
E.S. Ito ((foto kompas.com)
OLEH E.S. ITO (Penulis)
Kira-kira sepuluh tahun yang silam, kami berkenalan dengan keluarga mendiang Ali Akbar Navis melalui cucu beliau Aditi yang saat itu sedang kuliah di Universitas Padjadjaran. Aditi memperkenalkan kami pada om-nya, Uda Rinto Amanda. Setelah itu kami disambut hangat oleh anak-anak beliau yang lain ; Uni Dini Akbari, Uni Lusi Bebarsari, Uda Dedi Andika, Uni Lenggogini, Uni Rika Anggraini dan Uni Gemala Ranti. Dan tentu saja kami berkenalan dengan ibu Aksari Jasin yang dipanggil Mami oleh anak-anak yang menyayanginya. Sulit untuk memutuskan apakah warisan terbesar AA Navis adalah karya-karyanya atau kehangatan keluarga yang terus terjaga.
Janji Yang Belum Ditepati
Perkenalan itu bukan tanpa sebab. Saat itu saya dan Issac Zikri berencana untuk mengangkat cerpen Robohnya Surau Kami ke layar lebar. Keluarga AA Navis terutama Ibu Aksari menyambut ide itu penuh suka cita. Dan kami juga sangat percaya diri sebab setahun sebelumnya baru saja memproduksi film Republik Twitter. Dorongan untuk mengejar right Robohnya Surau Kami itu muncul ketika Issac memperkenalkan saya dengan sutradara Malaysia Dain Said bersama produser Nandita Salomon. Tercetus rencana untuk membuat karya bersama dan saya mengajukan adaptasi cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis.
Saya tidak ingat kapan pertama kali membaca Robohnya Surau Kami. Mungkin dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia terbitan CV Usaha Ikhlas Bukittinggi di kala SD atau SMP. Tetapi saya ingat betul kapan cerpen itu menjadi obsesi. Tahun 2004 ketika saya mulai serius menggeluti dunia penulisan, Robohnya Surau Kami saya jadikan model untuk menulis novel berjudul Lapau dan Rezim Surau. Saya menyontek habis-habisan gaya penulisan AA Navis dan hasilnya seperti karya-karya awal saya lainnya, novel itu ditolak oleh penerbit. Almarhum Wisran Hadi jauh lebih sukses ketika memperkenalkan “Simpang Persiden” dengan gaya Robohnya Surau Kami dalam novelnya yang memikat Persiden.
Dua tahun setelah wafatnya AA Navis, tepatnya tahun 2005, Penerbit Buku Kompas menerbitkan Antologi Lengkap Cerpen AA Navis yang memuat 68 cerpen yang ditulis sejak tahun 1955 sampai dengan 2002. Buku tebal itu kemudian jadi koleksi saya bersama dengan kumpulan esai Goenawan Mohamad, Kata Waktu. Kala itu saya punya sahabat sepemikiran soal sastra bernama Arif Fiyanto. Model-model manusia yang diangkat AA Navis dalam cerpen-cerpennya selalu jadi topik perdebatan kami. Tidak hanya Haji Saleh, Kakek dan Ajo Sidi. Tetapi juga Ompi yang menanti anak kebanggaannya. Pak Kari yang terobsesi dengan topi helm Pak O.M. Baginda Ratu yang berlari-lari anjing. Dan tentu saja Effendi alias Pendi Maja yang mudah bersalin rupa. Sampai sekarang, saya dan Arif masih saling tuding soal siapa yang lebih mirip Pendi Maja.
