GEMAS Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

KIRIM SURAT TERBUKA KEPADA MPR

Rabu, 06/11/2024 07:44 WIB
Ilustrasi KontraS

Ilustrasi KontraS

Jakarta, sumbarsatu.com—Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengirimkan Surat Terbuka kepada Ahmad Muzani, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada Senin 4 November 2024.

Surat Terbuka ini merupakan desakan kepada Ketua MPR RI Periode 2024-2029 agar tidak mengusulkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 RI.

Surat Terbuka ini juga ditembuskan kepada  Menteri Sosial Republik Indonesia, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia.

Dalam surat tersebut disebutkan, desakan yang disampaikan bukan tanpa alasan. Pasalnya, pada 28 September 2024 silam, Ketua MPR RI Periode 2019-2024 mengusulkan kepada pemerintahan baru memberikan gelar Pahlawan Nasional tersebut.

GEMAS menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto. Terlebih lagi, sebelumnya MPR telah mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sebagai individu yang tidak dikecualikan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pencabutan nama tersebut juga bermasalah lantaran MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum setelah adanya Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasca-Reformasi.

Selama 32 tahun kepemimpinannya sebagai Presiden, ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kekerasan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik KKN.

“Ia telah mengubah negara menjadi mesin pembunuh, tidak berpihak pada rakyat, serta tidak mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Berdasarkan rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut, kami menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.”

Indonesia tidak akan bisa melangkah maju menjadi lebih baik jika beban dan luka masa lalunya tidak pernah dituntaskan dan diperbaiki. Penyerahan Surat Terbuka ini merupakan langkah pengawalan demokrasi oleh masyarakat sipil kepada pembuat kebijakan dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia yang telah terjadi selama pemerintahan otoriter Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke depan. Mengutip janji masyarakat internasional terhadap Holocaust, “never again.”

Hal ini, tentunya, tidak dengan memberikan penghargaan kepada seseorang yang secara jelas telah menodai dan menggoreskan tinta berdarah dalam catatan sejarah bangsa ini.

Berikut Surat Terbuka GEMAS  

GERAKAN MASYARAKAT SIPIL ADILI SOEHARTO
Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Jalan Kramat II Nomor 7, RT.2/RW.9, Kwitang, Kec. Senen, Jakarta Pusat, 10420, DKI Jakarta

 

Nomor : I/SK-GEMAS/X/2024
Perihal : Surat Terbuka Mendesak Ketua MPR untuk Tidak          Mengusulkan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

 

Yang Terhormat,
Ahmad Muzani
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
di – Tempat

Tembusan:

  1. Menteri Sosial Republik Indonesia
  2. Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
  3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia

Dengan hormat,

Pada 28 September 2024, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Periode 2019-2024 Bambang Soesatyo menyampaikan agar pemerintah mendatang mempertimbangkan pemberian pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam kesempatan Silaturahmi Kebangsaan  Pimpinan  MPR  bersama  Keluarga  Besar  Soeharto  di  kompleks  MPR DPR RI, Jakarta.

Melalui  surat  ini,  sejumlah  individu,  lembaga,  dan  korban  pelanggaran  hak  asasi  manusia (HAM), bermaksud menyampaikan penolakan terhadap wacana pemberian gelar tersebut. Adapun  alasan penolakan tersebut kami dasarkan pada rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto,  yang  akan  diuraikan  secara  detail  dalam  surat ini. Berdasarkan fakta rekam jejak tersebut, kami menilai bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan Gelar Pahlawan Nasional.

Merujuk pada Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Pahlawan Nasional adalah “gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang  sekarang  menjadi  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yang  gugur  atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Kemudian, Pasal 2 UU GTK menyatakan bahwa “(g)elar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas: … b. kemanusiaan; c. kerakyatan; d. keadilan …” Penjelasan Pasal 2   UU   GTK   menyebutkan   bahwa   yang   dimaksud   sebagai   kemanusiaan   adalah   “harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”; kerakyatan adalah “harus mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan, demokrasi, dan permusyawaratan perwakilan”; dan keadilan adalah “harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.”

