Pameran "Di Bawah Kuasa Naga": Buku, Film, dan Foto Tentang Masyarakat yang Diusir

Minggu, 21/04/2024 23:26 WIB
kuasa

kuasa

Padang, sumbarsatu.com--Fatris MF kembali meluncurkan buku  terbarunya Di Bawah Kuasa Naga, The Land of Dragons (JBS, 2024). Buku catatan perjalanan (jurnalistik) dalam dua versi bahasa itu, Indonesia-Inggris, selain berisi cerita orang-orang di tempat Sang Naga hidup di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, juga berisi foto-foto berwarna yang tampak tidak utuh alih-alih cantik, naga-naga pemalas, dan sederet pertanyaan yang tak jelas asal-muasalnya seperti kosmologi genetik, parasitologi, dan ekologifasis.

Naga merupakan istilah yang dipakai ilmuan untuk menyebut komodo--binatang kanibal beracun itu sebagai The Last Living Dragon, naga terakhir yang masih hidup di muka bumi.

Peluncuran buku tersebut digelar dalam rangkaian "Pameran Fotografi, Art, Pemutaran Film, dan Peluncuran Buku Di Bawah Kuasa Naga" pada 25 April-28 April 2024 di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang.

Pameran "Di Bawah Kuasa Naga" yang dikuratori oleh Uyung Hamdani ini merupakan pameran tentang kehidupan orang-orang di wilayah Taman Nasional Komodo; tempat yang kini begitu digadang-gadang sebagai destinasi wisata premium yang kemudian berimplikasi pada panasnya suhu politik di sana akibat akan diadakannya penggusuran masyarakat setempat demi perlindungan komodo, naga terakhir yang hidup di bumi.

Sementara itu, foto-foto karya Fatris MF dalam pameran ini menampilkan keseharian masyarakat di dalam Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Lalu Ariq Alhani meresponnya dengan pendekatan mural dan instalasi.

Selain itu, ada pula pemutaran film dokumenter The Land of Dragons karya Fatris MF, diskusi,  pentas musikal Echo Flow dan Calon Pemusik Negeri Sipil.

Fatris MF mengatakan proses pembuatan foto, tulisan, dan film dokumenter tersebut pada tahun 2020, bertepatan dengan mencuatnya isu pemindahan warga di Pulau Komodo (salah satu pulau dalam kawasan Taman nasional Komodo). Kemudian polemik itu ditutupi dengan pandemi Covid-19.

"Saya memotret dan tinggal beberapa minggu di daerah Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Selama lebih kurang sebulan di sana, saya menulis perbincangan dengan orang-orang di sana, memotret dan merekam video," tutur Fatris kepada sumbarsatu

Komodo, Pariwisata, dan Masyarakat yang Diusir

Menurut Fatris MF, komodo itu semula dianggap mitos oleh dunia Barat. Walau dalam mitologi orang-orang di Pulau Komodo, masyarakat Modo atau Ata Modo meyakini bahwa komodo tersebut adalah saudaranya. Mereka satu ibu dan satu bapak dengan komodo.

Dalam “mitologi ilmuan” hari ini, komodo dianggap sebagai naga terakhir yang hidup di muka bumi. Ia dilindungi dan dijadikan objek kajian. Tapi tidak lupa, daerah tempat dia hidup digadang-gadang sebagai destinasi wisata premium. Pemodal-pemodal datang untuk membuka lapangan pekerjaan di sana dan kehidupan di sekitar berubah secara cepat.

"Wisata premium tersebut berada di tengah masyarakat miskin. Segala aturan dan pelarangan Taman Nasional diberlakukan untuk menjaga alam, aturan-aturan ekologis. Dan, ini tentu sangat bagus: bagaimana laut dilindungi, komodo dilindungi. Wisata Sail Komodo terus digencarkan, dengan target ribuan, entah jutaan wisatawan tiap tahun," ungkap Fatris.

Ironisnya, papar Fatris, seiring dengan banyaknya larangan “ekologis” tersebut, banyak warga beralih profesi. Yang semula nelayan, kemudian beralih ke penjual souvenir, atau pemandu turis.

"Ya tidak ada yang salah. Akan tetapi, muncul aturan-aturan ekologi yang menohok: bahwa masyarakat di pulau komodo harus direlokasi. Maksudnya diusir dari tanah kelahiran mereka sendiri," ujar Fatris.

Pameran Foto

Fatris MF mengaku, sebelumnya sama sekali tidak tertarik buat pameran di Padang, karena selama ini pameran foto di Padang jarang yang mengangkat isu, tetapi lebih pada pameran foto-foto cantik. Tentang Minangkabau yang cantik, tentang alam Minangkabau yang indah, berbudaya dan beradat. Menurutnya foto-foto seperti itu bagus saja digelar, akan tetapi tidak lupa bahwa foto-foto salon sangat kuat menutup realitas yang terjadi.

"Atas hal tersebut, saya belum pernah terpikir untuk pameran di Padang, apalagi di Taman Budaya Sumatra Barat, hingga beberapa teman seperti Akbar dan Fajri menyarankan untuk menggelar pameran yang berbeda dimana ada juga respon artistik perupa Ariq Alhani terhadap karya foto," ujar Fatris.

Kemudian berbagai komunitas di Padang merespons dan banyak membantu terlaksananya pameran ini. Juga disambut baik oleh Ade Efdira.

Maka dirancanglah pameran "Di Bawah Kuasa Naga" ini sekaligus dengan peluncuran buku dan pemutaran film dokumenter Land of The Dragons  yang dibantu prosesnya oleh Dhika Rizki. Semua itu digelar di Taman Budaya Sumbar.

Bagi Fatris MF tidak ada yang salah membahas daerah Nusa Tenggara Timur dari Padang, karena isu yang diangkat tidak jauh berbeda: bagaimana sebuah daerah dieksploitasi dengan berbagai cara, sementara masyarakatnya dibiarkan terlantar bahkan diusir.

Pameran foto sebuah daerah di luar daerah tersebut bukan pertama kali ini dilakukan oleh Fatris MF. Pada tahun 2009, Fatris MF menggelar pameran foto Gempa Padang di Yogyakarta.

"Selain di Padang, kemungkinan pameran "Di Bawah Kuasa Naga' ini akan digelar di New York dan Yugoslavia. Tapi kemungkinan terdekat adalah Yogyakarta, atau mungkin saja di Jakarta," kata Fatris.

Fatris MF adalah penulis, jurnalis,  periset, dan fotografer. Sebelum buku Di Bawah Kuasa Naga, The Land of Dragons (2024), buku yang dihasilkannya adalah Merobek Sumatra (2015), Kabar dari Timur (2018), Hikayat Sumatra (2021), The Banda Journal (2021), dan Indonesia dari Pinggir (2023). Buku-buku tersebut merupakan kumpulan catatan perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia yang berfokus pada sejarah, isu lingkungan, serta pergeseran budaya dan pergesekannya dengan modernisasi. Ia menetap di Padang, Sumatra Barat.

Buku The Banda Journal karya Fatris MF bersama fotografer Muhammad Fadli itu dinobatkan sebagai “PhotoBook of the Year” dalam ajang Photo Book Awards 2021 di Art Fair Fotografi Internasional Paris Photo yang bekerjasama dengan institusi Aperture Foundation.

Selain itu, buku The Banda Journal juga meraih  TIME’s 20  Best Photobooks of 2021 dari Time Magazine. SSC/Thendra



BACA JUGA