Problematika Perkawinan Anak di Indonesia: Sebuah Pengantar Analisis Lingkungan Sosial

Selasa, 24/12/2024 07:54 WIB

OLEH LISMOMON NATA (Direktorat Bina Ketahanan Remaja, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UNP)

PERKAWINAN anak masih menjadi fenomena global yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di beberapa negara, perkawinan anak bagi mereka merupakan tindakan kriminal karena disejajarkan dengan kekerasan seksual, seperti di Amerika dan Prancis atau pada negara Eropa lainnya.

Sebagian negara perkawinan anak ini masih berupa larangan atau pembatalan bila pernikahan di bawah usia minimum yang sah. Namun, mungkin tidak ada satu pun undang-undang yang membahas khusus tentang pernikahan anak, akan tetapi diatur melalui undang-undang lain seperti hukum perdata, hukum pidana, dan hukum keluarga.

Di Indonesia perkawinan anak adalah pernikahan yang dilakukan di usia anak-anak menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa batas usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun. Sementara revisi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2019 tentang Perkawinan telah ditetapkan guna mencegah perkawinan anak dengan menaikkan usia menjadi 19 tahun baik bagi jenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Indonesia termasuk 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. 

Prevalensi  perkawinan  anak  di  Indonesia  sempat  mengalami  kenaikan dari  11,1 persen  pada 2016 menjadi 11,2 persen pada 2018 (BPS,2018). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 perkawinan usia anak menunjukkan angka 10,82 persen.

Menurut UNICEF pada tahun 2023 Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dengan jumlah kasus perkawinan anak di bawah usia 18 tahun. Pemerintah menetapkan target penurunan perkawinan anak hingga 8,74 persen pada 2024 (Direktorat  Jenderal Pemberdayaan Perempuan dan  Perlindungan  Anak,2020). Fakta memperlihatkan ketika pandemi Covid-19 membawa dampak terjadinya perkawinan anak. 

Perkawinan anak merupakan wujud pelanggaran hak-hak dasar anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak dan dapat berdampak pada stunting, Angka Kematian Ibu, kemiskinan, hingga kekerasan (Konvensi Hak Anak,1989).

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, seperti kemiskinan,   minimnya   akses   pendidikan   dan   akses   informasi   maupun   layanan   kesehatan reproduksi  yang komprehensif, ketidakadilan  gender,  aspek  sosial  dan  budaya hingga relasi kuasa dan politik maupun pemahaman keagamaan.

Secara subjek, kecenderungan perwakinan usia anak tidak hanya disebabkan oleh anak itu sendiri dengan pertimbangan tertentu. Hasil penelitian Teguh Widodo, dkk (2023), pernikahan anak kasus di Indramayu menemukan bahwa penyebabnya adalah dikarenakan perilaku seks sebelum menikah, sehingga hamil yang kemudian dianggap sebagai “aib” bagi keluarga, atau takut akan menjadi tindakan berulang-ulang untuk melakukan seks tidak aman. Keadaan tersebut memaksa orang tua meminta dispensasi agar anak mereka menikah diusia anak.

Nanun, di samping itu juga dapat berasal dari pintu keluarga itu sendiri, seperti halnya ketika memiki “banyak anak”, maka dianggap beban ekonomi keluarga. Idealnya tentu penting untuk orang tua memiliki kesadaran yang kuat dan pengetahuan yang penuh untuk dapat mempersiapkan anak secara lahir batin sampai mereka memang telah pas untuk melanjutkan fase kehidupan perkawinan mereka.

Akan tetapi ada juga disebabkan keinginan orang tua. Hal tersebut dikarenakan anganggapan ketika anaknya telah menikah, maka tanggung jawabnya terhadap anak menjadi berkurang atau berpindah, terkhusus bagi orang tua yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan. Dengan demkian, dapat dipahami belum semua dari orang tua yang memahami bahwa anak adalah amanah dan sekaligus menjadi tanggung jawab.  