Sebaliknya, rekam jejak Soeharto menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi tiga kriteria dalam Pasal 2 UU GTK yang telah disebutkan di atas. Selama 32 tahun kepemimpinannya sebagai Presiden,  ia  telah  melakukan  kekerasan  terhadap  warga  sipil,  pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di bawah kepemimpinan Soeharto, Negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh yang terwujud, di antaranya, dalam bentuk pembasmian, perampasan sumber daya alam dan penghancuran lingkungan hidup, penyeragaman dan pengendalian masyarakat, penciptaan dan pengelolaan kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan bahkan pembredelan   pers,   pembatasan  partai  politik,  dan  serangkaian  tindakan  dalam  menekan kehadiran bahkan memberangus serikat buruh serta melakukan tindakan kekerasan kepada buruh di Indonesia. Rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut kami uraikan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Pelanggaran berat terhadap HAM

Sesuai dengan mandat dari Pasal 18 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan bahwa terdapat 9 kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto. 9 kasus tersebut adalah:1

  1. a) Peristiwa 1965-1966;
  2. b) Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985);
  3. c) Peristiwa Tanjung Priok (1984);
  4. d) Peristiwa Talangsari (1989);
  5. e) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998);
  6. f) Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998;
  7. g) Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);
  8. h) Peristiwa Mei 1998; dan
  9. i) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999). 
  1. Pelanggaran HAM

Dalam Pasal 1 Nomor 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Pemerintahan presiden Soeharto juga telah melakukan berbagai pelanggaran HAM, di antaranya, kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai dengan eksploitasi sumber daya alam di Papua (1968-1998),2  penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974), pemberangusan organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), penetapan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998), pembunuhan massal Santa Cruz (1991), pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), penembakan warga dalam Pembangunan Waduk Nipah  Madura  (1993),  penyerangan  kantor  DPP  PDI  (27  Juli  1996),  perampasan  tanah masyarakat adat Dongi di Sulawesi Selatan untuk pertambangan nikel, perampasan tanah rakyat untuk PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), dan penggusuran rumah warga Bulukumba untuk PT. LONSUM, pembukaan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan yang mengakibatkan kebakaran  hutan dan lahan. Tentu pada realitanya, pelanggaran HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto jauh lebih banyak dari yang telah disebutkan dalam surat ini. 

  1. Korupsi, kolusi, dan nepotisme

Pada    September    1998,    Kejaksaan    Agung    menemukan   indikasi   penyimpangan   dana yayasan-yayasan  yang  dipimpin  Soeharto.  Terdapat  7  yayasan  yang diperiksa Kejaksaan Agung  saat itu, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Penyimpangan dana ini pun terindikasi sebagai praktik KKN sebab yayasan-yayasan tersebut turut  menyimpan  aliran  dana  milik  negara,  melalui  Keputusan  Menteri  Keuangan  Nomor 333/KMK.011/1978 yang memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yayasan tersebut.

Soeharto  kemudian  ditetapkan  sebagai  tersangka  dugaan  kasus  penyalahgunaan  dana  atas yayasan sosial yang didirikannya pada 31 Maret 2000 dan ditetapkan sebagai terdakwa pada 3 Agustus 2000. Akan tetapi, proses hukum tersebut tidak bisa dilanjutkan dan dihentikan oleh Kejaksaan  Agung  karena  sakit  yang  dialami  oleh  Soeharto  membuatnya  tidak  bisa  diadili, melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto pada 11 Mei 2006 bahwa perkara ditutup demi hukum.

Meski demikian, atas penyimpangan dana tersebut, Yayasan Supersemar milik Soeharto tetap dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum oleh Mahkamah Agung melalui putusan No. 140   PK/Pdt/2015   dan   diwajibkan   membayar   uang   sebesar   US$315.002.183   dan   Rp139.438.536.678,56 kepada Negara Republik Indonesia.5  Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20. Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.

