Batu Tagak dan Rahasia Peradaban di Lima Puluh Kota

Jum'at, 24/10/2025 23:35 WIB
Situs menhir Bawah Parit Nagari Mahek, Kecamatan Bukit Barisa

Situs menhir Bawah Parit Nagari Mahek, Kecamatan Bukit Barisa

OLEH Sudarmoko

PERJALANAN menuju Maek (Mahat) dari Padang, sekitar 150 km, dapat ditempuh dengan kendaraan selama kurang lebih empat jam. Perjalanan hingga Payakumbuh atau Lima Puluh Kota cukup nyaman. Namun, setelah melewati Anding, kita akan menghadapi jalan yang sempit, berkelok tajam, dan berlubang.

Diperlukan kehati-hatian dalam berkendara karena jalan di sepanjang Bukit Barisan ini berada di jalur tebing, menanjak, lalu menurun dengan lebar jalan yang hanya cukup untuk satu mobil. Meskipun kendaraan yang melintas tidak banyak, pengemudi harus tetap waspada saat berpapasan. Jangan lupa membunyikan klakson, terutama ketika melalui kelokan yang curam dengan tanjakan dan turunan yang banyak jumlahnya.

Perjalanan kami menuju Maek bertujuan untuk melihat dan mengunjungi situs menhir atau batu tagak. Kawasan batu tagak ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Menhir-menhir tersebut merupakan tinggalan peradaban penting yang perlu dikaji lebih mendalam. Menurut berbagai sumber, menhir dibuat pada 2500 atau 1500 tahun sebelum Masehi, namun ada juga yang memperkirakan usianya lebih tua, bahkan hingga 4000 tahun sebelum Masehi. Jika dilihat dari bahan dan bentuknya, menhir-menhir ini memang dibuat pada masa megalitikum.

Menhir sebagai tinggalan peradaban yang dibuat oleh tangan manusia sebenarnya menyimpan informasi dan pengetahuan mengenai kehidupan pada masa lalu. Diperlukan kajian lebih lanjut mengenai fungsi, asal-usul pembuatan, interaksi manusia di daerah ini dengan daerah lain, tata ruang dan lingkungan, hingga sistem sosial, struktur sosial, atau bahkan sistem pemerintahan pada masa lalu.

Hubungan kesejarahan dan budaya terkait Minangkabau atau pra-Minangkabau, serta sejarah agama dan kepercayaan, juga dapat dibicarakan melalui kajian terhadap menhir. Sayangnya, informasi dan pengetahuan yang tersimpan di balik menhir-menhir ini belum terungkap secara maksimal.

Sebagai situs cagar budaya, kawasan menhir ini dikelola oleh Balai Pelestarian Wilayah III, Kementerian Kebudayaan. Dua situs yang kami kunjungi di Nagari Maek kondisinya terkelola dengan baik. Hanya saja, fasilitas pendukungnya masih perlu mendapat perhatian, termasuk jalan utama menuju situs, jalan masuk dari jalan utama, tempat parkir, area istirahat, dan pusat informasi. Kondisi saat ini yang masih minim kunjungan dan kajian dapat diperbaiki melalui promosi dan peningkatan fasilitas umum. Saya pikir, situs batu tagak ini dapat menjadi pusat perhatian publik dan destinasi wisata tematik pada masa mendatang jika dikelola dengan baik.

Peta lokasi dan daftar menhir yang berhasil diidentifikasi oleh tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985.

Kawasan yang berada di jalur khatulistiwa ini memiliki iklim dan suhu yang panas, meskipun berada di perbukitan. Mungkin pemilihan kawasan menhir yang berada di jalur khatulistiwa ini memiliki alasan tersendiri. Begitu juga dengan posisinya yang berada di ujung wilayah dengan jarak yang cukup jauh dan sulit dijangkau. Kondisi ini mungkin berbeda dengan masa lalu, karena ada jalur sungai yang tampaknya lebih mudah dilalui.

Di sepanjang jalan, kita jarang menemukan perkampungan atau permukiman, kecuali di titik-titik tertentu. Wilayah menuju Maek didominasi perbukitan dan lembah, dengan sedikit kawasan datar yang bisa dijadikan permukiman. Namun demikian, hasil perkebunan dan pertanian dari kawasan ini cukup melimpah.

