
Muaro Sijunjung, sumbasatu,com – Pada tahun 2024, masyarakat Nagari Sisawah dikejutkan oleh temuan alat berat di hutan Nagari Sisawah, Lanskap Sumpur Kudus.
Penambangan emas tanpa izin (PETI) mulai menjarah kawasan hutan mereka. Temuan ini menambah daftar ancaman terhadap lanskap Sumpur Kudus, yang sebelumnya juga telah terindikasi mengalami pencurian kayu di kawasan lain.
Ancaman yang terus berdatangan ini memotivasi masyarakat, pengelola hutan nagari, dan berbagai pihak untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan.
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat memerlukan peningkatan pengetahuan serta tata cara penanganan tindakan ilegal di kawasan hutan nagari.
KKI Warsi hadir menjembatani kebutuhan ini melalui Pelatihan Teknik Pemantauan dan Pelaporan Kejahatan Lingkungan, yang melibatkan pengelola hutan nagari dari enam LPHN (Lembaga Pengelola Hutan Nagari) di Lanskap Sumpur Kudus: LPHN Silantai, Unggan, Sisawah, Sumpur Kudus, Manganti, dan Sumpur Kudus Selatan.
“Kami menemukan adanya aktivitas ilegal di hutan nagari kami, ada alat berat yang masuk,” ujar Restu Syamsepta, Wali Nagari Sisawah, dalam pelatihan yang berlangsung pada 22–25 Juni 2025 di Muaro Sijunjung.
Selama ini, LPHN lebih mengedepankan pendekatan adat dalam menangani aktivitas ilegal di wilayah hutan nagari mereka, seperti memberikan teguran atau sanksi adat—terutama jika pelanggaran tergolong ringan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, aktivitas ilegal kian masif dan melibatkan jaringan pelaku dari luar wilayah.
Sayangnya, pendekatan adat belum cukup membendung eskalasi pelanggaran tersebut. Situasi menjadi semakin berat ketika tindakan ilegal berdampak langsung pada bencana ekologis. Tahun lalu, banjir merendam lima nagari di Kecamatan Sumpur Kudus: Sumpur Kudus, Sumpur Kudus Selatan, Silantai, Unggan, dan Manganti. Bencana itu merusak lahan pertanian, peternakan, permukiman warga, bahkan memutus akses jalan utama ke enam nagari tersebut.
LPHN pun menyadari pentingnya menyeimbangkan pendekatan adat dengan penegakan hukum, sebagai upaya terakhir untuk menimbulkan rasa takut dan efek jera terhadap para pelaku.
“Apakah kami bisa mengambil tindakan hukum? Bagaimana kalau justru kami dilaporkan balik atau dianggap melampaui kewenangan? Bisa-bisa tim patroli LPHN malah dituduh melakukan persekusi atau perbuatan tidak menyenangkan karena mengamankan pelaku atau barang bukti,” ungkap salah satu peserta pelatihan.
Kekhawatiran seperti ini menjadi materi penting dalam pelatihan. Salah satunya adalah memperjelas batas dan bentuk kewenangan LPHN sebagai pemegang izin kelola perhutanan sosial dari pemerintah. LPHN sendiri adalah representasi masyarakat adat dan lokal—terdiri dari petani, pemuda, serta tokoh kampung—yang bukan aparat penegak hukum dan umumnya tidak memiliki latar belakang hukum. Namun, mereka memikul tanggung jawab besar dalam menjaga kelestarian hutan nagari yang luas dan kaya akan keanekaragaman hayati.
Dalam pelatihan ini, Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang, menjelaskan secara rinci langkah-langkah mengakses bantuan hukum dari organisasi yang telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, seperti LBH Padang.
Ia menegaskan bahwa LPHN berhak mendapat bantuan hukum pro bono, terutama saat menghadapi kriminalisasi atau gugatan dari pelaku kejahatan lingkungan.
“Karena tidak memiliki pengetahuan hukum yang memadai, mereka sangat rentan dikriminalisasi saat menjalankan tugas perlindungan hutan. Itulah sebabnya pelatihan ini penting untuk memperkuat posisi hukum mereka,” jelas Diki.
Ia juga menegaskan kesiapan LBH Padang dalam memberikan pendampingan apabila LPHN mengalami intimidasi atau pelaporan balik. Hal ini diamini oleh Sepman Hadi, S.H., Kepala Unit III (Tipikor) Satreskrim Polres Sijunjung, yang menyatakan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya perlindungan lingkungan berbasis masyarakat.
“LPHN cukup menyusun kronologi temuan mereka, melampirkan dua alat bukti yang terdokumentasi, dan bersedia memberikan keterangan bila dibutuhkan dalam proses penyidikan,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antarpihak dalam menindak pelaku pembalakan liar dan perambahan.
Jika dijumlahkan, luas keseluruhan enam izin hutan nagari di Lanskap Sumpur Kudus mencapai 14.618 hektare. Lanskap ini kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, termasuk satwa-satwa terancam punah seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae),
Rangkong Gading (Rhinoplax vigil), Siamang (Symphalangus syndactylus), Kambing Hutan (Capricornis sumatraensis), Tapir (Tapirus indicus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Macan Dahan (Neofelis diardi), dan Trenggiling (Manis javanica).
Lanskap ini juga mencakup Sub DAS Batang Kuantan, daerah tangkapan air yang berperan sebagai bandul hidrologis, menyediakan air bersih untuk kebutuhan harian dan sumber irigasi pertanian masyarakat.
Karena itu, menurut Asrul Aziz Sigalingging, Koordinator Safeguard, Hukum, dan Kebijakan KKI Warsi, sinergi multipihak antara masyarakat akar rumput, penegak hukum, organisasi bantuan hukum, dan NGO adalah kunci untuk menghadapi krisis iklim dan kejahatan lingkungan yang kian kompleks.
Aziz juga menyampaikan rencana penguatan kerja sama lintas nagari serta koordinasi dengan aparat hingga tingkat provinsi.
“Kami akan membangun komunikasi lebih lanjut dengan Polda Sumbar dan Gakkum Dinas Kehutanan untuk membentuk sistem patroli bersama serta mekanisme respons cepat terhadap ancaman hutan,” tambahnya.
Selain penguatan kapasitas komunitas, LPHN bersama-sama akan mendorong terbentuknya kerja sama antar-nagari untuk melakukan patroli gabungan dan menjalin koordinasi dengan aparat penegak hukum di tingkat kabupaten maupun provinsi, seperti Gakkum Polisi Kehutanan di KPHL Sijunjung, Gakkum Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Polres Sijunjung, maupun Polda Sumbar.
Kepala UPTD KPHL Sijunjung, Yandesman, menekankan pentingnya peran LPHN dalam pengawasan kawasan perhutanan sosial. Ia menyoroti perlunya dukungan dan koordinasi antarinstansi agar masyarakat tidak dibiarkan bekerja sendiri di lapangan.
Senada, Direktur WALHI Sumatera Barat, Wengki Purwanto, menyampaikan bahwa keberhasilan pengelolaan perhutanan sosial sangat bergantung pada dukungan konkret terhadap masyarakat yang menjadi garda terdepan dalam perlindungan kawasan.
Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi lintas sektor, komunitas pelindung hutan kini memiliki bekal lebih kuat untuk menjaga warisan ekologis Sumatera Barat dari ancaman pembalakan liar, perambahan, dan eksploitasi ilegal lainnya. ssc/rel