Dari Robohnya Surau Kami Hingga Huck Finn Ber-Jubah Panjang di Peternakan Hewan

AA NAVIS DI ANTARA SATIRIS DUNIA

Rabu, 06/12/2023 08:08 WIB
E.S. Ito ((foto kompas.com)

E.S. Ito ((foto kompas.com)

OLEH E.S. ITO (Penulis)

 

Kira-kira sepuluh tahun yang silam, kami berkenalan dengan keluarga mendiang Ali Akbar Navis  melalui cucu beliau Aditi yang saat itu sedang kuliah di Universitas Padjadjaran. Aditi  memperkenalkan kami pada om-nya, Uda Rinto Amanda. Setelah itu kami disambut hangat oleh anak-anak beliau yang lain ; Uni Dini Akbari, Uni Lusi Bebarsari, Uda Dedi Andika, Uni Lenggogini,  Uni Rika Anggraini dan Uni Gemala Ranti. Dan tentu saja kami berkenalan dengan ibu Aksari Jasin  yang dipanggil Mami oleh anak-anak yang menyayanginya. Sulit untuk memutuskan apakah  warisan terbesar AA Navis adalah karya-karyanya atau kehangatan keluarga yang terus terjaga.

Janji Yang Belum Ditepati

Perkenalan itu bukan tanpa sebab. Saat itu saya dan Issac Zikri berencana untuk mengangkat  cerpen Robohnya Surau Kami ke layar lebar. Keluarga AA Navis terutama Ibu Aksari menyambut  ide itu penuh suka cita. Dan kami juga sangat percaya diri sebab setahun sebelumnya baru saja  memproduksi film Republik Twitter. Dorongan untuk mengejar right Robohnya Surau Kami itu  muncul ketika Issac memperkenalkan saya dengan sutradara Malaysia Dain Said bersama  produser Nandita Salomon. Tercetus rencana untuk membuat karya bersama dan saya  mengajukan adaptasi cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis.

Saya tidak ingat kapan pertama kali membaca Robohnya Surau Kami. Mungkin dalam buku-buku  pelajaran Bahasa Indonesia terbitan CV Usaha Ikhlas Bukittinggi di kala SD atau SMP. Tetapi saya ingat betul kapan cerpen itu menjadi obsesi. Tahun 2004 ketika saya mulai serius menggeluti  dunia penulisan, Robohnya Surau Kami saya jadikan model untuk menulis novel berjudul Lapau  dan Rezim Surau. Saya menyontek habis-habisan gaya penulisan AA Navis dan hasilnya seperti  karya-karya awal saya lainnya, novel itu ditolak oleh penerbit. Almarhum Wisran Hadi jauh lebih  sukses ketika memperkenalkan “Simpang Persiden” dengan gaya Robohnya Surau Kami dalam  novelnya yang memikat Persiden.

Dua tahun setelah wafatnya AA Navis, tepatnya tahun 2005, Penerbit Buku Kompas menerbitkan  Antologi Lengkap Cerpen AA Navis yang memuat 68 cerpen yang ditulis sejak tahun 1955 sampai  dengan 2002. Buku tebal itu kemudian jadi koleksi saya bersama dengan kumpulan esai  Goenawan Mohamad, Kata Waktu. Kala itu saya punya sahabat sepemikiran soal sastra bernama  Arif Fiyanto. Model-model manusia yang diangkat AA Navis dalam cerpen-cerpennya selalu jadi  topik perdebatan kami. Tidak hanya Haji Saleh, Kakek dan Ajo Sidi. Tetapi juga Ompi yang menanti  anak kebanggaannya. Pak Kari yang terobsesi dengan topi helm Pak O.M. Baginda Ratu yang  berlari-lari anjing. Dan tentu saja Effendi alias Pendi Maja yang mudah bersalin rupa. Sampai  sekarang, saya dan Arif masih saling tuding soal siapa yang lebih mirip Pendi Maja.

