Pertunjukan “Renteng Lansai” Teater Sambilan Ruang di Kampuang Mandeh. Selasa, 3 Desember 2024
OLEH Angelique Maria Cuaca (Jurnalis)
Yo santiangnyo aka rangik mak (pintar sekali akal nyamuk, Mak)
Manyasok darah dalam daging, (menyesap darah dalam daging)
Luko nan indak kanampakan (luka yang tidak tampak)
Alah padiah sajo mangko tahu (sudah perih baru tahu)
Dendang Pasan Mandeh itu melantun lirih. Leni (Naniek) duduk termenung sendiri di bangku lapaunya. Posisi tubuh perempuan berkerudung dan baju kurung motif merah itu agak membungkuk. Bibirnya bergetar dan dikatup rapat-rapat. Seolah sedang menahan air mata yang akan jatuh. Ia tampaknya tak kuat lagi menanggung semua beban.
Tadi di kedainya terjadi keributan. Beberapa warga kampung datang bersama seorang anak jalanan yang tertangkap mencuri kotak amal masjid. Si anak mengaku berkomplot dengan Leni. Leni nampak takut bercampur marah. Karena Dayat, sang mamak yang juga ada di sana malah ikut menyalah-nyalahkannya.
“Jadi kini, etek-etek tuan-tuan ingin mamasuaannyo ka dalam panjaro, masuaan lah. Tapi dangan satu catatan. Sagalo hutang piutangnyo, utang ketek utang gadang tamasuak pitih mekar kemarin. Ja dibabankan pulo ka den. Inyo indak kamanakan den lai do”
(Jadi sekarang, ibu-ibu bapak-bapak yang ingin memasukannya ke dalam penjara, masukanlah. Tapi dengan satu catatan. Segala hutang piutangnya, hutang kecil hutang besar termasuk uang mekar kemarin. Jangan dibebankan pula kepada saya. Dia tidak keponakan saya lagi.)
Leni berteriak marah,“ Untuk mambuek rumah, bajua harato pusako. Untuak sakolah anak dari harato pusako juo. Kalau indak dek harato pusako, indak bakilek badan bini mamak tu do. Sanang hati mamak maliek den hiduik baputiah mato. Di ma mamak latakan pituah salamo ko. Anak dipangku kamanakan di bimbing. Anak digadangkan jo harato pancaharian. Kamanakan digadangkan jo harato pusako. Di ma, mak? Di ma?”
(Untuk membuat rumah, dijual harta pusaka. Untuk sekolah anak dari harta pusaka juga. Jika tidak dengan harta pusaka, tidak akan ada perawatan tubuh istri mamak. Senang hati mamak melihat saya menanggung malu. Di mana mamak letakan pituah (Minang) selama ini? Anak dibesarkan dengan harta pencaharian. Kemenakan dibesarkan dengan harta pusaka. Di mana mak? Di mana?)
Ini cuplikan dari adegan terakhir drama Renteng Lansai. Sungguh malang nasib Leni. Harta pusaka yang mestinya jadi penopang bagi hidup Leni malah dikelola Dayat dengan semena-mena. Ke mana Leni hendak mengadu? Sedangkan suaminya hanya pengangguran yang berongkang-ongkang kaki setiap hari. Sementara kebutuhan hidup kian meningkat.
Kondisi ini menyeret perempuan Minang itu ke dalam jurang kemiskinan. Leni memiliki lapau namun tak cukup lagi memenuhi semua tanggungan hidup. Ia juga tak kuat mencari kerja tambahan karena sisa tenaganya habis mengurus urusan domestik. Akhirnya, Leni terlilit banyak hutang. Salah satunya mekar, pinjaman renteng milik pemerintah.
Mekar adalah program pinjaman berkelompok dari pemerintah yang diperuntukan bagi perempuan. Suku bunganya cukup besar, 23 persen per tahun dengan anggunan atau 36 persen per tahun tanpa anggunan. Jika satu orang di kelompok tidak bayar cicilan, maka anggota lain yang harus membayarnya.
Orang sekeliling Leni juga tidak peduli dengan beban yang dipikulnya. Wan, salah satu pelanggan Lapau Leni berkomentar ketika Leni mengeluh soal hutang dan suaminya yang tak bekerja. Wan malah menyampaikan solusi yang tidak masuk akal.
Kata Wan, “Yo Kau tu kareh bana. Inyo tu la panik lo utaknyo mancari karajo. Ndak boleh kau bantuak itu. Inyo butu liburan tu.” (Ya, kamu itu terlalu keras. Suami kamu sudah pusing mencari kerja. Kamu tidak boleh seperti itu. Dia itu butuh liburan).
Leni adalah tokoh utama dari Renteng Lansai. Leni adalah wujud dari karakter perempuan Minang yang sering disebut dalam pepatah: Samuik tapijak indak mati; alu tataruang patah tigo (semut terpijak tidak mati, alu tersandung bisa membuat patah tiga).