Sejujurnya saya lupa, apakah buku antologi itu dibeli oleh Arif Fiyanto kemudian saya pinjam dan jadi koleksi saya. Atau sebaliknya, buku itu saya yang membelinya dan Arif tidak pernah mengembalikannya. Satu hal yang pasti ketika di tahun 2013 keluarga mendiang AA Navis mempercayakan right cerpen itu untuk difilmkan, saya tidak lagi memiliki buku antologi lengkap 68 cerpen itu. Saya pun tidak berusaha mencari atau membelinya karena terjebak dalam kepercayaan diri palsu bahwa saya bisa melakukan tafsir bebas terhadap cerpen Robohnya Surau Kami tanpa perlu membaca karya-karya lainnya. Rupanya ada yang lebih parah dari kehilangan buku yaitu kehilangan gairah untuk membaca. Dan itu membuat kita amnesia, benar-benar lupa bahwa esensi dari sastra adalah kegembiraan.
Perlahan proyek film itu memang berjalan. Sahabat saya, Issac Zikri jungkir balik mengumpulkan dana untuk persiapan produksi film Robohnya Surau Kami. Dain Said dan Nandita Salomon tidak kenal lelah mendiskusikan draf demi draf skenario yang saya tulis. Tetapi apa yang saya tulis semakin jauh dari semangat Robohnya Surau Kami. Seolah-olah hanya judulnya yang dipinjam untuk pembuatan film itu. Belakangan ketika saya baca lagi draft akhir skenario Robohnya Surau Kami, rasanya lebih mirip dengan gaya roman Buya Hamka. Tafsir bebas terhadap Robohnya Surau Kami akhirnya membuat saya terjun bebas.
Sekarang saya bersyukur, kami belum berhasil mendapatkan investor untuk produksi film Robohnya Surau Kami. Sudah sewajarnya tidak ada yang tertarik dengan naskah film itu karena dikerjakan dengan kepercayaan diri palsu. Sebuah keyakinan yang bersumber pada penyangkalan terhadap kejeniusan tokoh di balik karya itu. Andai saja film itu berhasil diproduksi dan tayang, saya tidak tahu bagaimana menghadapi cimeeh AA Navis di akhirat nanti. Biarlah untuk sekarang jadi janji yang belum ditepati pada keluarga yang menaruh harapan tinggi.
Menemukan AA Navis Dalam Karyanya
Indra Jaya Piliang, mentor saya dalam penulisan populer, sekali waktu pernah mengatakan ; sebuah karya akan menjadi sampah bagi penulisnya ketika sudah dipublikasikan. Dulu di tahun 2007 saya masih sulit mencernanya. Tetapi kemudian seiring berjalannya waktu dan mandegnya saya dalam menghasilkan karya baru, perlahan saya paham. Seorang penulis tidak boleh terjebak pada karya sebelumnya apalagi mengglorifikasi diri sendiri sehingga terjebak dalam narsisme akut. Anggap saja karya yang sudah dipublikasikan tidak pernah ada sehingga setiap kali menulis karya baru gelora semangatnya akan terasa seperti cinta pertama.
Cinta pertama itulah yang kembali saya rasakan justru ketika saya sudah mengubur mimpi untuk memfilmkan Robohnya Surau Kami. Tahun ini saya kembali menekuni buku-buku. Coba menulis dalam ingatan dan harapan. Saya membaca lagi karya-karya AA Navis, awalnya saya jadikan untuk perbandingan. Tetapi semakin saya membaca, saya merasa apa yang saya tulis semakin tidak berarti. Saya yang terbiasa membuat cerita yang kompleks hanya untuk menunjukkan pengetahuan yang luas berhadapan dengan sosok yang punya pengalaman kompleks tetapi mampu menceritakannya secara sederhana. Alam semesta, ucap Issac Newton, suka dengan kesederhanaan. Steve Jobs mengamininya dengan kata-kata, kesederhanaan adalah puncak dari kejeniusan. Dan AA Navis, -meminjam moto PT Semen Padang-, sudah berbuat sebelum saya memikirkannya.