Sejujurnya saya lupa, apakah buku antologi itu dibeli oleh Arif Fiyanto kemudian saya pinjam dan  jadi koleksi saya. Atau sebaliknya, buku itu saya yang membelinya dan Arif tidak pernah  mengembalikannya. Satu hal yang pasti ketika di tahun 2013 keluarga mendiang AA Navis  mempercayakan right cerpen itu untuk difilmkan, saya tidak lagi memiliki buku antologi lengkap  68 cerpen itu. Saya pun tidak berusaha mencari atau membelinya karena terjebak dalam  kepercayaan diri palsu bahwa saya bisa melakukan tafsir bebas terhadap cerpen Robohnya Surau  Kami tanpa perlu membaca karya-karya lainnya. Rupanya ada yang lebih parah dari kehilangan  buku yaitu kehilangan gairah untuk membaca. Dan itu membuat kita amnesia, benar-benar lupa  bahwa esensi dari sastra adalah kegembiraan. 

Perlahan proyek film itu memang berjalan. Sahabat saya, Issac Zikri jungkir balik mengumpulkan  dana untuk persiapan produksi film Robohnya Surau Kami. Dain Said dan Nandita Salomon tidak kenal lelah mendiskusikan draf demi draf skenario yang saya tulis. Tetapi apa yang saya tulis  semakin jauh dari semangat Robohnya Surau Kami. Seolah-olah hanya judulnya yang dipinjam  untuk pembuatan film itu. Belakangan ketika saya baca lagi draft akhir skenario Robohnya Surau  Kami, rasanya lebih mirip dengan gaya roman Buya Hamka. Tafsir bebas terhadap Robohnya  Surau Kami akhirnya membuat saya terjun bebas.

Sekarang saya bersyukur, kami belum berhasil mendapatkan investor untuk produksi film  Robohnya Surau Kami. Sudah sewajarnya tidak ada yang tertarik dengan naskah film itu karena  dikerjakan dengan kepercayaan diri palsu. Sebuah keyakinan yang bersumber pada penyangkalan  terhadap kejeniusan tokoh di balik karya itu. Andai saja film itu berhasil diproduksi dan tayang,  saya tidak tahu bagaimana menghadapi cimeeh AA Navis di akhirat nanti. Biarlah untuk sekarang jadi janji yang belum ditepati pada keluarga yang menaruh harapan tinggi.

Menemukan AA Navis Dalam Karyanya

Indra Jaya Piliang, mentor saya dalam penulisan populer, sekali waktu pernah mengatakan ;  sebuah karya akan menjadi sampah bagi penulisnya ketika sudah dipublikasikan. Dulu di tahun  2007 saya masih sulit mencernanya. Tetapi kemudian seiring berjalannya waktu dan mandegnya  saya dalam menghasilkan karya baru, perlahan saya paham. Seorang penulis tidak boleh terjebak  pada karya sebelumnya apalagi mengglorifikasi diri sendiri sehingga terjebak dalam narsisme akut. Anggap saja karya yang sudah dipublikasikan tidak pernah ada sehingga setiap kali menulis  karya baru gelora semangatnya akan terasa seperti cinta pertama.

Cinta pertama itulah yang kembali saya rasakan justru ketika saya sudah mengubur mimpi untuk  memfilmkan Robohnya Surau Kami. Tahun ini saya kembali menekuni buku-buku. Coba menulis  dalam ingatan dan harapan. Saya membaca lagi karya-karya AA Navis, awalnya saya jadikan untuk  perbandingan. Tetapi semakin saya membaca, saya merasa apa yang saya tulis semakin tidak  berarti. Saya yang terbiasa membuat cerita yang kompleks hanya untuk menunjukkan  pengetahuan yang luas berhadapan dengan sosok yang punya pengalaman kompleks tetapi mampu menceritakannya secara sederhana. Alam semesta, ucap Issac Newton, suka dengan  kesederhanaan. Steve Jobs mengamininya dengan kata-kata, kesederhanaan adalah puncak dari  kejeniusan. Dan AA Navis, -meminjam moto PT Semen Padang-, sudah berbuat sebelum saya  memikirkannya.

Kompleksitas hidup Ali Akbar Navis sudah menjadi garis takdir. Dia lahir di tengah-tengah  keluarga pekerja Kereta Api di zaman Belanda. Darah yang mengalir di tubuhnya berakar dari  Minang, Jawa hingga Bengkulu. Tubuhnya kecil menjadikannya alot pantang diremehkan.  Menempuh pendidikan hingga tingkatan SMP di sekolah nasionalis partikelir INS Kayutanam.  Sempat bekerja di pabrik porselen pada masa Jepang tetapi juga aktif dalam kegiatan sandiwara. 

