehat dan refleksi kehidupan. Sajak-sajak seperti Doa untuk Anakku, Isteri dan Anakku, serta Untuk Putriku menunjukkan kepedulian seorang ayah terhadap masa depan anak-anaknya di tengah dunia yang terus berubah. Dalam puisi Untuk Putriku, misalnya, AT menghadirkan dialog penuh kasih antara seorang ayah dan putrinya di tengah suasana getir kehidupan.
“Di keheningan malam
Pergantian Sabtu ke Minggu
Antara hidup dan sakit
Menyiksa Ibumu
Tangis bercampur tawa
……..
Putriku,
Kau tumbuh dengan mata penuh tawa yang penuh tanya,
Dan aku mencoba menjawab dunia
Dengan cinta yang sederhana
Jika dunia nanti terasa berat,
Ingatlah…
Bahumu telah kugenggam sejak lama
Dan walau aku tak selalu ada,
Cintaku akan hidup di tiap langkahmu ke mana saja
Jadilah dirimu, nak, bukan yang mereka mau.
Berani untuk lembut,
Kuat untuk peduli,
Dan bijak untuk memilih jalanmu sendiri.”
Puisi ini memperlihatkan betapa nasihat AT tidak lahir dari jarak atau otoritas, melainkan dari kedekatan emosional dan kasih sayang. Di dalamnya tersirat kesadaran waktu—bahwa hidup dan sakit, tawa dan tangis, berjalan beriringan. Doa seorang ayah berubah menjadi refleksi tentang keberanian menjadi diri sendiri di dunia yang sering memaksa seseorang untuk menyesuaikan diri.
Namun, nuansa kasih itu juga bertaut dengan kerinduan dan kehilangan. Karena itu, puisi-puisi nasehat AT sulit dipisahkan dari romansa dan cinta yang dalam. Ia menulis dari ruang batin yang mengenang sekaligus menatap ke depan.
Selain puisi-puisi personal, AT juga berupaya menembus ruang sosial: desa, pasar, pedagang kecil, hingga tragedi kemanusiaan seperti Palestina. Kepedulian sosial ini tampak dalam sajak-sajak seperti Negeriku, Minangkabau, Negeri Beradat di Simpang Jalan, Di Tengah Sunyi Pasar, Penjual Kaus Kaki di Emperan Toko, Loper Koran, dan Doa Ibu-Ibu Palestina.
Dalam sajak Penjual Kaus Kaki di Emperan Toko, AT memberi suara pada kaum kecil yang sering luput dari perhatian:
“Aku bukan penjual sekadar pelindung kaki,
Tapi menjahit hidup dari benang kesabaran
Menyulam mimpi dari remah-remah rezeki
Mengikat hari dengan simbol keyakinan.”
Empati sosial menjadi bagian penting dari pandangan hidup penyair. Ia melihat kehidupan dari sisi mereka yang bertahan dengan kesabaran dan keyakinan. Di sinilah fungsi sosial puisi bekerja: memberi kesadaran dan ruang refleksi atas ketimpangan yang sering dianggap biasa.
Tema perjalanan juga menjadi motif yang menonjol dalam karya AT. Dalam puisi Di Atas Kereta Api Solo ke Yogya, ia mengubah pengalaman perjalanan menjadi ruang kontemplasi:
“Kulangkahkan kaki di stasiun Solo Balapan,
Hembusan angin menyapa lewat sela peron yang sepi
Ransel di punggungku, tiket di genggaman
Mencari sosok yang tak pernah bertemu
Kutatap alam yang indah di sepanjang deru kereta api
Sawah ladang, perbukitan, sungai bak surga
Anganku melayang jauh berpuluh tahun silam.”
Kerinduan pada kampung halaman pun kembali muncul, sebagaimana tampak dalam puisi Sungai Pasak Kampung Halamanku dan Surau Tua di Sungai Pasak. Dua puisi ini memperlihatkan keintiman penyair dengan ruang asalnya. Sungai dan burung pagi menjadi simbol masa kecil yang tenteram dan penuh syukur.
“Gemericik sungai dan suara burung pagi
Menjadi musik masa kecil yang tak terganti
Langitnya biru, tanahnya ramah
Di sana setiap langkah terasa bersyukur, bukan lelah.”
Menariknya, AT menutup puisi ini dengan ajakan dialog dengan kampungnya:
“Wahai Kampung,
Jika kelak aku kembali dalam diam,
Terimalah aku seperti dulu:
Anakmu yang tak pernah lupa jalan pulang
Di penghujung perjalanan panjang.”
Ada kesadaran eksistensial yang lembut di sini—kerinduan untuk pulang bukan hanya secara geografis, tetapi spiritual. Meski demikian, AT menulis dengan gaya yang lebih langsung, tidak sepenuhnya simbolik sebagaimana tradisi lisan Minangkabau yang penuh peribahasa dan ungkapan kias.
