RUU Agen Asing Disahkan di Georgia: Ancaman terhadap Kebebasan Sipil dan Media

Sabtu, 05/04/2025 15:35 WIB
Parlemen Georgia telah mengesahkan Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (FARA) dalam pembacaan ketiga dan terakhirnya, Jumat (4/4/2025).

Parlemen Georgia telah mengesahkan Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (FARA) dalam pembacaan ketiga dan terakhirnya, Jumat (4/4/2025).

Georgia, sumbarsatu.com--Parlemen Georgia telah mengesahkan Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (FARA) dalam pembacaan ketiga dan terakhirnya, Jumat (4/4/2025).

Sebuah langkah yang menuai kritik luas karena dinilai dapat menekan media independen dan kelompok masyarakat sipil. RUU tersebut lolos dengan 86 suara setuju tanpa suara penolakan, menurut laporan Georgian Public Broadcaster. Saat ini, RUU tersebut menunggu persetujuan Presiden Mikheil Kavelashvili.

Ketua Parlemen Shalva Papuashvili menyatakan bahwa undang-undang ini serupa dengan FARA di Amerika Serikat. Namun, para ahli hukum dan organisasi hak asasi manusia berpendapat bahwa versi Georgia tidak memiliki perlindungan hukum dan mekanisme penegakan nonpartisan sebagaimana dalam undang-undang AS, dan justru berpotensi menjadi alat represif terhadap pihak-pihak yang mengkritik pemerintah.

RUU ini mengharuskan individu dan organisasi yang menerima lebih dari 20% pendanaan dari sumber asing untuk mendaftar sebagai agen asing. Kegagalan untuk melakukannya dapat berujung pada tuntutan pidana dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun.

Parlemen juga mengesahkan amandemen terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjadikan status agen asing sebagai urusan publik dan mewajibkan pelaporan keuangan tahunan.

Pengawasan akan dilakukan oleh Biro Anti-Korupsi, lembaga yang dinilai sebagian pihak terlalu dekat dengan partai penguasa, Georgian Dream.

Pengesahan undang-undang ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan politik di Georgia, terutama sejak meletusnya protes besar pada November 2023, setelah pemerintah menunda proses keanggotaan Uni Eropa.

Pihak berwenang menuduh organisasi masyarakat sipil sebagai pemicu kerusuhan, sementara para penentang khawatir undang-undang ini akan digunakan untuk membungkam suara oposisi.

“Undang-undang ini hanya mirip FARA secara nama,” kata Saba Brachveli, pengacara dari Yayasan Masyarakat Sipil di Tbilisi. “Ia tidak memiliki perlindungan hukum atau independensi penegakan hukum seperti di AS, dan malah membuka jalan bagi tindakan represif yang cepat.”

Organisasi internasional kebebasan pers juga mengutuk RUU ini. Transparency International Georgia memperingatkan bahwa keberadaan undang-undang tersebut bisa mengancam kelangsungan media independen yang kritis terhadap pemerintah.

Sementara pemerintah mengklaim undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan nasional dan sesuai dengan norma internasional, para penentang menilainya sebagai alat untuk mempersempit ruang demokrasi.\

Rusia Perketat Sensor pada Media Asing dan Organisasi Internasional

Di sisi lain, Rusia terus memperluas tindakan sensor terhadap media asing dan organisasi internasional. Jaksa Agung Igor Krasnov mengumumkan bahwa untuk pertama kalinya, Rusia secara resmi melarang operasi 81 media asing sebagai bentuk balasan atas pembatasan media Rusia di luar negeri. Akses ke konten mereka juga diblokir.

Pada tahun 2024, Rusia juga menyatakan 71 organisasi asing dan internasional sebagai "tidak diinginkan", serta mencap tiga organisasi sebagai kelompok "teroris", termasuk 172 subdivisinya.

Langkah ini mengikuti keputusan Uni Eropa pada Juni 2024 yang melarang penyiaran tiga media yang berafiliasi dengan pemerintah Rusia: RIA Novosti, Izvestia, dan Rossiyskaya Gazeta. Media-media seperti Politico, Agence France-Presse, Der Spiegel, Yle, El País, dan EUobserver termasuk di antara yang dilarang di Rusia.

Media independen dalam negeri juga menjadi sasaran. Outlet seperti Radio Free Europe/Radio Liberty, TV Rain, Meduza, dan Novaya Gazeta Europe telah dinyatakan sebagai “organisasi tidak diinginkan.”

Menurut Interfax, tahun 2024 mencatat pemblokiran situs web tertinggi dalam sejarah Rusia dengan total 523.000 situs, di mana 417.000 di antaranya masih diblokir hingga kini. SSC/MN

Sumber: https://www.occrp.org



BACA JUGA