PSN Makan Korban Lagi, KKJ Indonesia Kecam Aksi Polisi Tangkap Pemimpin Redaksi Floresa

Kamis, 03/10/2024 11:46 WIB
Warga membawa baliho bertuliskan tuntutan-tuntutan aksi, di antaranya menuntut Bank KfW untuk menghentikan pendanaan proyek geothermal dan mencabut SK Bupati Manggarai terkait penetapan lokasi proyek. (Dokumentasi Floresa)

Warga membawa baliho bertuliskan tuntutan-tuntutan aksi, di antaranya menuntut Bank KfW untuk menghentikan pendanaan proyek geothermal dan mencabut SK Bupati Manggarai terkait penetapan lokasi proyek. (Dokumentasi Floresa)

 

Jakarta, sumbarsatu.com—Proyek Starategis Nasional (PSN) kembali meminta korban. Kali terjadi pada Proyek Geothermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Aksi protes masyarakat terhadap proyek ini berujung penangkapan seorang jurnalis oleh aparat polisi.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia mengecam keras tindakan aparat kepolisian dari Polres Manggarai yang menangkap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, saat meliput aksi warga Poco Leok yang tengah melakukan aksi protes atas pematokan lahan Proyek Geothermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Berdasarkan berita yang dipublikasikan melalui floresa.co, Herry Kabut diangkut dalam mobil aparat bersama beberapa warga Poco Leok lain yang juga ditangkap. Menurut keterangan warga, Herry ditarik dan diangkut paksa ke dalam mobil aparat sambil dianiaya. Kejadian tersebut didokumentasi oleh warga setempat. 

Proyek ini merupakan kerja sama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang juga merupakan bagian dari proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Pocoleok untuk membuka akses jalan proyek Geothermal pada Rabu kemarin. Masuknya PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ini diiringi dengan pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi Pamong Praja. Upaya tersebut dihadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan.

Berdasarkan informasi langsung yang diperoleh dari warga sekitar, aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat dan Pol-PP tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar.

Aparat mendorong, mendobrak, sehingga ada beberapa warga yang terluka karena dipukul polisi berseragam lengkap. Berdasarkan keterangan warga ada sekitar empat orang yang ditahan saat ini dan aparat mengatakan akan melepas mereka, ketika warga aksi bubar. Pemimpin redaksi Floresa juga ditangkap saat melakukan peliputan.

Berdasarkan kejadian tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.” 

“Tindak kekerasan oleh aparat keamanan berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara,” kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia, dalam relisnya, Kamis 3 Oktober 2024.

Aksi kekerasan yang sarat pelanggaran hukum ini KKJ mendesak kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik. 

“Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang,” tambah Wahyu Dhyatmika, Ketua Umum AMSI.

Sementara itu, Nurina Safitri, Amnesty International Indonesia, mendesak Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang.

“Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan,” tegas Nurina Safitri.

 “KKJ Indonesia mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan,” sebut Erick Tanjung

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). SSC/MN

Kpu

BACA JUGA