Perkawinan Anak banyak memberikan dampak buruk, terutama bagi anak perempuan. Risiko tersebut dapat memberikan akibat secara kesehatan hingga kematian saat melahirkan lebih besar karena alat reproduksi mereka belum cukup matang untuk melakukan fungsinya, demikian juga dengan risiko ketidakmatangan secara mental atau psikologis dapat mengakibatkan keretanan terjadinya konflik, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dapat menyebabkan keretakan yang berujung kepada perceraian (divorce).

Sementara usia anak adalah fase untuk masa anak belajar dan bermain serta mengembangkan kreativitas dan potensi mereka secara optimal. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN (Kemendukbangga/BKKBN) melalui Direktorat Bina Ketahanan Remaja (Dithanrem) memberikan tawaran usia ideal menikah untuk jenis kelamin perempuan adalah 21 tahun dan 25 tahun bagi jenis kelamin laki-laki. Tawaran umur tersebut merupakan hasil riset dan padangan para ahli bahwa usia tersebut dianggap sudah cukup untuk fase reproduksi yang cukup baik. Demikian juga secara psikologis yang dianggap dewasa.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi jumlah perkawinan anak di Indonesia. Keseriusan tersebut secara regulasi dituangkan melalui 5 (lima) Strategi Utama melalui Komitmen kolektif untuk mengatasi perkawinan anak dituangkan dalam kebijakan lintas sektor Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020-2024. Dengan demikian diperlukan sinergisitas lintas lembaga pemerintahan terkait. Namun, tentu lebih optimal bila adanya agenda kolaboratif dengan berbagai organisasi/lembaga nonpemerintah yang memiliki kesamaan isu terkait untuk menyuarakan  pandangan  yang mendukung isu penurunan angka perkawinan anak.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan advokasi kebijkan untuk memperkuat perhatian terhadap perkawinan anak dan edukasi pentingnya bimbingan atau konseling pra nikah, menyediakan layanan perlindungan serta pendampingan terhadap “korban” perkawinan anak.

Teknisnya Kemendukbangga/BKKBN dibentuknya Dithanrem yang konsen kepada kesehatan seksual dan Direktorat Kesehatan Reproduksi (Ditkespro) yang konsen terhadap kesehatan alat-alat reproduksi. Kebijakan Direktorat Bina Ketahanan Remaja, fokus melakukan advokasi dan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada stakeholders sampai pada lapisan terendah di masyarakat. Tujuannya mendorong agar semakin tinggi kesadaran dan pengetahuan remaja maupun orang tua untuk anak-anak mereka agar dapat terpenuhi hak-hak mereka secara baik. 

Selain itu, tujuannya mempersiapkan generasi emas melalui program Bina Ketahanan Remaja (BKR), yaitu bagaimana mendorong keluarga-keluarga yang memiliki anak remaja untuk dapat memiliki pola asuh yang seirama dengan pola tumbuh kembang anak remaja. Apalagi di era digital dan zaman milenial hari ini yang tentu sangat berbeda dengan zaman orang tuanya, maupun program genre (Generasi Berencana) sebagai upaya penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR), baik melalui program pendewasaan usia perkawinan (PUP). Mengkampanyekan usia menikah ideal atau usia keren, yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.

Dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam mendekwasakan usia perkawinan dapat dilakukan  melalui jalur pendidikan dan jalur kesehatan. Kedua strategi tersebut juga sesuai dengan setidaknya 3 (tiga) dari 17 (tujuh belas) goal dari Sustainable Development Goals (SDG’s) yang akan dicapai dari rentangan 2015-2030 nantinya, yaitu pendidikan yang kualitas, kesetaraan gender dan kehidupan sehat dan kesejahteraan.

Pertama, ranah pendidikan menjadi wadah penting untuk membuka cakrawala dan cara pandang, memunculkan kesadaran (awareness), proses berdiskusi, berbagi  pengalaman,  dan merancang kebijakan yang lebih efektif dalam pencegahan perkawinan anak, baik dilakukan secara formal, informal dan non formal.