Kompleksitas hidup Ali Akbar Navis sudah menjadi garis takdir. Dia lahir di tengah-tengah keluarga pekerja Kereta Api di zaman Belanda. Darah yang mengalir di tubuhnya berakar dari Minang, Jawa hingga Bengkulu. Tubuhnya kecil menjadikannya alot pantang diremehkan. Menempuh pendidikan hingga tingkatan SMP di sekolah nasionalis partikelir INS Kayutanam. Sempat bekerja di pabrik porselen pada masa Jepang tetapi juga aktif dalam kegiatan sandiwara.
Di masa revolusi kemerdekaan pernah jadi broker candu sehingga para pejuang bisa mendapatkan senjata. Pegawai jawatan kebudayaan yang mengasah keterampilan menulisnya lewat sandiwara radio. Penulis muda yang terjebak dalam perang saudara ketika bermukim di sekitar Danau Maninjau. Politisi partai penguasa tetapi lantang bersuara di masa Orde Baru. Dan tokoh masyarakat yang memilih tinggal di kampung halaman tetapi justru menginisiasi perantau dalam Gerakan Seribu Minang.
Jika riwayat hidup itu terlalu panjang maka saya bisa bisa sederhanakan bahwasanya Ali Akbar Navis adalah seorang penulis pejuang cum budayawan politik. Kita selama ini percaya bahwa pengalaman guru terbaik. Tetapi bagi AA Navis, pengalaman adalah lelucon terbaik untuk diceritakan. Hampir semua cerpen dan novel yang ditulis oleh AA Navis bersumber dari pengalaman pribadinya. Itu sebabnya kita merasakan kedekatan dengan tokoh-tokoh yang diceritakan sebab mereka adalah orang-orang nyata yang diseret AA Navis dalam semesta yang dipermainkannya. Maka pahit getir pengalaman hidup itu melahirkan satire yang dimanifestasikan lewat bahasa sindiran atau cimeeh. AA Navis membungkusnya dalam kesederhanaan sebab buat apa berpanjang-panjang kata jika dalam satu pukulan pembaca bisa K.O dibuatnya.
AA Navis lihai menempatkan dirinya dalam cerita. Seringkali dia bercerita dengan kata ganti orang pertama, Aku. Dalam beberapa cerpen seperti Kisah Seorang Hero, Ganti Lapik, Cina Buta, Cerita Tiga Malam, Ibu, Datangnya Sepucuk Surat atau Sepasang Jas Dari Menteri, “Aku” muncul sebagai karakter utama. Sementara dalam cerpen lainnya seperti Pada Pembotakan Terakhir, Anak Kebanggaan, Man Rabbuka, Baginda Ratu, Kisah seorang Amir hingga Effendi, “Aku” menjadi karakter pendukung. Walaupun karakter Aku berbeda peran antara satu cerpen dengan cerpen lainnya tetapi AA Navis konsisten dengan sinismenya. Tidak satu karakter pun aman dari cimeeh nya termasuk dirinya sendiri.
Tetapi yang membuat AA Navis jenius di mata saya adalah ketika dia menyelipkan dirinya pada nama-nama karakter dalam cerpennya. Misalnya dalam Robohnya Surau Kami ; karakter Aku sekilas mewaliki penulisnya padahal karakter Ajo Sidi lebih mewakili AA Navis. Dia menjadi Hasibuan dalam cerpen Nasihat-Nasihat hanya untuk menertawakan watak generasi tua. Dalam cerpen Penolong dia menjadi karakter Sidin berbekal pengalaman menolong korban kecelakaan kereta api di masa Jepang. Yang cukup menggelikan AA Navis seringkali unjuk diri terang terangan sebagai karakter Dali di beberapa cerpen dengan latar perang kemerdekaan. Dali atau Uda Ali, demikianlah adik-adiknya memanggil AA Navis. Kita bisa menemukan karakter Dali antara lain dalam cerpen Si Bangkak, Laporan, Sang Guru Juki dan Si Montok. Maka Dali pun menjadi satiris ulung dalam ironi revolusi kemerdekaan.
