Berkomunitas, Berjejaring, Berdaya: Obrolan Ngopini Seri 2 Ekonomi Kreatif

Sabtu, 13/07/2024 14:01 WIB

Payakumbuh, sumbarsatu.com—“Saya tidak kerja sendiri, banyak teman, banyak pihak yang terlibat,” jelas Femyl Chang saat menceritakan bagaimana ia dan teman-temannya membangun brand batik Payakumbuh.

Edo Koro, Angga Magaik, dan Andika Ajok, juga berkata hal yang kurang lebih sama ketika menjelaskan bagaimana para pelaku ekonomi kreatif ini menggeluti dunianya masing-masing.

Femyl adalah salah seorang fashion designer bertalenta di Payakumbuh yang memilih ‘membesarkan’ Payakumbuh ketimbang membangun karir di luar sana. Padahal sebagai fashion designer ia punya portofolio yang gahar. Saat berkarir di Jakarta, busana rancangannya pernah dipakai selebritas macam Gissel sampai Syahrini.

Edo adalah salah satu sutradara dan film maker muda di Payakumbuh yang kini bergiat mempopulerkan sinematografi ke sekolah-sekolah dan pelajar umumnya. Sedangkan Angga tengah menekuni desain grafis yang dikombinasikannya dengan tumbler ramah lingkungan. Sementara Andika adalah seorang visual art yang bergerak rada-rada bawah tanah.

Mereka semua adalah teman ngobrol di Ngopini Seri 2 yang bertajuk “Visual Futures: Inovasi, dan Peluang Dalam Seni Rupa, Desain, Media dan Audio Visual.” Seperti biasanya, kegiatan ngobrol-ngobrol ini berlangsung di Gerobak Kopi di Simpang Benteng, Selasa malam, (9/7/24) yang sejak 2017 lalu telah menjadi rumahnya Ngopini.

Di tengah suasana diskusi yang hangat, kata-kata komunitas, komunitas, dan komunitas, muncul berulang kali.

Edo Koro mengatakan ia besar dari komunitas bernama Relarugi yang bergerak di ranah audio-visual. Angga Magaik yang juga berasal dari komunitas, komunitas musisi tepatnya, juga mengatakan betapa pentingnya berkomunitas. Begitupun tuturan Andika Ajok. Semua sepakat komunitas adalah kunci.

Angga Magaik memberi contoh betapa pentingnya komunitas. Ia yang awalnya lebih menekuni dunia musik, kini merintis karir di bidang design grafis. Di usia yang tidak lagi muda-muda amat, ia berani sedikit banting stir—menjadi design grafis. Keputusan itu ia berani ambil karena adanya komunitas tempat belaras bersama, berbagai ide, bahkan saling pinjam alat.

Gerobak Kopi sebagai ‘kantornya’ Angga Magaik menyediakan semacam support sistem saat Angga membagun karir.

“Banyak teman yang bisa diajak tukar pikiran, mengenalkan tools terbaru, atau memberi dukungan moral,” katanya sambil menambahkan kerja individual memiliki banyak kekurangan.

Andika Ajok berasal dari Komunitas Belanak, Padang, saat ia berkuliah di UNP. “Di sana saya belajar banyak hal, belajar banyak isu dan seterusnya,” kata pemuda asal Ampalu, Halaban. Komunitas, lanjutnya, juga sangat penting untuk membangun jaringan. Ia juga menekankan pentingnya komunitas sebagai ruang alternatif dalam membuat karya dan memamerkannya ke ruang publik—memenuhi ruang-ruang publik dengan karyanya terutama mural.

Kolaborasi menjadi kata kunci satunya lagi. Semua narasumber/Teman Ngopi, sepakat bahwa kolaborasi adalah salah satu unsur penting dalam membangun ekosistem ekonomi kreatif di Payakumbuh di masa kini dan akan datang.

Sayangnya sejauh ini, kolaborasi belum berjalan optimal. Banyak pelaku ekonomi kreatif di Payakumbuh punya agenda masing-masing, yang di satu titik akan bersinggungan satu sama lain, namun tidak ada satu payung komunitas untuk bersama-sama bembangun brand serta branding kota.

Ketiadaan ruang sebagai wadah berkarya, berkolaborasi, dan galeri pameran dilihat sebagai hambatan.

Menanggapi hal tersebut, Bobby Prakarsa, Kabid Ekonomi Kreatif Disparpora Payakumbuh yang hadir di Ngopini sebagai perwakilan pemerintah mengatakan gagasan membangun ruang bersama bagi tiap komunitas ekonomi kreatif di Payakumbuh memang penting dan perlu.

Gagasan ini, katanya, akan ia catat dan jadi pertimbangan saat menyusun kebijakan kedepannya. Namun yang tak kalah penting baginya ialah bagaimana gagasan itu muncul dan diperbincangkan oleh pelaku ekonomi kreatif itu sendiri.

“Selama ini kami menyadari besarnya potensi ekonomi kreatif di Payakumbuh, namun selama ini kebijakannya cenderung dibuat tanpa mendengar suara teman-teman, perencanaan kebijakan di beberapa subsektor ekonomi kreatif,” jelasnya lebih jauh.

Menurut Bobby, kegiatan seperti Ngopinilah yang bisa menjadi jembatan antara pemerintah dan pelaku ekonomi kreatif.

