Agar Tak Diklaim Asing, Kemenbud Dorong Pendaftaran Kekayaan Intelektual di Sumbar

Rabu, 27/08/2025 23:07 WIB
Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, gelar Sosialisasi Pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Budaya di Auditorium RRI Padang, Rabu (27/8/2025).

Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, gelar Sosialisasi Pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Budaya di Auditorium RRI Padang, Rabu (27/8/2025).

Padang, sumbarsatu.com— Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, gelar Sosialisasi Pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Budaya diikuti ratusan pegiat budaya, seniman, akademisi, dan dinas-dinas terkait seluruh Provinsi Sumatera Barat di Auditorium RRI Padang, Rabu (27/8/2025).

Kegiatan yang berlangsung seharian ini menjadi ruang bagi para pemangku kepentingan untuk memperdalam wawasan tentang pentingnya kekayaan intelektual sekaligus wadah diskusi guna memperkuat ekosistem budaya di Sumatera Barat.

Direktur Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual Kemenbud, Yayuk Sri Budi Rahayu, menjelaskan bahwa sosialisasi ini bertujuan mendorong pelaku budaya agar semakin sadar akan pentingnya pendaftaran KI. Dengan demikian, karya budaya terlindungi dari klaim maupun eksploitasi pihak lain.

“Pelindungan kekayaan intelektual tidak hanya soal pencatatan, tetapi juga menjaga identitas, martabat, dan nilai ekonomi yang terkandung dalam karya budaya. Kita ingin budaya lokal tidak hanya lestari, tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat,” kata Yayuk Sri Budi Rahayu.

Selain memberikan pemahaman, kegiatan ini juga diharapkan memperkuat kolaborasi antarinstansi pemerintah, seniman, budayawan, akademisi, serta masyarakat luas dalam melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya.

Yayuk Sri Budi Rahayu menjelaskan, bahwa hingga kini masih banyak pelaku budaya yang belum mendaftarkan karya mereka. Menurutnya, hal ini terjadi karena minimnya edukasi, kurangnya kesadaran, atau adanya anggapan bahwa proses pengajuan KI rumit dan memakan waktu.

“Padahal sebenarnya tidak sulit. Prosesnya bisa dilakukan melalui website DJKI Kementerian Hukum dan HAM. Memang ada biayanya, tetapi sesuai aturan. Jika tidak dicatatkan, karya bisa saja diklaim atau ditiru pihak lain, yang pada akhirnya merugikan pelaku budaya baik secara ekonomi maupun secara budaya,” terang Yayuk Sri Budi Rahayu.

Ia juga menegaskan bahwa Kemenbud berperan sebagai fasilitator dalam hal perlindungan KI, melalui sosialisasi, advokasi, serta fasilitasi pencatatan. Sementara itu, pendaftaran resmi KI berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum.

“Kami lebih fokus pada penetapan warisan budaya, baik benda maupun tak benda, yang proses pendataannya dilakukan berjenjang mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat,” katanya.

Menurutnya, meskipun pencatatan resmi berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kebudayaan tetap berperan signifikan melalui penetapan warisan budaya.

“Jadi, Kemenbud dan Kementerian Hukum melakukan sinkronisasi data agar penetapan dan pencatatan kekayaan intelektual ini selaras,” jelasnya.

Data Pusat Kekayaan Intelektual Komunal Kemenbud mencatat adanya peningkatan karya yang telah difasilitasi, yakni 904 karya pada 2022, 972 karya pada 2023, dan 1.119 karya pada 2024. Meski jumlah tersebut meningkat, Yayuk menilai masih sangat kecil dibandingkan dengan 11.622 warisan budaya yang tercatat secara nasional pada 2022.

Sementara itu, Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan III Sumatra Barat menjelaskan, kekayaan intelektual tidak hanya terkait ide-ide modern, melainkan juga mencerminkan identitas dan kearifan lokal masyarakat.

“Berbagai motif, tarian tradisional, atraksi budaya, hingga ekspresi budaya komunal lainnya termasuk dalam kategori tersebut,” kata Nurmatias.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko Ruseimy dalam sambutan yang dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Jefrinal Arifin, menegaskan bahwa perlindungan hukum terhadap budaya sangat penting di tengah derasnya arus globalisasi.

“Budaya rawan diklaim, dipatenkan, atau dieksploitasi pihak lain, sebagaimana pernah terjadi pada batik, reog Ponorogo, hingga kuliner Nusantara. Sumbar sebagai gudang budaya dengan silek, songket, dan rendang, harus memiliki perlindungan yang jelas,” tegasnya.

Sementara itu, Alpius Sarumaha, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat yang hadir sebagai narasumber memeparkan mengenai aspek hukum dan prosedur pendaftaran kekayaan intelektual. Menurutnya, banyak pelaku budaya masih enggan mendaftarkan karya mereka karena anggapan prosesnya rumit, padahal sebenarnya mekanismenya sederhana dan dapat diakses melalui laman resmi DJKI.

“Perlindungan hukum akan memberikan kepastian dan manfaat ekonomi. KI bukan sekadar administrasi, tetapi jaminan agar karya kita tidak dirugikan, baik dari sisi budaya maupun ekonomi,” papa Alpius Sarumaha.

Ia menjelaskan pentingnya masyarakat sadar hukum, termasuk dalam hal pendaftaran hak cipta, merek, maupun kekayaan intelektual komunal. Ia menilai, pemahaman ini akan mencegah praktik klaim sepihak seperti yang pernah terjadi pada sejumlah warisan budaya Nusantara.

“Banyak pelaku budaya masih enggan mendaftarkan karya mereka karena anggapan prosesnya rumit, padahal sebenarnya mekanismenya sederhana dan dapat diakses melalui laman resmi DJKI. Perlindungan hukum akan memberikan kepastian dan manfaat ekonomi. KI bukan sekadar administrasi, tetapi jaminan agar karya kita tidak dirugikan, baik dari sisi budaya maupun ekonomi,” sebutnya.

Guru Besar Universitas Indonesia Agus Sardjono dalam kesempatan itu menyinggung tantangan globalisasi terkait dengan hak kekayaan intelektual ini.

“Tantangan perlindungan kekayaan intelektual semakin berat di era globalisasi. Banyak warisan budaya Nusantara yang diklaim bahkan dieksploitasi oleh pihak asing. Kita harus melengkapi deskripsi secara luas dan mendalam setiap karya intelektual, dan kita selama ini lemah di basis data menyangkut karya intelektual,” kata Agus Sardjono.

Yusril, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat ISI Padang Panjang sudah melakukan fasilitasi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berupa hak cipta bagi sivitas akademika.

“Langkah ini dilakukan untuk melindungi karya dosen dan mahasiswa dari potensi pencurian maupun penyalahgunaan, sekaligus menumbuhkan semangat berkarya yang berkualitas di lingkungan ISI Padang Panjang,” kata Yusril, yang juga seorang seniman teater yang sydah mendaftarkan belasan karyanya ke HKI.

Sosialisasi Pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Budaya yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan ini dibagi dalam dua sesi perbicangan juga menghadirkan Annisa Rengganis, staf khusus Kementerian Kebudayaan, Sri Oktavia dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, yang dimoderatori Hery P. Manurung, Pamong Budaya Ahli Pertama dan Esha Tegar Putra, sastrawan. Kegiatan juga dihadiri Kepala RRI Padang Yulian S. Saaba. ssc/mn  



BACA JUGA