Jika cerpen menjadi taman bermain untuk AA Navis maka lain halnya dengan karya non fiksi. Dalam buku Alam Takambang Jadi Guru, dia mengambil jarak layaknya seorang pengamat yang melihat taman lewat teropongnya. Pada buku yang membahas sejarah, filosofi, adat istiadat hingga karakter masyarakat Minangkabau itu, AA Navis menjadikan orang Minang sebagai subjek yang dia sebut “mereka”. Sebagai penulis dia mengambil jarak dari subjek yang diketengahkannya sehingga pembaca tidak perlu merasakan kehadirannya. Menjadi observer, tulis Taufik Abdullah dalam pengantar buku. Akibatnya kita yang membaca tanpa sadar menjadi bagian dari buku yang kita baca.
Jarak itu jadi menyempit manakala kita membaca catatan, makalah dan esay AA Navis yang terhimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Topik yang diketengahkan dalam buku ini mencakup spektrum yang luas mulai dari isu seputar Minangkabau, kesusasteraan, budaya dan agama hingga sosial politik. AA Navis tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pengamat melainkan sebagai pelaku aktif dari setiap topik yang diangkatnya. Kiprah AA Navis sebagai seorang penulis hanya secuil dari peran-peran kemanusiaan lainnya yang dia mainkan. Dia memanfaatkan ketokohannya untuk mengambil inisiatif-inisiatif kemasyarakatan. AA Navis bukanlah, menyitir W.S Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.
Upaya menemukan AA Navis tentu tidak lengkap tanpa membaca buku Otobiografi AA Navis Satiris & Suara Kritis Dari Daerah yang disusun oleh Abrar Yusra. Sebagai tukang cimeeh kawakan, AA Navis sepertinya tidak ingin mendapat cimeeh karena sibuk membicarakan dirinya sendiri. Mungkin itu sebabnya selain menceritakan perjalanan hidup AA Navis, buku itu juga memuat testimoni tokoh-tokoh penting nasional dan lokal yang memvalidasi rekam jejaknya. Pada penutup catatan hidupnya, AA Navis masih sempat melemparkan satire ; ..ironi? tidak. Cuma bakat alam tanah airku Indonesia. Di mana orang digelari pahlawan besar setelah ikut perang kecil-kecilan, di mana orang jadi multimilyuner sambil bersantai-santaian, dimana hukum dibuat untuk hukuman, di sana seni dicipta untuk ketenaran.Satire itu menjadi realitas yang kita hadapi sekarang ini.
Setelah saya membaca kembali AA Navis tentu timbul pertanyaan, bagaimana nasib skenario Robohnya Surau Kami? Padahal naskah lama sudah saya kubur dalam-dalam. Saya mengubah cara pandang bahwasanya Robohnya Surau Kami bukan sekedar cerita pendek, juga bukan kumpulan cerpen melainkan sebuah semesta dimana cerita-cerita lainnya, termasuk karya non fiksi AA Navis ikut membentuknya. Maka saya tidak perlu melakukan tafsir bebas terhadap cerpen itu karena jawaban yang saya butuhkan berserakan dalam karya-karya AA Navis. Saya hanya perlu membangun jembatan hipotesa sehingga menjadikan segala sesuatunya masuk akal. Dengan cara itu, naskah yang dulu pernah saya tekuni selama bertahun-tahun, hanya perlu waktu lima hari untuk menyelesaikannya. Saya kembali merasakan kegembiraan dalam berkarya sebagaimana saya ungkapkan pada Uda Dedi dan Uni Ranti.