“Paradigma lama pembuatan kebijakan yang bersifat top-down, akan kami ubah. Kami akan lebih banyak mendengar kebutuhan teman-teman dan berupaya mengakomodirnya,” katanya.

Seniman, Ekonomi Kreatif, dan Sensibilitas Sosial

Tak hanya pemerintah yang berkata bersedia mengubah paradigma penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi kreatif. Para pelaku pun kini melihat kerja kreatifnya tidak sebatas ladang uang belaka. Lewat karya-karyanya mereka mencoba menyampaikan isu-isu sosial.

Angga Magaik, misalnya. Desain-desain yang dibuatnya memuat pesan soal lingkungan, tepatnya sampah plastik. Selain lewat desain, ia juga mengkampanyekan gerakan mengurangi pemakaian bahan plastik dengan menawarkan tumbler ramah lingkungan. Untuk konteks kedai kopi, ia berkata “Ngopi keren, tapi gak harus nyampah.”

Maka ia mengampanyekan gerakannya dari kafe ke kafe sambil menawarkan tumbler dengan desain berisi pesan-pesan lingkungan rancangannya sendiri.

“Ternyata teman-teman mendukung juga gerakan ini. Gerobak Kopi kini kasih diskon 15% buat yang beli kopi pakai tumbler sendiri,” paparnya sambil menyinggung kembali pentingnya komunitas tidak hanya sebagai support sistem tapi ikut berpartisipasi aktif mendukung gerakannya.

Femyl Chang juga punya isu tersendiri yang diusung lewat fashionnya. Setelah mendalami dunia perbatikan Payakumbuh, ia menemukan sejumlah motif batik yang khas Payakumbuh, misalnya motif batik Bundo Kanduang Koto nan Gadang.

“Motif-motif seperti ini, jarang diketahui orang,” katanya dan menambahkan potensi besar motif-motif untuk dikembangkan lebih jauh.

Namun yang lebih penting ialah para pengrajin batik rare itu sendiri. Di berbagai Nagari di Payakumbuh, para pengrajin batik seperti kehilangan semangat dalam memproduksi dan mengembangkan motif batiknya.

“Mempopulerkan batik-batik ‘khas’ Payakumbuh,” katanya bisa membantu mendongkrak semangat para pembatik. Tapi itu belum cukup.

Bersama teman-temannya, Femyl kini aktif membantu membangun kelompok-kelompok pengrajin batik di berbagai Nagari dan kelurahan. “Di Tanjuang Pauh, di Tiakar, kini pengrajin batiknya kembali aktif dan bersemangat.”

Industri batik bisa menyediakan lapangan pekerjaan “apalagi kalau muncul lebih banyak pengrajin batik di Payakumbuh.” Dan ia kembali menggarisbawahi soal pentingnya komunitas dan kolaborasi, terutama kolaborasi dalam membangun brand batik Payakumbuh.

“Potensinya luar biasa besar, pasarnya ada, bahan-bahannya juga bisa didapat dengan cukup mudah. Saya optimis industri ini akan berkembang, apalagi jika kita semua berkolaborasi,” tukasnya.

Sementara bagi Edo Koro, di samping alat branding yang kuat dan efektif, sinema juga adalah kontrol sosial. “Film bisa jadi media edukasi isu-isu sosial di Payakumbuh. Saya selalu memprovokasi para pelajar untuk mengisi film-film mereka dengan isu sosial,” jelas alumni ISI Padang Panjang yang karyanya telah diputar di beberapa festival film dan kerap diundang menghadiri berbagai forum perfileman.

Andika Ajok mengutarakan hal senada. Menurutnya seni rupa juga adalah media untuk menyampaikan kritik sosial. Banyak kritik sosial yang bisa disampaikan dengan cepat dan tepat lewat karya rupa, terutama mural.

“Apalagi kalau dipasang di ruang-urang publik, lebih tepat kenanya,” katanya sembari menyayangkan sikap sebagian orang yang melihat seni mural sebagai vandalisme.

Kolaborasi = Berdaya

Banyak mimpi dan keinginan para pelaku ekonomi kreatif di Payakumbuh. Para peserta diskusi juga menyampaikan pentingnya membangun kolaborasi lintas-bidang untuk membangun ekosistem ekonomi kreatif di Payakumbuh.

Ivan dari Forum RT 05 misalnya. Pegiat film ini mengatakan setiap pekerja kreatif bisa ambil bagian dalam membangun branding kota dan brand teman-teman komunitas atau individu. Penulis bisa mengambil peran sebagai kritikus, film maker bisa memproduksi konten promosi,  dan seterusnya.

Peserta diskusi lainnya juga sepakat. Dibutuhkan kolaborasi untuk memajukan ekonomi kreatif di Payakumbuh. Meski teknologi banyak memberi kemudahan dan memungkinkan kerja-kerja individual, kolaborasi tetap penting karena teknologi punya keterbatasan.

Dalam soal desain, kini ada berbagai platform AI untuk memproduksi gambar dengan cepat. Namun citarasa estetiknya sangatlah kering. AI tidak akan bisa menangkap ‘semangat’ Kota Payakumbuh sebagaimana desain grafis yang terhubung secara riil dengan Payakumbuh.

Untuk itu, diperlukan pula ruang atau wadah untuk saling bertemu, merancang kolaborasi, dan menyusun langkah kedepan untuk maju dan berdaya bersama-sama. SSC/Randi

Iklan

BACA JUGA