Desakan Masyarakat Sipil, Hentikan Brutalitas Aparat, Bebaskan Massa Aksi yang Ditangkap

Jum'at, 23/08/2024 22:51 WIB
Aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil “Peringatan Darurat Kawal Putusan MK dan Menolak Revisi UU Pilkada” di depan Kantor DPRD Sumbar, Kamis, 22 Agustus 2024

Aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil “Peringatan Darurat Kawal Putusan MK dan Menolak Revisi UU Pilkada” di depan Kantor DPRD Sumbar, Kamis, 22 Agustus 2024

Jakarta, sumbarsatu.com—Aksi unjuk rasa sejumlah masyarakat sipil yang menggelar aksi “Peringatan Darurat Kawal Putusan MK dan Menolak Revisi UU Pilkada” yang berpotensi mengangkangi konstitusi dan menjadi karpet merah bagi pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo.

Aksi ini dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia, antara lain Padang, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Lampung, Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lain termasuk Jakarta. Aksi penyampaian pendapat di seluruh wilayah tersebut tak luput dari brutalitas aparat Kepolisian dan TNI.

Sejumlah massa aksi yang berpartisipasi mengekspresikan pandangan politik dalam aksi tersebut mengalami tindakan represif dan kekerasan dari aparat kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia.

Mahasiswa, pelajar, anak, lansia, asisten pengacara lembaga bantuan hukum, hingga jurnalis tercatat menjadi korban brutalitas aparat akibat penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, dan penembakan gas air mata yang brutal.

Berdasarkan data dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), tercatat tujuh massa aksi mengalami kekerasan di Jakarta. Beberapa di antaranya dilarikan ke rumah sakit dan mendapat pertolongan pertama oleh paramedis.

Hal serupa turut dialami jurnalis, dimana berdasarkan data yang dihimpun oleh Komite Keselamatan Jurnalis, tercatat setidaknya 10 jurnalis mengalami luka-luka.

Tak henti sampai di situ, TAUD mencatat setidaknya ada 105 massa aksi ditangkap dan digelandang ke Polres Jakarta Barat sekitar Pukul 17.00 WIB, dan 159 massa aksi ditangkap ke Polda Metro Jaya. Bukan hanya saat berlangsungnya aksi, penangkapan bahkan dilakukan saat massa aksi tengah berjalan menuju lokasi aksi.

Pemeriksaan terhadap massa aksi yang dilakukan oleh kepolisian tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP. Sampai dini hari tadi, para pendamping hukum dihalang-halangi untuk menemui para massa aksi yang ditangkap. Massa aksi yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya mengalami luka dan tidak mendapatkan pengobatan yang memadai.

Selain itu, proses hukum terhadap anak dilakukan tidak sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu tanpa pendampingan Badan Pemasyarakatan (BAPAS) dan orang tua.

Aksi demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara untuk dapat menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana dilindungi dalam UUD 1945 hingga Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Kendati demikian, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian dan TNI pada massa aksi Kawal Putusan MK dan Tolak Revisi UU Pilkada merupakan bentuk represi terhadap warga negara yang sedang melaksanakan hak konstitusionalnya. Terlebih, tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian (Perkap No. 1/2009), yaitu tindakan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), tindakan memang perlu untuk dilakukan (nesesitas), dan penggunaan kekuatan tidak menimbulkan kerusakan yang berlebihan (proporsionalitas).

 

Tak berhenti di situ, brutalitas tindakan kepolisian dilanjuti dengan penangkapan sewenang-wenang yang mana tidak sesuai dengan prosedur dalam hukum acara pidana. Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 8/2009) juga telah secara tegas melarang tindakan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum yang jelas.

 

Akan tetapi, nyatanya, penangkapan sewenang-wenang telah berubah menjadi praktik yang lumrah dilakukan oleh aparat kepolisian, khususnya kepada mereka yang lantang menyuarakan kebengisan penguasa.

 

Lebih-lebih, upaya menghalangi hak para massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang untuk mendapatkan bantuan hukum, merupakan tindakan yang tak patut dilakukan oleh mereka yang dilabeli sebagai “aparat penegak hukum”.