Di masa revolusi kemerdekaan pernah jadi broker candu sehingga para pejuang bisa  mendapatkan senjata. Pegawai jawatan kebudayaan yang mengasah keterampilan menulisnya  lewat sandiwara radio. Penulis muda yang terjebak dalam perang saudara ketika bermukim di  sekitar Danau Maninjau. Politisi partai penguasa tetapi lantang bersuara di masa Orde Baru. Dan  tokoh masyarakat yang memilih tinggal di kampung halaman tetapi justru menginisiasi perantau  dalam Gerakan Seribu Minang.

Jika riwayat hidup itu terlalu panjang maka saya bisa bisa sederhanakan bahwasanya Ali Akbar  Navis adalah seorang penulis pejuang cum budayawan politik. Kita selama ini percaya bahwa  pengalaman guru terbaik. Tetapi bagi AA Navis, pengalaman adalah lelucon terbaik untuk  diceritakan. Hampir semua cerpen dan novel yang ditulis oleh AA Navis bersumber dari  pengalaman pribadinya. Itu sebabnya kita merasakan kedekatan dengan tokoh-tokoh yang  diceritakan sebab mereka adalah orang-orang nyata yang diseret AA Navis dalam semesta yang  dipermainkannya. Maka pahit getir pengalaman hidup itu melahirkan satire yang  dimanifestasikan lewat bahasa sindiran atau cimeeh. AA Navis membungkusnya dalam  kesederhanaan sebab buat apa berpanjang-panjang kata jika dalam satu pukulan pembaca bisa  K.O dibuatnya.

AA Navis lihai menempatkan dirinya dalam cerita. Seringkali dia bercerita dengan kata ganti  orang pertama, Aku. Dalam beberapa cerpen seperti Kisah Seorang Hero, Ganti Lapik, Cina Buta,  Cerita Tiga Malam, Ibu, Datangnya Sepucuk Surat atau Sepasang Jas Dari Menteri, “Aku” muncul  sebagai karakter utama. Sementara dalam cerpen lainnya seperti Pada Pembotakan Terakhir,  Anak Kebanggaan, Man Rabbuka, Baginda Ratu, Kisah seorang Amir hingga Effendi, “Aku”  menjadi karakter pendukung. Walaupun karakter Aku berbeda peran antara satu cerpen dengan  cerpen lainnya tetapi AA Navis konsisten dengan sinismenya. Tidak satu karakter pun aman dari  cimeeh nya termasuk dirinya sendiri.

Tetapi yang membuat AA Navis jenius di mata saya adalah ketika dia menyelipkan dirinya pada  nama-nama karakter dalam cerpennya. Misalnya dalam Robohnya Surau Kami ; karakter Aku  sekilas mewaliki penulisnya padahal karakter Ajo Sidi lebih mewakili AA Navis. Dia menjadi  Hasibuan dalam cerpen Nasihat-Nasihat hanya untuk menertawakan watak generasi tua. Dalam  cerpen Penolong dia menjadi karakter Sidin berbekal pengalaman menolong korban kecelakaan  kereta api di masa Jepang. Yang cukup menggelikan AA Navis seringkali unjuk diri terang terangan sebagai karakter Dali di beberapa cerpen dengan latar perang kemerdekaan. Dali atau  Uda Ali, demikianlah adik-adiknya memanggil AA Navis. Kita bisa menemukan karakter Dali  antara lain dalam cerpen Si Bangkak, Laporan, Sang Guru Juki dan Si Montok. Maka Dali pun  menjadi satiris ulung dalam ironi revolusi kemerdekaan.

Jika cerpen menjadi taman bermain untuk AA Navis maka lain halnya dengan karya non fiksi.  Dalam buku Alam Takambang Jadi Guru, dia mengambil jarak layaknya seorang pengamat yang  melihat taman lewat teropongnya. Pada buku yang membahas sejarah, filosofi, adat istiadat  hingga karakter masyarakat Minangkabau itu, AA Navis menjadikan orang Minang sebagai subjek  yang dia sebut “mereka”. Sebagai penulis dia mengambil jarak dari subjek yang  diketengahkannya sehingga pembaca tidak perlu merasakan kehadirannya. Menjadi observer,  tulis Taufik Abdullah dalam pengantar buku. Akibatnya kita yang membaca tanpa sadar menjadi  bagian dari buku yang kita baca.

