
Gedung Danantara
OLEH Hara Nirankara (Peneliti Lingkar Kajian Kota Pekalongan)
EFISIENSI anggaran yang menuai banyak protes dari berbagai elemen masyarakat, nyatanya mampu memangkas APBN lebih dari Rp300 triliun. Uang hasil efisiensi yang katanya untuk membiayai makan bergizi gratis (MBG), ternyata sekitar Rp300 triliun disetorkan kepada Danantara.
Presiden RI Prabowo Subianto akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada tanggal 24 Februari 2025. Nantinya BPI Danantara akan mengelola seluruh aset-aset perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tahukah Anda apa yang aneh dari setoran hasil efisiensi ini? Draf awal Danantara oleh Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain adalah ayah dari Prabowo Subianto, menginginkan 1-5 persen laba BUMN masuk ke dalam Danantara. Namun praktik yang dilakukan oleh Prabowo, justru memangkas anggaran di Kementerian sebagai “modal awal” bagi Danantara.
Fakta di atas merupakan sebuah anomali, di mana seharusnya untuk menyuntikkan modal awal bagi Danantara, laba BUMN yang semestinya dijadikan “bahan bakar”.
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang dirancang untuk mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai Rp9.000 triliun menuai rasa kegelisahan tersendiri di benak saya.
Kenapa? Muncul kekhawatiran bahwa Danantara justru menjadi alat otoritarianisme baru, menjauhkan Indonesia dari utopia ekonomi yang dijanjikan, dan malah memperkuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ala Orde Baru. Sedangkan yang saya ingat, katanya Prabowo ingin meniru gaya Pemerintahan Deng Xiaoping, yang bisa membawa Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global saat ini.
Danantara, Temasek, dan Nepotisme
Danantara disebut-sebut ingin meniru model Temasek, Sovereign Wealth Fund (SWF) Singapura yang sukses mengelola aset negara. Namun, ada perbedaan mendasar yang mendasar, di mana Temasek dikelola oleh entitas swasta yang independen dengan fokus pada profitabilitas dan efisiensi, sedangkan Danantara dikelola oleh BUMN yang rentan terhadap intervensi politik.
Menurut teori Principal-Agent Problem (Jensen & Meckling, 1976), dalam struktur BUMN, pemerintah sebagai principal sering kali gagal mengawasi agen (pengelola BUMN) karena konflik kepentingan dan kurangnya independensi.
Hal ini berpotensi menjadikan Danantara sebagai alat politik, bukan motor ekonomi, sebagaimana terjadi pada BUMN era Orde Baru yang sering digunakan untuk kepentingan kroni Soeharto.
Faktanya, jabatan-jabatan strategis di BUMN banyak diisi oleh “orang titipan” partai politik, entah itu ketua partai, kader, hingga buzzer. Nah yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Danantara sukses mengelola aset negara melalui superholding BUMN, jika masih banyak parasit di BUMN itu sendiri? Sedangkan, seperti yang kita semua tahu bahwa Temasek berbentuk dan dikelola oleh swasta, yang tata kelolanya lebih profesional.
Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), serta keponakannya Pandu Patria Sjahrir yang dikabarkan akan menduduki posisi penting di Danantara, serta penunjukan eks-Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan juga ormas keagamaan sebagai pengawas, menunjukkan praktik nepotisme dan politisasi.
Menurut penjelasan dari Max Weber (1978) dalam teori tentang Patrimonialisme, dijelaskan bahwa ketika kekuasaan dijalankan berdasarkan hubungan personal dan loyalitas, bukan meritokrasi bisa dijadikan alat untuk konsolidasi kekuasaan.
Penunjukan figur-figur tadi, meskipun beberapa memiliki kompetensi, menciptakan persepsi bahwa Danantara lebih merupakan alat konsolidasi kekuasaan kelompok tertentu daripada institusi untuk kepentingan nasional.
Nah yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah ormas keagamaan memiliki kompetensi serta kapabilitas untuk melakukan audit di Danantara? Sedangkan seperti yang kita semua tahu, untuk mengelola tambang saja, mereka tetap mencari investor guna menghasilkan pundi-pundi rupiah.
KPK, BPK, dan Korupsi
Nah, hal yang menurut saya teramat konyol.yaitu, terdapat fakta bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus meminta izin dari DPR ketika akan mengaudit Danantara, menunjukkan pelemahan mekanisme checks and balances.
Dalam teori Demokrasi Deliberatif Jürgen Habermas (1996), transparansi dan pengawasan independen adalah pilar utama demokrasi.
Pembatasan yang ditujukan kepada KPK dan BPK ini, menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan mengurangi akuntabilitas, yang dapat memperkuat otoritarianisme serta melindungi pelaku korupsi di dalam Danantara.
Lemahnya pengawasan Danantara ini menimbulkan pertanyaan lagi, apa yang sedang Prabowo konsolidasikan atas uang kelolaan yang total lebih dari Rp14.000 triliun?
Banyaknya kasus korupsi yang belum diberantas di kementerian dan BUMN, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan Danantara.
Terlebih, dalam teori Rent-Seeking yang dijelaskan oleh Tullock (1967) disebutkan bahwa, pejabat seringkali memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi, terutama dalam pengelolaan aset besar seperti Danantara.
Nah, tanpa upaya pemberantasan korupsi yang efektif, Danantara berisiko menjadi ladang baru bagi praktik rent-seeking, yang akan menguras aset negara dan menghambat visi Indonesia Emas pada 2045 nanti.