Pada Leni, saya melihat sebuah kekuatan sekaligus kelembutan. Ia menunjukan sisi lembutsaat duduk termenung hampir terlihat menangis. Di sisi lain, pendiriannya keras saat berargumen dengan mamak, suami, dan orang-orang di sekitarnya. Peran Leni berhasil menggambarkan bagaimana dinamika perempuan Minang di masyarakat adat Matrilineal hari ini.
Salah seorang penonton, Nilen (36) bercerita pada saya. “Leni ini persis saya. Bagak (pemberani). Inyo berani malawan mamaknyo (ia berani melawan mamaknya). Mamak saya kebetulan juga mirip seperti mamak si Leni. Saya bilang ke saudara, bagusnya mamak kami juga nonton sandiwara ini. Biar sadar. Hahahahaha.”
Muhandika (21), salah satu penonton juga bilang yang serupa. “Kenalan saya juga ada yang terjerat hutang mekar. Tontonan ini mengingatkan saya soal fungsi mamak yang sudah bergeser. Semoga ketika saya di posisi seperti itu, bisa jadi laki-laki yang lebih baik lagi,” ujarnya.
Renteng Lansai adalah karya garapan Teater Sambilan Ruang (9R) yang tampil pada Pentas Padusi - Alek Mandeh, 3 Desember 2024, pukul 20:00 malam di Perkampungan Adat Sijunjung - Sumatera Barat.
"Renteng Lansai itu istilah untuk hutang bersambung yang lunas,” ujar Fitri Noveri, kerap dipanggil Peri, sutradara dari Renteng lansai. Rabu (4/12/2024).
Ini adalah judul satire. Karena selama pertunjukan yang durasinya 1 jam 10 menit, pesan yang tertangkap adalah soal rentetan hutang yang bersambung dan tidak pernah lunas, seperti lingkaran setan.
Renteng Lansai coba memotret kondisi perempuan Minang hari ini, khususnya ekonomi marjinal atau menengah ke bawah, dengan kompleksitas persoalannya di sistem kekerabatan matrilineal: beban kerja ganda, stigma dan steriotipe, dan melemahnya ikatan kolektif di antara masyarakat.
Sekaligus juga mengkritik kebijakan pemerintah yang acap kali menimbulkan masalah. Jika boleh saya mengistilahkan seperti lain sakit lain diobat, kaki sakit malah kepala yang dibebat.
Sandiwara Kampuang dari Teater Pemberdayaan
Renteng Lansai dikemas dalam bentuk sandiwara kampuang artinya disajikan secara realis natural. Pertunjukan ini menggunakan bahasa Minang, sehingga tidak berjarak dari penonton yang merupakan masyarakat kampung adat Minang Sijunjung. Dendang dan musiknya juga khas dari Minang.
Peri mengambil latar berupa lapau. “Lapau merupakan salah satu ruang dialog antar warga. Salah satu ruang jumpa tradisi Minangkabau yang kini masih ada, namun terus terdesak karena makin banyak model toko-toko modern,” jelasnya.
Dialog yang digunakan para tokoh juga khas obrolan masyarakat Matrilineal Minangkabau di Lapau: sindiran dan kiasan yang bernada satir, parodi, dan kadang sarkas. Lapau menjadi ruang untuk banyak hal: tempat bercerita, bercanda, ribut, bahkan bisa jadi tempat untuk berbaikan atau musyawarah.
Salah satunya saat dialog penutup antara Leni dan suaminya setelah keributan di Lapau Leni. Suaminya pulang dari memancing, duduk di bangku lapau dan meminta segelas kopi. Lelaki itu tidak peduli sama sekali, juga tidak bertanya mengapa Leni termenung sedih.
“Leni, ambiakan sagaleh kopi tu dulu. Bia taraso lamak babini ko a (Leni, ambilkan saya segelas kopi. Biar terasa enaknya beristri),” kata suaminya.
Leni menjawab dengan marah, “Kopi apak ang dek ang (Kopi Bapakmu lah itu).”
Adegan ini sontak menimbulkan riuh gelak tawa dari ratusan penonton yang datang malam itu. Beberapa dari mereka berteriak dan mengulangi apa yang disampaikan Leni.
“Jika penonton tertawa, sebetulnya ini bukan lelucon, tapi ironi. Manusia cenderung menertawakan kondisi ironis yang terjadi pada kehidupannya. Seperti sebuah penghiburan atas kondisi yang tidak ideal,” papar Peri.
Latar Renteng Lansai memanfaatkan ruang publik yaitu lapau dari penduduk setempat. Pada halaman lapau dibentang terpal untuk tempat duduk penonton. Sebagai tambahan pencahayaan, dipasang dua lampu sorot pada dua pohon yang berada di kiri dan kanan ujung lapau.