Jarak itu jadi menyempit manakala kita membaca catatan, makalah dan esay AA Navis yang  terhimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Topik yang diketengahkan dalam buku ini  mencakup spektrum yang luas mulai dari isu seputar Minangkabau, kesusasteraan, budaya dan  agama hingga sosial politik. AA Navis tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pengamat  melainkan sebagai pelaku aktif dari setiap topik yang diangkatnya. Kiprah AA Navis sebagai  seorang penulis hanya secuil dari peran-peran kemanusiaan lainnya yang dia mainkan. Dia  memanfaatkan ketokohannya untuk mengambil inisiatif-inisiatif kemasyarakatan. AA Navis bukanlah, menyitir W.S Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, penyair-penyair salon yang  bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.

Upaya menemukan AA Navis tentu tidak lengkap tanpa membaca buku Otobiografi AA Navis  Satiris & Suara Kritis Dari Daerah yang disusun oleh Abrar Yusra. Sebagai tukang cimeeh kawakan,  AA Navis sepertinya tidak ingin mendapat cimeeh karena sibuk membicarakan dirinya sendiri.  Mungkin itu sebabnya selain menceritakan perjalanan hidup AA Navis, buku itu juga memuat  testimoni tokoh-tokoh penting nasional dan lokal yang memvalidasi rekam jejaknya. Pada  penutup catatan hidupnya, AA Navis masih sempat melemparkan satire ; ..ironi? tidak. Cuma  bakat alam tanah airku Indonesia. Di mana orang digelari pahlawan besar setelah ikut perang  kecil-kecilan, di mana orang jadi multimilyuner sambil bersantai-santaian, dimana hukum dibuat  untuk hukuman, di sana seni dicipta untuk ketenaran.Satire itu menjadi realitas yang kita hadapi sekarang ini.

Setelah saya membaca kembali AA Navis tentu timbul pertanyaan, bagaimana nasib skenario  Robohnya Surau Kami? Padahal naskah lama sudah saya kubur dalam-dalam. Saya mengubah  cara pandang bahwasanya Robohnya Surau Kami bukan sekedar cerita pendek, juga bukan  kumpulan cerpen melainkan sebuah semesta dimana cerita-cerita lainnya, termasuk karya non  fiksi AA Navis ikut membentuknya. Maka saya tidak perlu melakukan tafsir bebas terhadap cerpen itu karena jawaban yang saya butuhkan berserakan dalam karya-karya AA Navis. Saya  hanya perlu membangun jembatan hipotesa sehingga menjadikan segala sesuatunya masuk akal.  Dengan cara itu, naskah yang dulu pernah saya tekuni selama bertahun-tahun, hanya perlu waktu  lima hari untuk menyelesaikannya. Saya kembali merasakan kegembiraan dalam berkarya  sebagaimana saya ungkapkan pada Uda Dedi dan Uni Ranti.

Jujur saja, skenario film Robohnya Surau Kami tidak lagi menantang karena dahaga saya nyaris  terpenuhi. Saya malah menemukan tantangan baru ketika membersihkan rak buku saya yang  berdebu. Saya menemukan tiga karya di antara koleksi buku saya yang tidak banyak ;  Petualangan Huckleberry Finn karya Mark Twain, Jubah Panjang karya Nikolai Gogol dan  Peternakan Hewan oleh George Orwell. Saya membaca ulang buku-buku itu untuk  membangkitkan ingatan dari rusaknya memori akibat hal-hal tidak perlu. Tiga penulis dunia itu  dikenal sebagai satiris ulung, tukang cimeeh kaliber internasional. Kalau lah benar idiom dalam  bahasa inggris yang mengatakan, great mind think alike, bisakah AA Navis kita letakkan di antara  para pesohor itu? Ad Astra, kata orang Romawi dulu, menuju bintang-bintang.

