Ilustrasi KontraS
Jakarta, sumbarsatu.com—Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengirimkan Surat Terbuka kepada Ahmad Muzani, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada Senin 4 November 2024.
Surat Terbuka ini merupakan desakan kepada Ketua MPR RI Periode 2024-2029 agar tidak mengusulkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 RI.
Surat Terbuka ini juga ditembuskan kepada Menteri Sosial Republik Indonesia, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia.
Dalam surat tersebut disebutkan, desakan yang disampaikan bukan tanpa alasan. Pasalnya, pada 28 September 2024 silam, Ketua MPR RI Periode 2019-2024 mengusulkan kepada pemerintahan baru memberikan gelar Pahlawan Nasional tersebut.
GEMAS menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto. Terlebih lagi, sebelumnya MPR telah mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sebagai individu yang tidak dikecualikan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pencabutan nama tersebut juga bermasalah lantaran MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum setelah adanya Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasca-Reformasi.
Selama 32 tahun kepemimpinannya sebagai Presiden, ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kekerasan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik KKN.
“Ia telah mengubah negara menjadi mesin pembunuh, tidak berpihak pada rakyat, serta tidak mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Berdasarkan rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut, kami menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.”
Indonesia tidak akan bisa melangkah maju menjadi lebih baik jika beban dan luka masa lalunya tidak pernah dituntaskan dan diperbaiki. Penyerahan Surat Terbuka ini merupakan langkah pengawalan demokrasi oleh masyarakat sipil kepada pembuat kebijakan dalam menentukan arah masa depan bangsa.
Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia yang telah terjadi selama pemerintahan otoriter Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke depan. Mengutip janji masyarakat internasional terhadap Holocaust, “never again.”
Hal ini, tentunya, tidak dengan memberikan penghargaan kepada seseorang yang secara jelas telah menodai dan menggoreskan tinta berdarah dalam catatan sejarah bangsa ini.
Berikut Surat Terbuka GEMAS
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL ADILI SOEHARTO
Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Jalan Kramat II Nomor 7, RT.2/RW.9, Kwitang, Kec. Senen, Jakarta Pusat, 10420, DKI Jakarta
Nomor : I/SK-GEMAS/X/2024
Perihal : Surat Terbuka Mendesak Ketua MPR untuk Tidak Mengusulkan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Yang Terhormat,
Ahmad Muzani
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
di – Tempat
Tembusan:
- Menteri Sosial Republik Indonesia
- Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia
Dengan hormat,
Pada 28 September 2024, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Periode 2019-2024 Bambang Soesatyo menyampaikan agar pemerintah mendatang mempertimbangkan pemberian pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam kesempatan Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Keluarga Besar Soeharto di kompleks MPR DPR RI, Jakarta.
Melalui surat ini, sejumlah individu, lembaga, dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bermaksud menyampaikan penolakan terhadap wacana pemberian gelar tersebut. Adapun alasan penolakan tersebut kami dasarkan pada rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto, yang akan diuraikan secara detail dalam surat ini. Berdasarkan fakta rekam jejak tersebut, kami menilai bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan Gelar Pahlawan Nasional.
Merujuk pada Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Pahlawan Nasional adalah “gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”
Kemudian, Pasal 2 UU GTK menyatakan bahwa “(g)elar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas: … b. kemanusiaan; c. kerakyatan; d. keadilan …” Penjelasan Pasal 2 UU GTK menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai kemanusiaan adalah “harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”; kerakyatan adalah “harus mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan, demokrasi, dan permusyawaratan perwakilan”; dan keadilan adalah “harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.”
Sebaliknya, rekam jejak Soeharto menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi tiga kriteria dalam Pasal 2 UU GTK yang telah disebutkan di atas. Selama 32 tahun kepemimpinannya sebagai Presiden, ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di bawah kepemimpinan Soeharto, Negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh yang terwujud, di antaranya, dalam bentuk pembasmian, perampasan sumber daya alam dan penghancuran lingkungan hidup, penyeragaman dan pengendalian masyarakat, penciptaan dan pengelolaan kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan bahkan pembredelan pers, pembatasan partai politik, dan serangkaian tindakan dalam menekan kehadiran bahkan memberangus serikat buruh serta melakukan tindakan kekerasan kepada buruh di Indonesia. Rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut kami uraikan lebih lanjut sebagai berikut:
- Pelanggaran berat terhadap HAM
Sesuai dengan mandat dari Pasal 18 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan bahwa terdapat 9 kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto. 9 kasus tersebut adalah:1
- a) Peristiwa 1965-1966;
- b) Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985);
- c) Peristiwa Tanjung Priok (1984);
- d) Peristiwa Talangsari (1989);
- e) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998);
- f) Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998;
- g) Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);
- h) Peristiwa Mei 1998; dan
- i) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
- Pelanggaran HAM
Dalam Pasal 1 Nomor 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pemerintahan presiden Soeharto juga telah melakukan berbagai pelanggaran HAM, di antaranya, kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai dengan eksploitasi sumber daya alam di Papua (1968-1998),2 penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974), pemberangusan organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), penetapan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998), pembunuhan massal Santa Cruz (1991), pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), penembakan warga dalam Pembangunan Waduk Nipah Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI (27 Juli 1996), perampasan tanah masyarakat adat Dongi di Sulawesi Selatan untuk pertambangan nikel, perampasan tanah rakyat untuk PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), dan penggusuran rumah warga Bulukumba untuk PT. LONSUM, pembukaan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan. Tentu pada realitanya, pelanggaran HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto jauh lebih banyak dari yang telah disebutkan dalam surat ini.