Satu puisi yang menarik untuk didalami lebih jauh adalah Siti Baheram dan Si Joki. AT mengangkat kisah tradisional yang jarang dijelajahi penyair lain. Kisah dua karakter ini—Siti Baheram yang lembut dan dermawan, serta Joki yang malas dan suka berjudi—menjadi alegori moral yang kuat.
“Di hamparan sawah menghijau
Suasana alam yang tenang di kampung Sungai Pasak,
Di situ ada kisah Siti Baheram dengan Si Joki
Seorang perempuan muda yang bernama Siti Baheram
Lembut tutur katanya, ringan tangannya,
Tak pernah hitung saat berbagi makanan dan doa
Berbeda dengan pemuda Joki, anak muda yang manja,
Suka bikin onar, pemalas, pejudi,
Temannya bernama Jangguik,
Dua wajah asing di kampung ramah.”
Puisi ini mempertentangkan dua sikap manusia: kebaikan yang dikenang dan kejahatan yang berakhir tragis. AT tampak hendak mengembalikan kisah tradisi itu sebagai cermin moral masa kini. Namun, sebagaimana Anda catat, gagasan ini bisa dikembangkan lebih dalam melalui perenungan simbolik. Penyair perlu berhati-hati agar tidak jatuh pada nada menggurui, sebab kekuatan puisi bukan pada memberi petuah, melainkan pada menghadirkan makna yang menggugah.
Begitu pula, ketepatan diksi menjadi hal penting agar puisi tetap bernas dan tidak kehilangan daya puitik. Dalam hal ini, karya AT memperlihatkan upaya yang jujur dan terbuka: antara religiusitas, romantisme, sosial, dan moral, ia mencoba memadukan semuanya dalam satu napas kemanusiaan yang hangat.
III
Penyair selalu membangun dunia baru—dunia yang berbeda dari realitas objektif. Ia mungkin berangkat dari realitas sosial, budaya, atau agama, tetapi dalam puisi, semua realitas itu menjelma menjadi sesuatu yang lain: realitas imajinatif yang memiliki hukum dan logikanya sendiri. Ketika seorang penyair menulis tentang kisah, sesungguhnya yang ia hadirkan bukan kisah itu sendiri, melainkan tafsir batinnya, imajinasi yang tumbuh dari pengalaman terhadap kisah tersebut. Bila ia menulis tentang sejarah, yang ia hasilkan bukan sejarah dalam arti faktual, melainkan sejarah yang fiktif—sebuah perenungan terhadap masa lalu yang dihidupkan kembali melalui bahasa.
Tugas sejarawan adalah mengungkap fakta-fakta historis. Tugas jurnalis adalah melaporkan peristiwa. Namun tugas penyair berbeda: ia memberi makna pada fakta dan peristiwa itu melalui bahasa—melalui pilihan kata, frase, simbol, dan metafora yang mengguncang kesadaran pembaca. Bahasa menjadi medium utama untuk menyingkap lapisan terdalam dari pengalaman manusia.
Keunggulan seorang penyair terletak pada kemampuannya menaklukkan bahasa. Ia bukan sekadar “memakai” kata, melainkan “menghidupi” kata. Penyair yang memiliki kekuatan diksi, frase, dan metafora akan melahirkan puisi yang hidup lama, karena kata-katanya mengandung daya tahan makna. “Kata” tidak lahir begitu saja. Ia melewati proses panjang perenungan, pengujian, dan pengalaman. Penyair yang tekun biasanya menghayati setiap kata, menelitinya, dan bertanya: apakah kata ini tepat, apakah ia bernyawa dalam bait dan konteksnya? Di situlah letak kedalaman proses kreatif yang sering tersembunyi di balik baris-baris sajak.
Puisi bukan jalan yang mudah, apalagi jalan pintas bagi pengarang. Ia lahir ketika bentuk-bentuk tulisan lain tak lagi cukup menampung luapan makna. Ia merupakan titik kulminasi dari perenungan, kesedihan, kerinduan, dan pengetahuan yang telah matang. Karena itu, puisi menuntut disiplin, kesabaran, serta keluasan bacaan dan wawasan.
Sebagaimana dikatakan Rainer Maria Rilke dalam Surat-surat kepada Penyair Muda (1903):
“Pergilah ke dalam dirimu. Temukan apa yang mendorongmu menulis. Apakah hal itu telah mengakar dalam hatimu yang terdalam? Akui pada dirimu sendiri—apakah kau rela mati untuk menulis?”
Pertanyaan Rilke yang paling penting adalah: “Haruskah aku menulis?” Pertanyaan ini tampak sederhana, namun justru menjadi inti dari seluruh pergulatan kepenyairan. Ia bukan hanya soal keinginan untuk menulis, tetapi tentang panggilan batin yang memaksa seseorang menulis meski tak ada janji penghargaan atau pembaca. Dari titik inilah, puisi menemukan maknanya: sebagai pernyataan paling jujur tentang eksistensi manusia di hadapan hidup dan Tuhan.*
Padang, 25 Oktober 2025