Lewat novel yang ditulisnya pasca perang sipil Amerika dan era abolisi perbudakan setengah hati,  Mark Twain memperkenalkan kita pada karakter remaja jenaka dengan kehidupan getir,  Huckleberry “Huck” Finn. Kehidupan Huck, - karakter yang awalnya diperkenalkan dalam novel  Petualangan Tom Sawyer,- penuh dengan ironi. Saat tinggal bersama Janda Douglas dan Nona  Watson, Huck menceritakan bagaimana kemajuannya di sekolah penuh semangat, “...dan aku  sudah bisa sedikit mengeja, membaca dan menulis, serta menyebutkan tabel perkalian 6 X 7  sama dengan 35....”. Sungguh satire yang memikat dari seorang remaja bandel yang terpaksa  duduk di bangku sekolah.

Sebelum melakukan petualangan menyusuri sungai Missisipi bersama budak tua Jim, Huck Finn  mendapati dunia orang dewasa yang penuh ironi. Mulai dari hakim Thatcher yang penuh welas  asih tetapi ingin menyalahgunakan uang milik Huck Finn, ayah Huck Finn yang pemabuk dan suka  menyiksa anaknya hingga Nona Watson yang penuh etika tetapi berniat menjual Jim. Huck Finn kabur dari ayahnya dengan pura-pura mati hanya untuk menemukan Jim, budak tua pembual,  sudah terlebih dahulu kabur ke pulau sepi di tengah sungai yang mempertemukan mereka. Huck  Finn yang merasa berhasil menipu orang-orang di St Petersburg, Missouri dengan kematiannya ternyata dalam perjalanan bertemu dengan dua penipu ulung Duke dan Dauphin. Melalui  petualangan inilah kita melihat potret moralitas, kemanusiaan dan nilai-nilai ke-Amerika-an yang  tengah dibentuk ulang.

Huck Finn mengingatkan saya pada karakter Effendi dalam cerpen Effendi AA Navis. Mark Twain  menjadikan kota-kota sepanjang sungai Missisipi sebagai penanda zaman. Ada kota dimana  perbudakan masih berlangsung, ada pula kota yang tak hendak beranjak dari zaman django , lain  lagi dengan daerah dimana permusuhan antar keluarga penuh darah dan tentu saja ada kota  impian dimana perbudakan sudah dihapuskan. Sementara AA Navis dalam cerpen Effendi  menjadikan peristiwa politik sebagai penanda zaman; revolusi kemerdekaan, pergolakan 1950- an, era orde lama hingga masa orde baru. Uniknya baik Huck Finn dan Effendi menggunakan  modus yang sama untuk bertahan hidup yaitu menggunakan nama samaran dalam situasi  berbeda. Huckleberry Finn pernah menyamarkan diri dengan nama-nama ; Sarah Marry Williams,  Charles William Albraigh, George Jackson hingga Adolphus. Sementara Effendi menjadi Majoindo ketika menikahi Si Noni, berubah jadi Pendi Maja di masa orla kemudian jadi Effendi Majo di masa  orba. Dengan cara itu, Huck dan Effendi keluar dari situasi sulit.

Cerita pendek Jubah Panjang karya Nikolai Gogol juga mengambil latar di kota Saint Petersburg  tetapi bukan di Missouri Amerika melainkan ibukota Rusia menjelang pertengahan abad ke-19.  Alkisah Akaky Akakievich seorang juru tulis rendahan di kantor pemerintah sepanjang hidupnya. Dia selalu menjadi olok-olok bahkan oleh pegawai yang jauh lebih muda darinya. Tetapi masalah  terbesar Akaky adalah jubah panjangnya yang sudah usang tidak sanggup lagi mengusir udara  dingin. Untuk mendapatkan jubah baru, Akaky harus berhemat sedemikian rupa sehingga bisa  memesannya dari penjahit bernama Petrovich. Jubah baru itu mengembalikan kepercayaan diri  Akaky tetapi naasnya pada suatu malam gerombolan preman merampas jas itu.

Dari sinilah satire itu menjadi getir. Akaky yang puluhan tahun mengabdikan diri pada pemerintah  justru dihinakan oleh otoritas ketika mengadukan persoalan. Mulai dari atasannya di kantor,  polisi hingga sesosok Jenderal yang mengusirnya dengan kasar. Mental Akaky lumpuh, bukan  karena kehilangan jas tetapi melihat bagaimana orang-orang memperlakukannya. Tidak lama dia  jatuh sakit kemudian meninggal dunia. Tidak ada yang menyadari kematian Akaky Akakievich  bahkan induk semang kontrakannya pun merasa tidak perlu memberitahu siapa-siapa. Kematiannya baru menjadi berita ketika warga kota resah oleh hantu gentayangan yang  membegal jubah orang-orang di malam hari. Hantu itu baru pergi setelah berhasil merampas  jubah sang Jenderal.

