Warisan Pikir Orang Minangkabau dan Keinginan Gubernur

Selasa, 11/06/2024 16:37 WIB
-

-

OLEH Wannofri Samry (Dosen FIB Unand dan Pecinta Buku)

 

PADA  tahun 2013 sejumlah mahasiswa Minangkabau beberapa kali bertamu ke rumah keluarga Prof. Dr. Umar Junus di petaling Jaya Malaysia. Umar Junus seorang pakar kritik sastra yang dikenal dan menjadi rujukan para peneliti. Beliau terakhir menjadi dosen di Universiti Malaya, Kualalumpur. Beliau aslinya orang Silungkang Sawahlunto, terdampar bersama keluarga di Malaysia karena berbagai alasan.

Setiap bertemu dengan Umar Junus selalu ada yang menarik, tentang isu kampung, akademik budaya dan sikap orang Minangkabau. Sebagai pakar ilmu budaya beliau telah melahirkan banyak buku dan tulisan yang dipublikasikan di dalam dan luar negeri. Fokus kajian dan pikiran beliau adalah masalah humaniora. Satu hal yang menarik dan menjadi penyesalan adalah pernah terbetik dalam diri beliau untuk menyumbangkan koleksinya ke Minangkabau, karena beliau pikir tidak ada yang mewarisi lagi koleksinya; ribuan buku dan sejumlah rekaman. Itu sudah lama sekali beliau niatkan. Di samping beliau sudah pensiun tentu mengurus buku bagi seorang pensiun jadi repot. Buku memerlukan ruangan dan pengelolaan khusus yang sebaiknya diurus oleh sebuah lembaga.

Suatu kali kami bertanya kepada Prof Dr.Umar Junus. “Bagimana dengan buku-buku Prof dulu, apakah jadi disumbangkan kepada kampung halaman, mungkin kepada Universitas Andalas?”

Prof Umar menjawab, “tidak ada lagi, sebagian yang penting sudah saya wariskan kepada Cucu, dan yang lain saya jual ke kedai loak!” Jawab beliau dengannada sinis.

Nampaknya beliau kecewa kepada Orang Awak. Kita tidak tahu kepada siapa beliau pernah menawarkan, kabarnya ada kepada salah satu universitas ternama di Sumatera Barat, namun dingin tanggapan. Tak tahu juga, orang dikampung mungkin memikirkan anggaran dan sebagainya. Yang pasti buku itu sudah terberai dan sebahagian entah di mana. Begitu oenjelasan beiau ketika itu.

Tentu ini tidak satu kali terjadi, beberapa kali “kita” kehilangan warisan intelektual, kekayaan yang tidak bisa diukur dengan uang. Buku tentu bagian dari puncak-puncak peradaban yang mesti diselamatkan. Banyak intelektual asal Minangkabau yang sudah meninggal dan buku mereka kita temukan di Pasar Loak (Flea Market) setelah meninggalnya sang tokoh. Beberapa kawan umpamanya menemukan buku intelektual Minangkabau di loakan, seperti karya Pak Dr. Alfian, Pak Prof. Dr.Harsya W Bachtiar, dua diantara intelektual Minangkabau yang terkemuka pada tahun 1980an dan 1990an. Di Peprustakaan Sumjatera Barat, tentu tidak ada buku-buku karya-karya beliau ini, sebagaimana karya-karya tokoh-tokoh Minangkabau lainnya.

Pak Almarhum A.A, Navis juga punya koleksi buku dan beberapa klipingan dan dokumen, sebagian copynya dulu perna diserahkan ke Yayasan Genta Budaya (kini sudah hancur). Intelektual yang belum lama berselang meninggal, Prof Dr.Mestika Zed, sejarawan yang punya koleksi ribuan buku dan dokumen. Setelah sebulan beliau meninggal saya pernah mampir ke rumahnya dan melihat-lihat koleksinya, kiranya mulai kurang terawat. Nanti bisa saja tidak terselamatkan. Kecuali jika Universitas Negeri Padang(UNP) atau Universitas Andalas(Unand) mau menyelamatkannya.

