Penangkapan Delpedro Marhaen Tuai Kritik, Dinilai Cacat Prosedur

Rabu, 03/09/2025 11:54 WIB
Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. (dok Lokataru Foundation)

Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. (dok Lokataru Foundation)

Jakarta, sumbarsatu.com— Polda Metro Jaya menetapkan aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, sebagai tersangka kasus dugaan penghasutan dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu. Ia dituduh menyebarkan ajakan yang berujung kerusuhan serta melibatkan anak-anak.

Selain Delpedro, polisi juga menjerat seorang staf Lokataru, Mujaffar Salim, dengan tuduhan serupa. Lokataru sendiri merupakan organisasi nirlaba berbasis di Jakarta yang bergerak di isu hak asasi manusia.

Menurut catatan LBH Jakarta, Delpedro dijemput paksa oleh sekitar 10 polisi berpakaian serba hitam di kantor Lokataru Foundation, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Senin (1/9/2025) malam sekitar pukul 22.30 WIB.

Polisi dari Subdit Keamanan Negara Polda Metro Jaya itu menunjukkan selembar kertas berwarna kuning yang diklaim sebagai surat penangkapan.

Delpedro sempat mempertanyakan legalitas dokumen tersebut serta meminta pendampingan hukum, namun aparat berdalih memiliki surat tugas penangkapan dan penggeledahan.

LBH Jakarta menyebut proses penangkapan berlangsung tergesa-gesa dengan pengawalan enam mobil. Polisi juga melarang Delpedro menggunakan telepon seluler dan sempat meminta ia berganti pakaian dengan nada intimidatif.

Lokataru menilai penangkapan itu cacat prosedur, mengabaikan prinsip HAM, dan membatasi hak konstitusional. “Petugas bahkan masuk ke lantai dua kantor secara tidak sopan, melakukan penggeledahan, serta merusak CCTV,” tulis Lokataru dalam pernyataannya.

Pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menyebut langkah aparat tidak sah. “Seseorang tidak bisa ditangkap bila belum ditetapkan sebagai tersangka. Kami menilai ada tindakan sewenang-wenang,” ujarnya dikutip dari bbc.com, Rabu (3/9/2025).

Juru Bicara Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, mengatakan penangkapan dilakukan setelah penyidik menemukan bukti cukup bahwa Delpedro menghasut massa untuk melakukan kerusuhan.

“Ini bukan ajakan demonstrasi damai, melainkan ajakan anarki dengan melibatkan pelajar, termasuk anak-anak,” kata Ade Ary. Namun ia enggan memerinci bentuk provokasi yang dimaksud, dengan alasan masih dalam pendalaman penyidik.

Langkah polisi menuai kritik luas. Pendiri Lokataru, Haris Azhar, menilai tuduhan hasutan tidak berdasar. Menurutnya, unggahan Lokataru di media sosial tidak pernah berisi provokasi, melainkan pendampingan hukum bagi anak-anak yang ditangkap polisi.

“Itu adalah ekspresi, bukan hasutan. Justru kami mendampingi anak-anak yang jadi korban. Penangkapan ini praktik pengambinghitaman,” kata Haris.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, menilai aparat gagal membedakan antara ekspresi kebebasan berpendapat dengan provokasi. “Sudah ada rakyat dilindas dan aktivis ditangkap, tapi aparat tidak belajar dari kesalahan masa lalu,” ujarnya.

Selain Delpedro dan Mujaffar, aparat juga menangkap sejumlah aktivis dan pengacara publik YLBHI di berbagai daerah. Seorang pengacara YLBHI di Manado disebut sempat dianiaya saat ditangkap, sementara di Samarinda seorang pengacara ditahan hingga dini hari sebelum dilepaskan dengan syarat.

Aktivis gerakan Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, juga ditangkap di Bali pada 1 September malam. Namun, Polda Bali membantah kabar tersebut meski kolega Syahdan membenarkan penangkapan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 20 orang hilang pasca demonstrasi, sementara 31 orang lainnya sempat dilaporkan hilang namun kemudian ditemukan dalam tahanan polisi. KontraS menilai praktik penahanan rahasia itu melanggar hukum.

Pengamat politik CSIS, Dominique Nicky Fahrizal, menyebut rangkaian penangkapan aktivis sebagai upaya pemerintah menata ulang kekuasaan pasca demonstrasi besar. Ia menilai legitimasi Presiden Prabowo yang memerintahkan penindakan tegas telah membuat aparat mengabaikan prosedur hukum.

“Penghargaan kepada aparat yang represif justru berbahaya. Aparat berlomba-lomba melakukan tindakan keras,” tambah Ubedillah. ssc/mn.bbc.com



BACA JUGA