Manusia malang seperti Akaky Akievech mengingatkan saya pada tokoh Pak Ayub dalam cerpen  Pak Menteri Mau Datang karya AA Navis. Syahdan Pak Ayub datang dari dusun untuk mengurus  supletoir gajinya yang tidak kunjung dipenuhi. Masalahnya kantor jawatan yang dia datangi  tengah disibukkan oleh persiapan menyambut kedatangan seorang mentri. Kalikulah, kepala  jawatan, mengerahkan segala sumber daya untuk memberi kesan luar biasa pada Pak Menteri.  Akibatnya tidak seorang pun memedulikan Pak Ayub. Dari Pak Pono yang masuk rumah sakit,  kepala bagian keuangan yang membentaknya hingga Kalikulah yang menyuruh Pak Ayub pulang  ke neraka. Tiga hari lamanya Pak Ayub menunggui kantor jawatan hanya untuk mendapati  kenyataan bahwa Pak Menteri tidak jadi datang dan dia tidak kunjung mendapatkan haknya. Dia  terduduk lesu dan loyo membayangkan anak gadisnya yang hendak menikah. 

...Dan Pak Ayub, orang tua yang sudah berdinas pada negara lebih dari tiga puluh tahun serta  karena usianya, ia sudah menjadi orang yang penyabar dan penerima segala apa yang  ditimpakan ke atas perutnya oleh orang yang lebih muda, meski orang muda itu seusia  anaknya.”, tulis AA Navis menggambarkan nasib malang Pak Ayub. Bukankah demikian pula  Gogol melukiskan kemalangan yang menimpa Akaky Akievich?

Kira-kira berjarak 100 tahun setelah karya Nikolai Gogol, dunia sastra kembali diguncang oleh  satire berbentuk cerita alegori, The Animal Farm karya penulis Inggris George Orwell. Banyak yang menerjemahkan judulnya jadi Binatangisme tetapi saya lebih suka terjemahan harfiah,  Peternakan Hewan. Orwell yang pernah menjadi sukarewalan Brigade Internasional dalam  perang sipil Spanyol membangun kisah hewan-hewan di peternakan Manor milik Pak Jones yang  mengobarkan revolusi untuk mengusir pemiliknya. Ideolognya adalah seekor babi tua bernama  Mayor. Setelah Mayor mati tua, dua ekor babi bernama Napoleon dan Snowball berhasil  menggalang hewan-hewan lainnya untuk menggulingkan kekuasaan Pak Jones. 

Peternakan Manor itu berubah menjadi Peternakan Hewan dengan ideologi Binatangisme.  Ironisnya hewan-hewan yang merdeka dari penindasan itu lama kelamaan menindas satu sama  lainnya. Napelon menyingkirkan Snowball dengan tuduhan palsu. Lalu dia mengangkat babi-babi  lainnya pada posisi istimewa dengan beberapa anjing galak penjaga mereka. Sementara hewan hewan lainnya bekerja lebih keras dibanding masa-masa Pak Jones. Mudah ditebak, alegori ini  mengisahkan revolusi Bolshevik dan lahirnya Uni Sovyet. Lenin diwakili karakter Mayor.  Napoleon adalah Stalin dan Snowball tentu saja Trotsky yang terusir. Babi-babi di sekitar  Napoleon anggota politbiro Partai Komunis dan anjing penjaga adalah polisi rahasia NKVD.  Peternakan hewan adalah satire tajam tentang Uni Sovyet yang jauh dari mimpi-mimpi  perjuangan kelas.