Hal ini diawali dengan membuka pikiran, cara pandang (mindset) dan hati (afektif) untuk lebih peduli terhadap cara pandang hidup baru. Misalkan di beberapa kasus masih ditemui pandangan secara sosial budaya bahwa manusia yang berjenis kelamin perempuan itu masih saja kehidupan mereka berkutat pada urusan “kasur, dapur dan sumur” atau belum adanya kesetaraan gender tersebab kuatnya budaya partriarki.

Realitas di atas tentu menjadi “akar” persoalan, yang sekaligus menjadi alasan klasik. Semestinya kita telah dapat naik level pada tahap berikutnya, yaitu berpikir untuk menemukan pola dan sistem pendidikan yang telah disesuaikan dengan struktur demografis, sehingga diharapkan dapat membangun pendekatan yang lebih holistik dalam mengembangkan talenta.

Dengan demikian akan dapat menciptakan tenaga kerja yang lebih memiliki kemampuan belajar dan berlatih, serta mengakuisisi keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan zamannya, seperti halnya di era revolusi indusri 4.0 hari ini.

Pola dan sistem pendidikan tersebut adalah sistem yang bersifat holistik, inklusif, fleksibel, serta lifelong learning dan berkelanjutan (sustainable).  Ini dapat membentuk para pembelajar, siswa menganut gaya hidup yang sehat, mempelajari apa dan bagaimana ia harus hidup pada lingkungan sekitarnya, belajar aktif  dan berani bereksperimen, mempunyai akses untuk belajar mandiri, serta siap bekerja dan berpartisipasi dalam lingkungan global, sehingga generasi yang terdiri dari individu-individu yang utuh secara sosial, baik dari aspek emosional, mental, fisik, dan kognitif, terlepas dari siapa dia, apa gender, suku, status sosioekonomi dan lokasi geografisnya. Apabila proses tersebut dapat dilalui dengan baik, maka dapat dipastikan akan menurunnya angka perkawinan anak.

Kedua, aspek kesehatan. Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang angka stuntingnya tinggi di dunia, yaitu di tahun 2020, sebesar 26,9 persen, tahun 2021, sebesar 24,4 persen, namun menurut WHO apabila suatu negara angka prevalensi stuntingnya di atas 20 persen, maka disinyalir mengalami masalah kesehatan yang serius.

Perkawinan anak merupakan salah satu faktor penyumbang terjadinya kejadian stunting, karena ketidaksiapan secara fisik, psikis (baby blues), lemahnya kesadaran dan pengetahuan pola asuh yang baik, ekonomi yang tidak mencukupi kebutuhan gizi ibu dan bayi.

Dengan demikian perlu pengetahuan akan kesehatan seksual, penyelesaian fase remaja dan tanggung jawabnya dalam melewati lima trasisi kehidupan mereka: 1) Melanjutkan pendidikan; 2) Mencari pekerjaan; 3) Memulai kehidupan berkeluarga; 4) Menjadi anggota masyarakat; 5) Mempraktikkan hidup sehat). Direktorat Bina Ketahanan Keluarga sangat mendukung upaya dalam menurunkan angka perkawinan anak, sehingga bersifat terbuka dan memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk bekerjasama atau berkolaborasi dalam bergerak bersama dalam pencapaiannya.

Di samping terus fokus untuk mengkampanyekan dan melakukan berbagai macam kegiatan inovatif yang dapat memberikan dampak terhadap perubahan cara pikir secara sosial, kehidupan masyarkat yaitu pola hidup yang mendukung terwujudnya perlindungan dan pemberdayaan terhadap perempuan dan anak perempuan yang didukung dengan regulasi dan produk hukum yang pro terhadap penurunan angka perkawinan anak untuk Indonesia emas 2045.*



BACA JUGA