Sastrawan Tolak SatuPena Masuk ke Kota Payakumbuh

Minggu, 14/07/2024 08:30 WIB
Sastrawan Kota Payakumbuh sedang berdiskusi merumuskan masa depan kesastraan dan dunia literasi di Kota Payakumbuh dan Limapuluh Kota.

Sastrawan Kota Payakumbuh sedang berdiskusi merumuskan masa depan kesastraan dan dunia literasi di Kota Payakumbuh dan Limapuluh Kota.

Payakumbuh, sumbarsatu.com—Sastrawan Payakumbuh menyatakan menolak kehadiran SatuPena di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Surat pernyataan yang diteken 12 orang sastrawan pada Minggu, 14 Juli 2024, sudah dikirimkan kepada Penjabat Wali Kota Payakumbuh. Berikut diturunkan Surat Pernyataan tersebut:

SASTRAWAN PAYAKUMBUH TOLAK MASUKNYA SATU PENA KE PAYAKUMBUH

Denny JA dengan kemampuan finasialnya melakukan berbagai cara agar diakui sebagai seorang penyair, bahkan ingin dicatat sebagai seorang penemu genre baru penulisan puisi (yang sama sekali tidak baru, karena penyair Inggris Alexander Pope sudah melakukannya pada abad ke-18) yang ia sebut “puisi-esai”. Pada April 2012 Denny JA memodali penerbitan bukunya sendiri, Atas Nama Cinta dan kemudian, dengan menggelontorkan uangnya yang bagai tak terbatas, melakukan serangkaian rekayasa.

Rekayasa pertama (antara tahun 2012 s.d. 2013): Memodali Jurnal Sajak mengadakan sayembara penulisan “puisi esai” dengan hadiah uang Rp50 juta dan menerbitkan 10 antologi buku “puisi-esai” yang berisikan karya pemenang. Penerbitan 10 buku antologi ini seakan-akan (1) “puisi-esai” menghasilkan banyak pengikut atau pengarang, (2) diterima oleh publik, dan (3) memunculkan popularitas.

Rekayasa kedua (Januari 2014): Memodali penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dan membayar sejumlah orang untuk menulis dan menyusun kriteria “paling berpengaruh” yang membuat para penyusun buku memasukkan namanya.

Rekayasa ketiga (antara 2015 s.d. 2016): Memodali sutradara film Hanung Bramantyo untuk membuat beberapa film yang diadaptasi dari sejumlah “puisi-esai”-nya.

Rekayasa keempat (antara 2017 s.d. 2018): Memodali 170 penulis di 34 provinsi di Indonesia menghabiskan dana Rp850 juta melalui program yang ia sebut sebagai penulisan “puisi-esai” nasional.

Rekayasa kelima (2018): Memodali sayembara penulisan resensi “puisi-esai” dengan total hadiah Rp200 juta.

Rekayasa keenam (antara 2017 s.d. 2019): Memodali serangkaian penerbitan buku yang menyoroti fenomena “puisi-esai”. Salah satu buku berjudul Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017) dikirim tanpa diminta ke puluhan penulis di Indonesia. Banyak penulis yang, begitu sadar hal itu merupakan rekayasa Denny JA, mengembalikan buku itu ke alamat pengirim.

Denny JA perintis dan penemu genre baru karya sastra “puisi-esai”? Tidak, karena “puisi-esai” sudah ditulis sejak abad ke-18. Denny JA sastrawan berpengaruh? Tidak, yang berpengaruh adalah uangnya. Dengan menggelontorkan banyak uang, ia merusak idealisme para sastrawan dan di beberapa daerah, dengan organisasi “Satu Pena”-nya, membuat para sastrawan terpecah-belah.

Atas dasar itu para sastrawan Kota Payakumbuh menolak kehadiran Satu Pena dengan berbagai programnya di Payakumbuh. Sastrawan tersebut antara lain:

  1. Gus tf (Peraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 2004)
  2. Iyut Fitra (Peraih Penghargaan Sastra Kemendikbud RI 2020)
  3. Adri Sandra (Peraih 3 Rekor Muri)
  4. Heru Joni Putra (Pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta)
  5. Habib Dt. Monti (Penulis Buku Lakon Tole)
  6. Ahda Imran (Peraih Penghargaan Sastra Kemendikbud RI 2023)
  7. Zelfeni Wimra (Peserta Majelis Sastera Asia Tenggara)
  8. Okta Piliang (Penulis Buku Sepasang Bulbul
  9. Yeni Purnama Sari (Penulis Buku Berumah di Kesunyian)
  10. Oldi Putra (Penulis Buku Makranin)
  11. Fajar Rilah Vesky (Penulis Buku Lidah Ajer)
  12. Feni Efendi (Penulis Buku Pajacombo)

 

Payakumbuh, 14 Juli 2024

Iklan

BACA JUGA