Alegori memukau George Orwell membawa kita ke lapau Mak Lisut dalam cerpen AA Navis  berjudul Politik Warung Kopi. Lewat alegori telanjang ini, AA Navis memperkenalkan kita pada  karakter-karakter yang sering bertukar peran mewakili partai politik di masa itu. Seperti Mak  Caniago mewakili PKI, Mak Malin PSII, Mak Datuk PNI, Mak Muncak PSI dan ada juga Mak Gindo  wakil dari Partai Adat. Mak Lisut melemparkan topik ; Dan tujuan kemerdekaan ialah  kemakmuran. Sekarang perang telah habis. Tetapi kemakmuran juga belum tercapai. Dalam  novel Orwell, pertanyaan yang sama diajukan para hewan satu sama lain ketika mereka terus  mengalami kesengsaraan padahal mereka sudah merdeka dari penindasan manusia. Ketika  diskusi menemui jalan buntu, baik para hewan-hewan maupun gembong politik di lapau Mak  Lisut akan mencari kambing hitam untuk mengalihkan persoalan. Di peternakan hewan, Snowball  yang menjadi kambing hitamnya. Sementara di lapau Mak Lisut, kedatangan Ucin yang gila menyelamatkan mereka dari kebuntuan. Baik Snowball maupun Ucin menjadi satu-satunya  karakter logis yang berpijak pada realitas.

AA Navis terasa tidak asing di antara Mark Twain, Nikolai Gogol dan George Orwell. Karya-karya  mereka menunjukkan kegetiran zaman namun disampaikan dengan satir dan ironi yang kadang  menggelikan. Pada titik ini saya percaya AA Navis lewat karyanya telah mencapai bintang bintang. Biarlah semesta yang menentukan bintang mana yang paling terang. Great mind think  alike ; pikiran besar senantiasa mengarah pada kesimpulan yang sama.

AA Navis Dalam Kenangan

Saya belum pernah bertemu dengan AA Navis bahkan dalam keramaian sekalipun. Gairah saya  dalam dunia penulisan prosa baru dimulai ketika AA Navis tiada di tahun 2003. Andai saja kami  pernah bertemu tentu tidak sedikit hal yang saya tidak sependapat dengan AA Navis. Pikiran pikiran AA Navis tidak selamanya sejalan dengan apa yang kita pikirkan. Karya-karyanya masih  mungkin diperdebatkan dan itu memang sebuah keharusan. Tetapi AA Navis meninggalkan satu  warisan yang patut kita teladani yaitu anak-anak yang selalu berbinar manakala bercerita tentang  “papi” mereka.

Perasaan cinta seperti itu baru saya rasakan ketika ibu saya tiada beberapa bulan yang silam.  Setiap kali saya mengenang ibu dengan saudara-saudara, kami selalu berbinar bahagia  mengingat beliau. Orang baik yang merawat keluarga sepanjang hidupnya meninggalkan  kegembiraan yang abadi. Padahal pekerjaan menulis yang ditekuni AA Navis seringkali  menjauhkan penulisnya dari keluarga. Sebagaimana yang disuarakan oleh Milan Kundera dalam Book of Laughter and Forgetting ; Kita menulis buku karena anak-anak kita tidak tertarik dengan  (cerita) kita. Kita berbicara pada dunia yang asing karena istri-istri kita menyumbat telinganya  dari ucapan kita.

Sebagai satiris nomor wahid, AA Navis mancimeeh pikiran Kundera. Pada setiap karya yang  ditulisnya maka sang istrilah yang menjadi pembaca mula-mula. Aksari Jasin bukan seorang  penulis apalagi kritikus hebat tetapi raut wajahnya ketika membaca jauh lebih dipatenggangan AA Navis dibandingkan kritikan dari HB Jasin sekalipun. Dengan cara demikian sastra menjadi  bagian dari keseharian keluarga. Cimeeh yang mendunia jadi humor di meja makan. AA Navis  menulis untuk istri dan anak-anaknya. Itu sebabnya karya-karyanya begitu sederhana tetapi  sangat kuat dan memikat.

Ada jalan AA Navis untuk kita teladani. Bukan untuk jadi monumen bagi orang-orang yang tidak  kita kenal. Tetapi meninggalkan kegembiraan abadi untuk anak keturunan kita sehingga mereka  tidak kucar-kacir selamanya. Bukankah itu makna ucapan malaikat yang menggiring kembali Haji  Saleh ke neraka? *

Tulisan ini bagian dari materi Dialog Sastra Menyongsong 100 Tahun AA Navis dengan tema “Membaca Kembali AA Navis” di kampus Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Unand, Selasa, 5 Desember 2023

 



BACA JUGA