Pada akhirnya, tindakan represi dan penangkapan sewenang-wenang kepada massa aksi #KawalPutusanMK, semakin mengonfirmasi bahwa kepolisian pasca Reformasi merupakan jelmaan dari gelapnya praktik kekerasan Orde Baru.

Kepolisian yang seharusnya bertugas untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, menjadi sekadar alat politik penguasa untuk menghantam aspirasi dan pandangan politik yang bertolak belakang dengan penguasa.

Usaha Reformasi 98 untuk memisahkan Kepolisian dari naungan Militer Orde Baru, tak ubahnya menjadi sia-sia. Pasalnya, institusi yang dilahirkan dari rahim reformasi justru mengkhianati tumpah darah reformasi itu sendiri, dengan berbagai tindakan kekerasan yang dilakukannya kepada masyarakat. Atas dasar tersebut, kami mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan jajarannya untuk melepas dan membebaskan massa aksi saat ini juga.
  2. Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan jajarannya untuk mengusut tuntas kekerasan aparat terhadap massa aksi.
  3. Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak mengulangi tindakan represif kepada masyarakat yang melaksanakan hak konstitusinya untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Tuntutan Kami,

  1. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  2. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  3. Digital Democracy Resilience Network (DDRN)
  4. Humanis
  5. Milk Tea Alliance Indonesia
  6. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) 7. ASEAN Youth Forum (AYF) Secretariat
  7. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist)
  8. Muchamad Ali Safa’at (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
  9. Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA)
  10. New Naratif
  11. LBH Pers Padang
  12. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
  13. LaporSehat dan LaporIklim
  14. Mayling Oey-Gardiner (Universitas Indonesia)
  15. Bivitri Susanti (STHI Jentera)
  16. Rizky Argama (STHI Jentera)
  17. Fajri Nursyamsi (STHI Jentera)
  18. Asfinawati (STHI Jentera)
  19. Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
  20. Zainal Arifin Mochtar (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) 22. Rina Mardiana (PSA IPB)
  21. Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
  22. PurpleCode Collective
  23. Greenpeace Indonesia
  24. LBH Bali
  25. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  26. Yayasan Pikul
  27. Center for Peace Conflict & Democracy (CPCD) Universitas Hasanuddin 30. Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 31. Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 32. I Ngurah Suryawan (FISIP Universitas Warmadewa, Bali)
  28. Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Nusantara
  29. Ruang Pergerakan Hukum
  30. Koperasi Sobat Petani Lestari
  31. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  32. Resister Indonesia
  33. Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS HAM SULTENG)
  34. IM57+ Institute
  35. Perhimpunan PATTIRO Semarang
  36. Public Virtue
  37. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional
  38. Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan (JURnaL) Celebes
  39. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan 45. Salam 4 Jari
  40. Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 47. Richo Andi Wibowo (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) 48. Bung Hatta Anti Corruption Award
  41. Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Ikahum Atma Jogja)
  42. Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP)
  43. Inna Junaenah (Alumni Persatuan Pelajar Indonesia-PPI Universiti Teknologi MARA, Malaysia)
  44. WALHI Jawa Timur
  45. Puskaha Indonesia
  46. Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA)
  47. Satria Unggul W.P (UMSurabaya)
  48. Institute for Statistics and Socio-Ecological Development (ISSED) 57. Saiful Mahdi (PAKU-ITE)
  49. Yayasan Kurawal
  50. Asia Democracy Network
  51. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
  52. Greenpeace Indonesia
  53. WeSpeakUp.org
  54. YAPPIKA
  55. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  56. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  57. KOPEL Jabodetabek
  58. Lingkar Studi Feminis (LSF)
  59. LBH Masyarakat
  60. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) 70. Yayasan Rumah Jahe
  61. Perkumpulan Suara Kita
  62. Lab Demokrasi
  63. Social Justice Indonesia
  64. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Study Center for Law and Social Justice) Fakultas Hukum UGM/LSJ FH UGM
  65. Amnesty International Indonesia
  66. Bekasi Ambil Peran
  67. Kenapa Harus Peduli
  68. Indonesia Education Watch
  69. Badan Eksekutif Mahasiswa STHI Jentera
  70. Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK LPT)

SSC/*

Iklan

BACA JUGA