Lalu ada 2 mikrofon gantung yang terletak di dekat 2 meja di Lapau. Ini cukup membantu agar suara aktor terdengar hingga ke jangkauan lebih luas. Tapi itu masih kurang maksimal terutama bagi saya saat itu berada di belakang kerumunan ratusan penonton - yang sebagian duduk dan berdiri. Kadang suara aktor terdengar kecil bahkan hampir tak terdengar ketika si aktor berada jauh dari mikrofon.
Pada kondisi ini, tata kelola bunyi dibutuhkan untuk merespon ruang terbuka. Tentu akan beda kebutuhan akustiknya jika drama tampil pada panggung arena atau proscenium di ruang tertutup (auditorium).
Karya Renteng Lansai menggunakan pendekatan realis: komparasi antara kerja teater ruang publik dan berangkat dari idiom tradisi lokal. Kelompok Seni Teku, Yogyakarta juga menggunakan pendekatan serupa. Tahun 2010, Kelompok Seni Teku menjadi angkringan perupa Ong Harry Wahyu di Nitiprayan Jogjakarta sebagai latar pertunjukan teater berbahasa Jawa berjudul Nglangesi Ceret yang disutradarai oleh Ibeth Surgana Yoga.
Menurut Andika Ananda, salah satu aktor dari Nglangesi Ceret itu, penontonnya ada dua. Pertama, penonton aktif yang sengaja menonton pertunjukan. Kedua, penonton yang merupakan pengunjung angkringan. Keduanya berinteraksi dengan beberapa aktor yang menjadi pedagang.
Thendra BP, penonton aktif Nglangesi Ceret menyebutkan ada kemiripan dan perbedaan di antara teater garapan Peri dan Ibeth. Keduanya sama-sama realis dan menggunakan ruang publik. Sementara, perbedaannya adalah soal posisi penonton. Kebetulan kemarin Thendra juga ikut menonton Renteng Lansai juga.
Pada Renteng Lansai, penonton dan aktor memiliki jarak. Sedangkan di Nglangesi Ceret, pertunjukan berlangsung di antara penonton atau penonton bagian dari pertunjukan itu sendiri. Kedua pilihan yang berbeda ini tentu akan memberikan pengalaman yang berbeda pula bagi penonton.
Di Solo, ada juga Teater Gidag Gidig yang berangkat dari akar idiom Jawa. Mereka menggunakan bahasa atau dialek khas Jawa, properti bahkan sampai ke musik populer Jawa. Perbedaannya dengan Teater Sambilan Ruang secara khusus karya Renteng Lansai adalah pemilihan ruang publik sebagai latar pertunjukan. Teater Gidag Gidig lebih familiar dengan latar pertunjukan procenium.
Hal menarik lain dari Renteng Lansai, karya ini merupakan bagian dari teater pemberdayaan. Artinya, si aktor memerankan diri mereka sendiri.
“99 persen pemain adalah warga dari Nagari Lubuak Batingkok, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. Mereka adalah peminjam renteng mekar itu sendiri. Ini akan sangat membantu untuk pemain pemula yang belum memahami soal teknik teater. Butuh waktu sekitar 3 bulan latihan,” cerita Peri.
Teater Sembilan Ruang (9R) adalah komunitas teater di Harau, Lima Puluh Kota, lahir pada 11-11-2011. Komunitas ini diinisiasi oleh Abdul Hanif, Ega Novia Sari, Rahmad Al Akbar, Agita Muliadi, Fauzan Husni Sulaiman, dan Fitri Noveri. Kelimanya merupakan alumnus dari prodi Teater ISI Padang Panjang (2009).
Mereka percaya bahwa seni pertunjukan teater adalah kesenian yang lahir di tengah masyarakat dan tumbuh bersama masyarakat. Karena itu hampir sebagian besar anggota komunitas ini adalah warga di Harau. Warga yang awalnya tidak memiliki latar pertunjukan dilatih hingga memiliki kemampuan untuk memainkan peran dengan baik.
Pertunjukan Renteng Lansai berhasil digelar dengan memukau. Malam itu, ratusan penonton tidak beranjak dari lokasi pertunjukan, meskipun tidak dapat terpal untuk duduk. Dialog - dialog jenaka yang mengundang gelak tawa penonton menunjukkan bahwa pesan dari pertunjukan tersampaikan dengan baik.
Selain itu pertunjukan teater di ruang publik masih jarang kita temukan di Sumatera Barat. Selama ini pertunjukan teater lebih sering dipanggung arena atau procenium. Pemanfaatan ruang publik dan penggunaan ideom tradisi menjadikan karya Renteng Lansai tidak berjarak dari kehidupan masyarakat. Renteng lansai adalah kehidupan masyarakat itu sendiri
Pertunjukan Renteng Lansai menunjukkan bahwa teater tidak menyerah dengan keterbatasan ruang pertunjukan yang representatif. Di setiap daerah hampir sulit kita temukan auditorium maupun gedung pertunjukan yang representatif. Maka alternatifnya adalah ruang publik dan upaya ini merupakan antitesis dari kondisi perteateran di Sumatera Barat yang langang. SSC
Alek Mandeh - Sijunjung, 5 Desember 2024