Pasca-Reformasi, Negara pun telah mengakui rekam jejak berdarah dan buruk dari Soeharto berupa pelanggaran berat HAM, pelanggaran HAM, serta praktik KKN, yang dituangkan dalam:

a)  Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  (TAP  MPR)  No.  IV/MPR/1999  tentang Garis-garis  Besar  Haluan  Negara  (GBHN)  tahun  1999-2004.  Dalam  Bab  II  mengenai Kondisi Umum, MPR mengakui secara eksplisit terdapat krisis hukum di rezim sebelumnya, yaitu rezim Soeharto; dan

b) TAP MPR  XI/MPR/1998  tentang  Penyelenggara  Negara  yang  Bersih  dan  Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal 4, dinyatakan bahwa pengadilan dan penanganan tindak pidana KKN harus dilakukan tanpa terkecuali, termasuk bagi Soeharto dan kroni-kroninya, yang namanya pun disebutkan dalam pasal tersebut. 

Tidak  pernah  dipidananya  Soeharto  tidak  membuktikan  bahwa  ia  tidak  bersalah, melainkan karena peradilannya dihentikan pada tahun 2006 akibat kondisi kesehatan yang memburuk. Pun, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa ia telah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 32 tahun ia menjabat sebagai Presiden. Penyelidikan pro-justisia dan berbagai pendokumentasian oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil juga telah menunjukkan bahwa Soeharto bertanggungjawab atas banyaknya pelanggaran berat HAM dan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah kepemimpinannya.

Akhir kata, Soeharto pada pokoknya tidak memiliki integritas moral dan keteladanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda  Kehormatan  untuk diberikan  gelar  Pahlawan  Nasional.  Kami  mendesak  agar MPR memperhatikan dan menimbang rekam jejak buruk Soeharto, untuk kemudian menjadi bahan pengawasan agar Soeharto tidak diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh Dewan Gelar,  Tanda  Jasa,  dan  Tanda  Kehormatan.  Patut  dipertimbangkan  bahwa  upaya  dalam mendorong perbaikan situasi dan kehidupan bernegara pasca rezim otoritarian orde baru sudah sepatutnya menjadi dasar dalam menyelenggarakan urusan negara dalam semangat anti KKN, mengedepankan penguatan demokrasi dan rule of law, serta berpijak pada nilai HAM dan suri tauladan yang ksatria serta tidak memberikan toleransi kepada individu yang merugikan Negara Republik Indonesia.

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 4 November 2024

Pendukung surat terbuka

 

Organisasi/Lembaga:

 

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65)
  3. Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)
  4. Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
  5. Paguyuban Mei 98
  6. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  7. PASKA Aceh
  8. Bangsa Mahardika
  9. Konfederasi Kongres Aliansi  Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  11. 1 Themis Indonesia
  12. The Brandals (Musisi)
  13. Imparsial
  14. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  15. Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI) Jaringan Nasional Advokasi   Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT)
  16. LBH Masyarakat (LBHM)
  17. Transparency International Indonesia (TII)
  18. Public Virtue Research Institute (PVRI)
  19. KontraS Aceh
  20. KontraS Surabaya
  21. Social Movement Institute
  22. Asia Justice and Rights (AJAR)
  23. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  24. AMAR Law Firm and  Public  Interest Law Office (AMAR)
  25. Partai Hijau Indonesia
  26. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
  27. Ruang Arsip dan Sejarah   (RUAS) Perempuan
  28. Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta
  29. (Jakarta Feminist)
  30. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  31. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  32. Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID)
  33. Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA)
  34. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (BEM FISIP Unpad)
  35. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (BEM UPNVJ)
  36. Unit Kegiatan Mahasiswa-Fakultas (UKM-F) Lembaga Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jember
  37. Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa (LPPM) SINTESA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Aksi Kamisan Bandung
  38. Indonesia untuk Kemanusiaan
  39. Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
  40. Beranda Rakyat Garuda (BRG)
  41. Center for Citizenship   and   Human Rights (CCHRS) UPNVJ
  42. Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
  43. Divisi Gerakan Sosial Senat Mahasiswa
  44. Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
  45. Gerakan Politik Oposisi SALAM 4 JARI
  46. Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia (PSHK)
  47. Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
  48. Serikat Pekerja Kampus (SPK)
  49. Sa Perempuan Papua
  50. Grup Aksi Amnesty Amawa Wikreti
  51. Gerakan Indonesia Kita
  52. Komunitas Utan Kayu
  53. Komunitas Proklamasi Anak Indonesia
  54. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  55. Pusaka Bentala Rakyat
  56. Migrant CARE
  57. Slugfess (Grup Band)
  58. Papa Acid (Grup Band)
  59. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  60. International People’s Tribunal (IPT 1965)
  61. Perempuan Mahardhika
  62. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
  63. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (BEM FISIP UB)
  64. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  65. Greenpeace Indonesia
  66. Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  67. Rumah Pengetahuan Amartya
  68. Kiprah Perempuan (KIPPER)
  69. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
  70. Sekretariat Bersama’65 (Sekber’65)
  71. Komunitas Taman 65
  72. Solidaritas Mahasiswa Untuk   Rakyat (SMUR) Aceh Barat
  73. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang
  74. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang
  75. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta
  76. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
  77. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali
  78. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
  79. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang
  80. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru
  81. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya
  82. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
  83. Dewan Perwakilan  Mahasiswa Makassar
  84. Universitas Teuku Umar (DPM UTU)