Potensi untuk mengungkap pengetahuan terkait menhir ini sangat besar. Tinggalan sejarah, peradaban, dan arkeologi ini dapat dijadikan sebagai laboratorium hidup. Berbagai proyek penelitian dan pengembangan pengetahuan dapat dilakukan melalui situs menhir ini.

Lokasi situs menhir tidak hanya terdapat di Maek, tetapi juga di daerah lain seperti Belubus, Anding, dan sekitarnya. Dengan segala potensinya, menhir dan situs peradaban ini dapat dikembangkan lebih jauh bagi masyarakat luas, terutama bagi mereka yang berminat pada warisan budaya dan kesejarahan. Bahkan, bukan tidak mungkin situs menhir ini kelak menjadi bagian dari warisan budaya dunia, mengingat arti pentingnya bagi peradaban manusia.

Situs Menhir Balai Batu Koto Gadang, Kecamatan Bukit Barisan.

Salah satu tujuan saya dan kawan-kawan mengunjungi situs menhir ini adalah untuk menelusuri kemungkinan kajian folklor diterapkan dengan menggunakan data-data yang ada di situs menhir. Selain dilihat dari bentuk fisiknya, tinggalan di situs menhir ini juga dapat diungkap melalui benda, cerita, mitos, maupun kepercayaan masyarakat terhadap keberadaannya. Masyarakat sekitar pasti menyimpan berbagai kisah mengenai menhir-menhir ini. Mereka yang hidup di sekitar situs menjadi bagian dari tinggalan budaya tersebut; mereka turut merawat, menjaga, dan melindungi menhir yang merupakan warisan leluhur mereka.

Gus tf Sakai, dalam cerpennya berjudul “Kota Tiga Kota” yang terhimpun dalam kumpulan cerpen Perantau (2007), pernah mengolah tinggalan menhir sebagai sumber ceritanya. Cerpen ini menghadirkan kisah pilu yang dialami tokoh cerita, yang membawa interpretasi baru atas sejarah yang diyakini masyarakat terkait batu-batu menhir.

Tokoh tersebut kemudian dihukum karena dianggap mengganggu keyakinan terhadap sejarah yang telah mapan. Cerpen ini seolah menggambarkan kondisi kurangnya kajian terhadap keberadaan menhir yang mungkin berbeda dari apa yang selama ini dipercaya. Tokoh dalam cerpen ini menjadi contoh kegelisahan dan harapan akan lahirnya temuan-temuan baru yang didasarkan pada argumentasi dan data yang valid.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah menerbitkan hasil pemetaan dan observasi terhadap situs-situs menhir ini dalam buku Peninggalan Megalitik di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat (1985). Buku setebal 94 halaman ini memberikan deskripsi serta dokumentasi situs dan batu menhir yang ditemukan.

Buku ini, saya kira, menjadi rujukan penting dalam menggali dan membandingkan temuan-temuan menhir dari masa ke masa. Artikel yang ditulis John Norman Miksic (1987) juga menjelaskan dengan menarik tentang keberadaan batu tagak ini dalam kaitannya dengan sejarah budaya, termasuk kemungkinan hubungan, asal-usul, dan interaksi menhir-menhir tersebut dengan daerah lain.

Keberadaan situs menhir sebagai warisan budaya di Maek dan di sejumlah daerah lain di Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan potensi budaya yang sangat penting untuk dikembangkan. Situs menhir di Maek, misalnya, dapat dijadikan pintu pembuka dalam mengembangkan potensi lain yang ada di daerah ini.

Tinggalan prasejarah menhir ini dapat disejajarkan dengan situs prasejarah Maros di Sulawesi Selatan. Praktik baik dalam pengelolaan warisan budaya secara nasional perlu dijajaki untuk menyusun tata kelola kebijakan dan praktik di lapangan.

Aktivasi situs menhir ini telah dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti festival, seminar, serta kajian ilmiah dan karya kreatif. Meski sudah dikenal dengan baik, pengelolaan situs menhir ini masih memerlukan berbagai inisiatif dan program baru. Penguatan partisipasi masyarakat juga perlu dilakukan, karena mereka merupakan bagian dari sejarah dan kawasan situs itu sendiri.*



BACA JUGA