
Survei-Litbang-Kompas-soal-hak-angket
Jakarta, sumbarsatu.com–Hasil jejak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, menyebutkan mayoritas rakyat Indonesia menginginkan hak angket DPR untuk mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang menunjukkan sebesar 62,2 persen responden menyetujui jika DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Jejak pendapat dilakukan Litbang Kompas pada 26-28 Februari 2024.
Lebih dari separuh responden setuju agar anggota dewan menggunakan kewenangannya dalam menggulirkan hak angket tersebut. Seperti diketahui bahwa usulan penggunaan hak angket tersebut sebelumnya disampaikan Capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo. Usulan tersebut mendapatkan dukungan dan penolakan dari berbagai pihak.
"Sebagai bagian dari hak DPR, lebih dari separuh responden (62,2 persen) jajak pendapat menyatakan setuju jika DPR menggunakan wewenangnya untuk menyelidiki dugaan kecurangan di pemilihan presiden (pilpres)," demikian ditulis peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu dikutip dari Kompas.id, Senin (4/3/2024).
Dari analisis Yohan, berdasarkan survei itu, sikap ini tidak hanya ditunjukkan kelompok responden yang tahu dan mengikuti isu tersebut. Melainkan juga dinyatakan oleh mereka yang tidak tahu atau tidak mengikuti pemberitaan terkait hak angket. Sebaliknya, mereka yang tidak setuju DPR menggunakan hak angket sebesar 33 persen. Sementara yang tidak tahu atau tidak menentukan pilihan sebanyak 4,8 persen.
Menanggapi hasil jejak pendapat Kompas itu, aktvis 80-an asal Yogyakarta, Eko S Dananjaya menyatakan, fakta yang terjadi dari banyak orang yang ditemui di lapangan memang seperti itu. Ada ketidakpuasan dari mayoritas rakyat atas penyelenggaraan Pemilu yang diduga banyak sekali kecurangan yang menguntungkan paslon tertentu.
Di sisi lain, hak angket merupakan hak parlemen atau wakil rakyat di DPR RI. “Ketika mayoritas rakyat merasa ada persoalan, misalnya dugaan kecurangan Pemilu 2024, wajar rakyat menitipkan harapan dan mendukung para wakilnya di DPR untuk menggelar hak angket,” kata Eko S Dananjaya pada Selasa, 5 Maret 2024.
Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta ini mengungkapkan, jika mayoritas rakyat atau 62 persen menginginkan hak angket, maka sebaiknya DPR bisa mewujudkannya. Jika DPR merespons sebaliknya atau tidak melakukan hak angket, mayoritas rakyat akan kecewa.
“Jadi hak angket ini bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap partai dan DPR, yang selama ini mengalami penurunan. Ini momentum bagi DPR untuk memperbaiki kepercayaan publik tersebut,” jelasnya.
Namun memang hak angket DPR tergantung ketua partai politik masing-masing partai. Jika para ketua partai seperti PDIP, PPP dan Koalisi Perubahan (NasDem, PKB, dan PKS) solid dan sepakat bahwa ada kecurangan yang harus dikritis dan dilawan, maka hak angket bakal melenggang.
Usul Hak Angket Menguat
Pada prinsipnya usulan penggunaan hak angket oleh DPR disebabkan penyelenggaraan pemilu yang jauh dari prinsip demokrasi, jujur dan adil. Selain itu, juga karena adanya sederet pelanggaran konstitusi dan etika yang dilakukan oleh rezim Presiden Jokowi.
Pendapat ini disampaikan dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah, Dr. Suprapto. Pernyataan ini merespons atas menguatnya usulan hak angket oleh DPR RI guna mengungkap dugaan tindak kecurangan Pemilu 2024.
Menurut Dr. Suprapto, indikasi adanya penyelenggaraan pemilu yang curang terjadi dalam beberapa tahap. Yakni sedari awal sebelum pemungutan suara, saat coblosan, bahkan setelah pelaksanaan Pemilu 14 Februari 2024.
“Dugaan kecurangan tampak sekali terlihat dalam beberapa tahapan pemilu. Baik sebelum pelaksanaan pemilu, saat pemilu dan setelah pelaksanaan pemilu pada tanggal 14 Februari 2024,” tutur Suprapto.
Lebih jauh dia menyatakan, berbagai tindak kecurangan dilakukan dengan berbagai strategi. Seperti penggunaan anggaran dengan mengatasnamakan bantuan sosial (bansos). Di mana, bansos itu dibagikan kepada calon pemilih untuk memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu.
“Dari sini terlihat ada masyarakat yang benar-benar miskin, yang seharusnya mendapat bantuan sosial berupa uang dan sembako justru tidak mendapatkan. Ini ironi yang jelas tampak di depan mata,” tegasnya.
Demikian pula pada saat rekapitulasi penghitungan suara, kata dia, setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) maksimal hanya sekitar 300 DPT (Daftar Pemilih Tetap). Tapi nyatanya ada yang melebihi jumlah 300 suara pada saat rekapitulasi.
“Dan tidak kalah uniknya lagi quick count. Penghitungan cepat sudah dijadikan dasar kemenangan bagi salah satu paslon untuk merayakan kemenangan. Padahal rekapitulasi di TPS-TPS ada yang baru selesai menjelang subuh,” tandas Suprapto. SSC/KBA/Kompas