 

  1. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
  2. . Amnesty International Indonesia Manado
  3. Jaringan GUSDURian
  4. Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM)
  5. Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (DEMA FISIPOL UGM
  6. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)\
  7. semai
  8. Aksi Kamisan Semarang
  9. Maring Institute
  10. Kesenian Kiri (Kenikir)
  11. Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

 

Individu:

  1. Feri Amsari
  2. John Muhammad
  3. Fadli Ramadhanil
  4. Dudy Agung Trisna
  5. Ibnu Syamsu Hidayat
  6. Shaleh Al Ghifari
  7. Hemi Lavour Febrinandez
  8. Angga Miga Pramono
  9. Sri Afrianis
  10. Kafin Muhammad
  11. 1 Alghiffari Aqsa
  12. Suciwati
  13. Miya Irawati
  14. Ita Fatia Nadia
  15. Anita Wahid
  16. Sangdenai
  17. Bekti Wibowo
  18. Syahrin Shafa
  19. Bivitri Susanti
  20. Busyro Muqqodas
  21. Dolorosa Sinaga
  22. Sri Lestari Wahyuningroem
  23. Syahar Banu-Keluarga Korban Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
  24. Reza Muharam
  25. Dhita Kartika Anitasari
  26. Khamid Istakhori
  1. Dhia Al Uyun
  2. Alif Imam Nurlambang
  3. Mamik Sri Supatmi
  4. Wahyu Susilo
  5. Trisna Dwi Yuni Aresta
  6. Aris Arif Mundayat
  7. Bhakti Eko Nugroho
  8. Sumarsih
  9. Dewi Tjakrawinata
  10. Khalisah Khalid
  11. Asep Komarudin
  12. Lilik HS
  13. Pipit Ambarmirah
  14. Uchikowati
  15. Viola Nada Hafilda
  16. Emma Amelia
  17. Narinda Marsha Paramastuti
  18. Evie Permata Sari
  19. Kanaya Ratu Aprillia
  20. Dhania Salsha Handiani
  21. Vini Hidayani
  22. Fanya Tarissa Anindita
  23. Raditya Setiawan
  24. Sekarini Wukirasih
  25. Muhammad Nur Pradana
  26. Salsabila Yusri Afiya
  27. Aldi Haydar Mulia
  1. Ramadani Sulistyorini
  2. Jasmine Rizky El Yasinta
  3. Herlambang P Wiratraman
  4. Amry Al Mursalaat
  5. Tara Reysa
  6. Nuvaisa Ayu Shabrina
  7. M. Ismail Hamsyah
  8. Anya Paulina
  9. Fayyaza Dian P
  10. Nahar Ilhamulah
  11. Pasquale Clayton P
  12. Berlin Syahputra
  13. Angelina Chiquita Kurnia Putri
  14. Gabriel Laksnanta Rarendra
  15. Dhea Ramadhani
  16. Jihan Rahma
  17. diah kusumaningrum
  18. Arian13 (Seringai)
  19. Nasrul Azwar

Tautan Data 

SSC/*



BACA JUGA