- Korupsi, kolusi, dan nepotisme
Pada September 1998, Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Terdapat 7 yayasan yang diperiksa Kejaksaan Agung saat itu, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Penyimpangan dana ini pun terindikasi sebagai praktik KKN sebab yayasan-yayasan tersebut turut menyimpan aliran dana milik negara, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 yang memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yayasan tersebut.
Soeharto kemudian ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus penyalahgunaan dana atas yayasan sosial yang didirikannya pada 31 Maret 2000 dan ditetapkan sebagai terdakwa pada 3 Agustus 2000. Akan tetapi, proses hukum tersebut tidak bisa dilanjutkan dan dihentikan oleh Kejaksaan Agung karena sakit yang dialami oleh Soeharto membuatnya tidak bisa diadili, melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto pada 11 Mei 2006 bahwa perkara ditutup demi hukum.
Meski demikian, atas penyimpangan dana tersebut, Yayasan Supersemar milik Soeharto tetap dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum oleh Mahkamah Agung melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 dan diwajibkan membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp139.438.536.678,56 kepada Negara Republik Indonesia.5 Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20. Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.
Pasca-Reformasi, Negara pun telah mengakui rekam jejak berdarah dan buruk dari Soeharto berupa pelanggaran berat HAM, pelanggaran HAM, serta praktik KKN, yang dituangkan dalam:
a) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Dalam Bab II mengenai Kondisi Umum, MPR mengakui secara eksplisit terdapat krisis hukum di rezim sebelumnya, yaitu rezim Soeharto; dan
b) TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal 4, dinyatakan bahwa pengadilan dan penanganan tindak pidana KKN harus dilakukan tanpa terkecuali, termasuk bagi Soeharto dan kroni-kroninya, yang namanya pun disebutkan dalam pasal tersebut.
Tidak pernah dipidananya Soeharto tidak membuktikan bahwa ia tidak bersalah, melainkan karena peradilannya dihentikan pada tahun 2006 akibat kondisi kesehatan yang memburuk. Pun, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa ia telah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 32 tahun ia menjabat sebagai Presiden. Penyelidikan pro-justisia dan berbagai pendokumentasian oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil juga telah menunjukkan bahwa Soeharto bertanggungjawab atas banyaknya pelanggaran berat HAM dan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah kepemimpinannya.
Akhir kata, Soeharto pada pokoknya tidak memiliki integritas moral dan keteladanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional. Kami mendesak agar MPR memperhatikan dan menimbang rekam jejak buruk Soeharto, untuk kemudian menjadi bahan pengawasan agar Soeharto tidak diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Patut dipertimbangkan bahwa upaya dalam mendorong perbaikan situasi dan kehidupan bernegara pasca rezim otoritarian orde baru sudah sepatutnya menjadi dasar dalam menyelenggarakan urusan negara dalam semangat anti KKN, mengedepankan penguatan demokrasi dan rule of law, serta berpijak pada nilai HAM dan suri tauladan yang ksatria serta tidak memberikan toleransi kepada individu yang merugikan Negara Republik Indonesia.
Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 4 November 2024
Pendukung surat terbuka
Organisasi/Lembaga:
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65)
- Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)
- Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
- Paguyuban Mei 98
- Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
- PASKA Aceh
- Bangsa Mahardika
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- 1 Themis Indonesia
- The Brandals (Musisi)
- Imparsial
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT)
- LBH Masyarakat (LBHM)
- Transparency International Indonesia (TII)
- Public Virtue Research Institute (PVRI)
- KontraS Aceh
- KontraS Surabaya
- Social Movement Institute
- Asia Justice and Rights (AJAR)
- Indonesia Corruption Watch (ICW)
- AMAR Law Firm and Public Interest Law Office (AMAR)
- Partai Hijau Indonesia
- Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
- Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan
- Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta
- (Jakarta Feminist)
- Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID)
- Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA)
- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (BEM FISIP Unpad)
- Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (BEM UPNVJ)
- Unit Kegiatan Mahasiswa-Fakultas (UKM-F) Lembaga Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jember
- Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa (LPPM) SINTESA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Aksi Kamisan Bandung
- Indonesia untuk Kemanusiaan
- Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
- Beranda Rakyat Garuda (BRG)
- Center for Citizenship and Human Rights (CCHRS) UPNVJ
- Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
- Divisi Gerakan Sosial Senat Mahasiswa
- Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
- Gerakan Politik Oposisi SALAM 4 JARI
- Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia (PSHK)
- Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
- Serikat Pekerja Kampus (SPK)
- Sa Perempuan Papua
- Grup Aksi Amnesty Amawa Wikreti
- Gerakan Indonesia Kita
- Komunitas Utan Kayu
- Komunitas Proklamasi Anak Indonesia
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
- Pusaka Bentala Rakyat
- Migrant CARE
- Slugfess (Grup Band)
- Papa Acid (Grup Band)
- Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
- International People’s Tribunal (IPT 1965)
- Perempuan Mahardhika
- Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (BEM FISIP UB)
- Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
- Greenpeace Indonesia
- Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
- Rumah Pengetahuan Amartya
- Kiprah Perempuan (KIPPER)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
- Sekretariat Bersama’65 (Sekber’65)
- Komunitas Taman 65
- Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh Barat
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
- Dewan Perwakilan Mahasiswa Makassar
- Universitas Teuku Umar (DPM UTU)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
- . Amnesty International Indonesia Manado
- Jaringan GUSDURian
- Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM)
- Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (DEMA FISIPOL UGM
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)\
- semai
- Aksi Kamisan Semarang
- Maring Institute
- Kesenian Kiri (Kenikir)
- Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Individu:
- Feri Amsari
- John Muhammad
- Fadli Ramadhanil
- Dudy Agung Trisna
- Ibnu Syamsu Hidayat
- Shaleh Al Ghifari
- Hemi Lavour Febrinandez
- Angga Miga Pramono
- Sri Afrianis
- Kafin Muhammad
- 1 Alghiffari Aqsa
- Suciwati
- Miya Irawati
- Ita Fatia Nadia
- Anita Wahid
- Sangdenai
- Bekti Wibowo
- Syahrin Shafa
- Bivitri Susanti
- Busyro Muqqodas
- Dolorosa Sinaga
- Sri Lestari Wahyuningroem
- Syahar Banu-Keluarga Korban Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
- Reza Muharam
- Dhita Kartika Anitasari
- Khamid Istakhori
- Dhia Al Uyun
- Alif Imam Nurlambang
- Mamik Sri Supatmi
- Wahyu Susilo
- Trisna Dwi Yuni Aresta
- Aris Arif Mundayat
- Bhakti Eko Nugroho
- Sumarsih
- Dewi Tjakrawinata
- Khalisah Khalid
- Asep Komarudin
- Lilik HS
- Pipit Ambarmirah
- Uchikowati
- Viola Nada Hafilda
- Emma Amelia
- Narinda Marsha Paramastuti
- Evie Permata Sari
- Kanaya Ratu Aprillia
- Dhania Salsha Handiani
- Vini Hidayani
- Fanya Tarissa Anindita
- Raditya Setiawan
- Sekarini Wukirasih
- Muhammad Nur Pradana
- Salsabila Yusri Afiya
- Aldi Haydar Mulia
- Ramadani Sulistyorini
- Jasmine Rizky El Yasinta
- Herlambang P Wiratraman
- Amry Al Mursalaat
- Tara Reysa
- Nuvaisa Ayu Shabrina
- M. Ismail Hamsyah
- Anya Paulina
- Fayyaza Dian P
- Nahar Ilhamulah
- Pasquale Clayton P
- Berlin Syahputra
- Angelina Chiquita Kurnia Putri
- Gabriel Laksnanta Rarendra
- Dhea Ramadhani
- Jihan Rahma
- diah kusumaningrum
- Arian13 (Seringai)
- Nasrul Azwar
Tautan Data
- Diolah dari ‘Merawat Ingatan, Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat’ yang dirilis oleh Komnas HAM pada 2020 dan Nota Dinas Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM No. 129/PL.00.02/0.3.3/X/2024 sebagai jawaban Permohonan Informasi yang diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
- Komnas Perempuan, Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua, dan ICTJ, Stop Sudah!: Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009, (2010), -pelanggaran-ham-1963-2009-stop-sudah.
- Kakak Indra Purnama, Kilas Balik Kasus Dugaan Korupsi Tujuh Yayasan yang Didirikan Soeharto, Tempo, 5 Agustus 2024, https://nasional.tempo.co/read/1899781/kilas-balik-kasus-dugaan-korupsi-tujuh-yayasan-yang-didirikan-soeharto.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015, https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/69c476dea3816eaa256857203ecad535.html.
- UNODC dan World Bank, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunities, and Action Plan, (2007), https://www.unodc.org/pdf/Star_Report.pdf.
SSC/*