
“Diseminasi Hasil Riset Feminist Participatory Action Research/FPAR yang dilakukan oleh Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu), Kamis (25/4/2024) di Hotel ZHM Padang.
Padang, sumbarsatu.com—Kendati data di Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) menunjukkan penurunan angka pernikahan di bawah umur di Sumatera Barat namun fakta di lapangan bertolak belakang. Kasus pernikahan di bawah usia 19 tahun masih cukup tinggi walau sulit mengungkap datanya secara kuantitatif karena terjadi banyak kasus pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA, sehingga juga tidak terdata di BPS.
Kenyataan ini terungkap dalam acara "Diseminasi Hasil Riset Feminist Participatory Action Research/FPAR yang dilakukan oleh Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu), Kamis (25/4/2024) di Hotel ZHM Padang.
Dari temuan riset yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) di 3 kabupaten di Sumbar terungkap fakta bahwa terjadi trend baru pernikahan di bawah usia 19 tahun ini pasca Covid 19. LP2M adalah satu dari 8 lembaga yang tergabung dalam konsorsium Permampu.
“Lokasi penelitian ada di 3 Kabupaten di Sumatera Barat, yaitu Padang Pariaman, Tanah Datar dan Mentawai. Dari 3 lokasi ini teridentifikasi Perubahan Tren Perkawinan Usia dibawah 19 Tahun, khususnya pasca UU No. 16/ 2019 dan di Masa Covid 19 di pedesaan dan daerah terpencil,” demikian diakui oleh Tanti Herida, koordinator program penelitian ini.
Berdasarkan data BPS Sumatera Barat angka pernikahan usia kurang dari 19 tahun dalam 10 tahun terakhir di Sumbar menurun signifikan. Data hasil sensus yang dipublikasikan tahun 2023 menyebutkan bahwa angka penurunan itu bergerak dari 28 per 1000 remaja menjadi 14 perkawinan per 1000 remaja. Namun kenyataannya dari hasil riset masih banyak kasus-kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan UU No 16/2019 di atas.
“Banyak kasus pernikahan siri, ada juga kasus pernikahan yang dicatatkan tetapi melalui mekanisme mengubah data diri dengan menaikkan usia sehingga sesuai dengan persyaratan yang diminta,” jelas Tanti lagi.
Selain persoalan nikah siri yang jelas tidak tercatat dan sulit didata, menurut Tanti, kasus lainnya adalah terkait persoalan data yang tersedia di setiap OPD yang berbeda-beda.
“Ketika kami melacak data angka pernikahan ini di Dinsos, Kemenag, Dinkes dan bahkan di nagari, itu tidak sama. Karenanya data kuantitatif tidak bisa kami andalkan. Apa lagi riset ini memang bukan untuk membahas persoalan angka tetapi bagaimana mencegah dan menangani kasus-kasus ini sehingga tidak merugikan perempuan,” tegasnya.
Implikasi perkawinan anak menjadi sangat kompleks dimana terdapat sedikitnya lima tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa. Pertama, potensi kegagalan melanjutkan pendidikan. Perempuan yang menikah di usia < 19 tahun memiliki peluang empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari SMA. Kedua, potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Ketiga, potensi meningkatnya angka kematian ibu. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi. Keempat, potensi meningkatnya kematian bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari atau 1,5 kali lebih besar disbanding, jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun. Kelima, potensi kerugian ekonomi. Perkawinan usia < 19 tahun diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak berpotensi merugikan pembangunan sumber daya manusia di masa depan.
Dalam target RPJM Indonesia tahun 2020-2024, angka perkawinan anak harus turun menjadi 8,74%. Sementara menurut data KPPPA, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,21% di tahun 2017 dan turun ke 10,82% tahun 2019. Sementara itu di tahun 2019 Amandemen UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 telah mengubah umur minimum perkawinan bagi Perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. Tetapi di tahun 2019 tersebut dan di masa Covid-19 angka perkawinan ≤19 tahun justru meningkat.
Direktur Eksekutif LP2M, Felmi Yetti pada kesempatan desiminasi tersebut mengatakan bahwa pada tahun 2019 terdapat 23.126 kasus pernikahan usia < 19 tahun, dan di tahun 2020 jumlahnya naik tajam menjadi 64.211. Peningkatan ini juga terjadi di 8 provinsi wilayah dampingan Konsorsium PERMAMPU khususnya di pedesaan.
Oleh karena itu Konsorsium PERMAMPU yang sedang melaksanakan program Pencegahan dan Penanganan Perempuan Korban Perkawinan Usia kurang dari 19 tahun, mengadakan penelitian di 78 desa di 26 Kabupaten di Provinsi Aceh, SUMUT, Riau, SUMBAR, Jambi, Bengkulu, SUMSEL dan Lampung.
“FPAR ini intinya adalah penelitian kualitatif yang focus terhadap pengalaman hidup perempuan dan sekaligus merupakan peningkatan pengetahuan serta penyadaran akan dampak dan pentingnya pencegahan perkawinan di usia kurang dari 19 tahun ke bawah. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak 2 Oktober 2023 hingga awal Februari 2024. Sementara lokakarya untuk validasi di seluruh Kabupaten dan Provinsi lokasi penelitian juga telah dilaksanakan di Januari – Februari 2024. Hingga akhirnya di awal April 2024, laporan penelitian ini selesai ditulis dan siap untuk didesiminasikan dalam semiloka,” tuturnya.
Semiloka ini, menurut Felmi, bertujuan untuk menyebarkan hasil FPAR terhadap para pemangku kepentingan dari 26 Kabupaten dan 8 provinsi dan menyampaikan rekomendasi yang diperoleh dari penelitian tersebut untuk ditindaklanjuti bersama dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Usia < 19 Tahun.
Hadir dalam acara yang digelar secara hybrid tersebut para OPD yang tupoksinya berkaitan dengan kasus yang sama yaitu, Dinas Sosial, Kemenag dan OPD-OPD lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari hasil riset tersebut, LP2M bersama konsorsium Permampu berencana akan melakukan kerja-kerja pemberdayaan dan pencegahan perkawinan usia < 19 tahun ini melalui berbagai program kerja, diantaranya dengan menguatkan ketahanan keluarga, advokasi kebijakan, perbaikan layanan kesehatan , pengembangan ekonomi serta membangun jaringan kerjasama dengan OPD yang mengangkat isu yang sama dan selaras. SSC/KBT