Pengalaman yang berbeda ditemukan di Medan Sumatera Utara. Saya berkunjung ke rumah pendiri Suratkabar Waspada, Mohammad Said, di Medan. Sedikit koleksinya bisa dilesamatakan oleh keluarga karena beliau masih mewariskan bisnis suratkabar. Bagaimanapun buku masih terkait dengan bisnsis ini. Hal yang menarik adalah inisiatif antropolog Prof. Dr Usman Pelly, antropolog asal Bayur, Maninjau, di Medan. Beliau telah membuat Yayasan Usman Pelly dan mendirikan perpustakaan di rumahnya dengan koleksi di atas sepuluh ribu buku. Perpsutakaan ini diresmikan oleh Walikota Medan. Kini perpustakaan Usman Pelly tempat para peneliti mencari referensi.

Tentu sudah banyak intelektual kita yang meninggal dan meninggalkan buku-buku. Koleksi itu hilang begitu saja. Sekiranya ada lembaga di Minangkabau bersama pemerintah daerah untuk menyelematkan kekayaan intelektual para intekektual Minangkau ini tentu akan sangat bermanfaat. Pertama koleksi mereka bisa dibaca generasi berikutnya; kedua, hasil pikir mereka bisa dipelajari lagi untuk mengembangkan peradaban masa depan kita.

Dengan mempelajari berbagai kekayaan intekektual diharapkan masa depan peradaban tidak selalu mulai dari nol, sebab banyak yang sudah dipikirkan sebelumnya lalu diulang-ulang memikirkan saat ini. Hal yang mubazir,sesuatu yang mestinya sudah pada tahap implikasi,lalu memulai lagi mendiskusikan dari awal, pada hal yang dipikirkan oleh generasi saat ini sudah dipikirkan jauh hari oleh para pemikir terdahulu.

Pada cerita lain, dalam tahun 1990an saya sebagai peneliti muda diikutsertakan oleh Mestika Zed (ketika itu beliau masih Dr) untuk meneliti sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang kemudian menjadi buku terbaik Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Setelah kami dilatih sekitar sebulan untuk terjun ke lapangan maka kami menemui para pelaku perjuangan, para revolusioner garda depan.

Dokumen-dokumen wawancara dengan para pejuang itu direkam dan ditransliterasi. Dokumen itu masih disimpan keluarga Prof Mestika Zed dan sebagain copynya tersebar pada para peneliti. Kini para pejuang garda depan dan saksi sejarah itu sudah tiada. Jadi kami beruntung bisa menemui dan mewawancarai mereka. Di loaur itu tentu sudah banyak tokoh yang meninggal dan hilang, lalu mkita kehilangan sumber sejarah dan penegtahuan kebangsaan yang sangat penting.

Masih terkait dengan penyelamatan hasil pikir dan karya orang Minangkabau , beberapa waktu lalu saya dan kawan-kawan pernah berbicara dengan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah di sebuah ruangan di Istana Gubernur Sumatera Barat. Topik diskusi adalah penyelamatan pemikiran dan karya dari para tokoh Minangkabau. Beliau mempunyai keinginan untuk membangun sebuah perpustakaan koleksi pemikir-pemikir Miangkabau di komplek Mesjid Raya Sumbar.

Tentu keinginan ini sangat mulia, sebab akan menyelamatkan dan mengumpulkan karya-karya penting para pemikir Miangakabau di sana. Jika ini terwujud perpustakaan Mesjid Raya Sumbar akan menjadi wadah penting untuk menggali pikiran-pikiran orang Minangabau. Keinginan Buya Mahyeldi ini tentu berkaitan juga dengan ketidakmampuan perpustakaan-perpustakaan universitas menjawab mengenai keperluan untuk mewarisi karya-karya tokoh Minangkabau. Ini juga sindirian dan tantangan bagi universitas untuk berbenah dan melengkapi koleksinya.

Iklan

BACA JUGA