Jaksa, Hakim, dan Pejabat Giveaway
Ketidakindependenan jaksa, hakim, dan kejaksaan dalam menjatuhkan vonis berat kepada para koruptor, tentunya akan semakin memperparah situasi jika nantinya Danantara dijadikan ladang korupsi berjamaah.
Dalam teori Rule of Law A.V. Dicey (1885), hukum harus ditegakkan secara adil dan independen untuk menjamin keadilan social, di mana ketika ketidakmampuan sistem hukum untuk menghukum koruptor secara tegas akan menciptakan iklim yang impunitas, yang dapat melindungi pelaku KKN di Danantara dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo.
Faktanya, dengan banyaknya pejabat yang diangkat berdasarkan "giveaway" atau koneksi politik, bukan kompetensi, mencerminkan buruknya tata kelola pemerintahan. Sedangkan, di dalam teori Meritokrasi Michael Young (1958), ditekankan tentang pentingnya seleksi berdasarkan kemampuan untuk mencapai efisiensi dan keadilan.
Nah, jika Danantara dikelola oleh pejabat yang tidak kompeten, risiko kegagalan dalam mengelola aset senilai lebih dari Rp14.000 triliun akan meningkat, yang tentu saja akan berdampak buruk pada ekonomi nasional.
Korban dari Sikap Anti-Kritik Prabowo
Sikap Prabowo yang anti-kritik, sebagaimana terlihat dari pernyataan-pernyataannya baru-baru ini, menimbulkan kekhawatiran tentang kembalinya otoritarianisme. Dalam teori Otoritarianisme Modern Juan Linz (2000), salah satu ciri utamanya adalah penolakan terhadap kritik dan pembatasan kebebasan berpendapat.
Sikap ini dapat menciptakan iklim ketakutan di kalangan masyarakat dan pejabat, yang pada akhirnya menghambat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Danantara.
Ketika kritik dilontarkan karena buncitnya kabinet Prabowo, ia membalas dengan sikap yang egois seperti berkata “ndasmu”, serta sikapnya yang justru merendahkan kompetensi dari pakar serta akademisi.
Kebijakan Prabowo, termasuk pengelolaan Danantara, berpotensi membebani kelas menengah dan miskin, misalnya melalui privatisasi BUMN atau kenaikan tarif layanan publik seperti BPJS Kesehatan. John Rawls (1971), pernah menekankan bahwa kebijakan harus menguntungkan kelompok yang paling rentan dalam masyarakat.
Jika Danantara gagal menciptakan kesejahteraan dan malah memperburuk ketimpangan, utopia Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi janji kosong bagi rakyat miskin.
Dominasi Oligarki di Sekitar Prabowo
Banyaknya pengusaha dan oligarki yang berada di dekat Prabowo, seperti Hashim Djojohadikusumo dan kroni-kroni lainnya, menimbulkan risiko bahwa Danantara hanya akan melayani kepentingan segelintir elit.
Dalam teori Elit Kekuasaan, dijelaskan bahwa kekuasaan sering terkonsentrasi di tangan elit ekonomi dan politik, yang mengorbankan kepentingan rakyat. Dominasi oligarki di lingkaran Prabowo ini, dapat mengarah pada kebijakan yang menguntungkan segelintir orang, bukan kesejahteraan nasional.
Sementara itu, mandulnya hukum, dan ditambah dengan pengerahan buzzer untuk membungkam kelompok kritis, mencerminkan pelemahan demokrasi seperti yang pernah dijelaskan oleh Antonio Gramsci dalam teori Hegemoninya. Antonio Gramsci (1971), menuturkan bahwa kekuasaan dipertahankan tidak hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui kontrol atas wacana publik.
Penggunaan buzzer untuk membungkam kritik terhadap Danantara maupun kebijakan kontroversial yang lainnya, menunjukkan adanya upaya hegemonik untuk menutupi kelemahan tata kelola, yang pada akhirnya dapat memperkuat otoritarianisme dan melemahkan partisipasi masyarakat.
Kesimpulan
Danantara, dengan ambisi yang akan meniru Temasek, memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, fakta-fakta seperti nepotisme, pelemahan pengawasan, korupsi yang merajalela, dan sikap anti-kritik Prabowo menunjukkan bahwa Danantara lebih berisiko menjadi alat otoritarianisme daripada jalan menuju utopia.
Teori-teori seperti patrimonialisme, rent-seeking, dan hegemoni menggarisbawahi bahwa tanpa tata kelola yang baik, transparansi, dan supremasi hukum, justru Danantara dapat memperkuat KKN dan ketimpangan sosial, bukan kesejahteraan rakyat.
Nah, untuk mewujudkan utopia Indonesia Emas 2045, pemerintah harus memastikan Danantara dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel, dengan melibatkan pengawasan independen dan memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Sedangkan, jika tanpa langkah-langkah tadi, Danantara hanya akan menjadi cerminan Orde Baru yang paling baru, di mana aset negara dikuasai oleh elit, dan rakyat kecil tetap menjadi korban.
Daftar Pustaka:
- Dicey, A.V. (1885). Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
- Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.
- Jensen, M.C., & Meckling, W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
- Linz, J.J. (2000). Totalitarian and Authoritarian Regimes. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
- Mills, C.W. (1956). The Power Elite. New York: Oxford University Press.
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
- Tullock, G. (1967). The Welfare Costs of Tariffs, Monopolies, and Theft. Western Economic Journal, 5(3), 224-232.
- Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press.
- Young, M. (1958). The Rise of the Meritocracy. London: Thames & Hudson.