Jujur saja, skenario film Robohnya Surau Kami tidak lagi menantang karena dahaga saya nyaris terpenuhi. Saya malah menemukan tantangan baru ketika membersihkan rak buku saya yang berdebu. Saya menemukan tiga karya di antara koleksi buku saya yang tidak banyak ; Petualangan Huckleberry Finn karya Mark Twain, Jubah Panjang karya Nikolai Gogol dan Peternakan Hewan oleh George Orwell. Saya membaca ulang buku-buku itu untuk membangkitkan ingatan dari rusaknya memori akibat hal-hal tidak perlu. Tiga penulis dunia itu dikenal sebagai satiris ulung, tukang cimeeh kaliber internasional. Kalau lah benar idiom dalam bahasa inggris yang mengatakan, great mind think alike, bisakah AA Navis kita letakkan di antara para pesohor itu? Ad Astra, kata orang Romawi dulu, menuju bintang-bintang.
Lewat novel yang ditulisnya pasca perang sipil Amerika dan era abolisi perbudakan setengah hati, Mark Twain memperkenalkan kita pada karakter remaja jenaka dengan kehidupan getir, Huckleberry “Huck” Finn. Kehidupan Huck, - karakter yang awalnya diperkenalkan dalam novel Petualangan Tom Sawyer,- penuh dengan ironi. Saat tinggal bersama Janda Douglas dan Nona Watson, Huck menceritakan bagaimana kemajuannya di sekolah penuh semangat, “...dan aku sudah bisa sedikit mengeja, membaca dan menulis, serta menyebutkan tabel perkalian 6 X 7 sama dengan 35....”. Sungguh satire yang memikat dari seorang remaja bandel yang terpaksa duduk di bangku sekolah.
Sebelum melakukan petualangan menyusuri sungai Missisipi bersama budak tua Jim, Huck Finn mendapati dunia orang dewasa yang penuh ironi. Mulai dari hakim Thatcher yang penuh welas asih tetapi ingin menyalahgunakan uang milik Huck Finn, ayah Huck Finn yang pemabuk dan suka menyiksa anaknya hingga Nona Watson yang penuh etika tetapi berniat menjual Jim. Huck Finn kabur dari ayahnya dengan pura-pura mati hanya untuk menemukan Jim, budak tua pembual, sudah terlebih dahulu kabur ke pulau sepi di tengah sungai yang mempertemukan mereka. Huck Finn yang merasa berhasil menipu orang-orang di St Petersburg, Missouri dengan kematiannya ternyata dalam perjalanan bertemu dengan dua penipu ulung Duke dan Dauphin. Melalui petualangan inilah kita melihat potret moralitas, kemanusiaan dan nilai-nilai ke-Amerika-an yang tengah dibentuk ulang.
Huck Finn mengingatkan saya pada karakter Effendi dalam cerpen Effendi AA Navis. Mark Twain menjadikan kota-kota sepanjang sungai Missisipi sebagai penanda zaman. Ada kota dimana perbudakan masih berlangsung, ada pula kota yang tak hendak beranjak dari zaman django , lain lagi dengan daerah dimana permusuhan antar keluarga penuh darah dan tentu saja ada kota impian dimana perbudakan sudah dihapuskan. Sementara AA Navis dalam cerpen Effendi menjadikan peristiwa politik sebagai penanda zaman; revolusi kemerdekaan, pergolakan 1950- an, era orde lama hingga masa orde baru. Uniknya baik Huck Finn dan Effendi menggunakan modus yang sama untuk bertahan hidup yaitu menggunakan nama samaran dalam situasi berbeda. Huckleberry Finn pernah menyamarkan diri dengan nama-nama ; Sarah Marry Williams, Charles William Albraigh, George Jackson hingga Adolphus. Sementara Effendi menjadi Majoindo ketika menikahi Si Noni, berubah jadi Pendi Maja di masa orla kemudian jadi Effendi Majo di masa orba. Dengan cara itu, Huck dan Effendi keluar dari situasi sulit.
Cerita pendek Jubah Panjang karya Nikolai Gogol juga mengambil latar di kota Saint Petersburg tetapi bukan di Missouri Amerika melainkan ibukota Rusia menjelang pertengahan abad ke-19. Alkisah Akaky Akakievich seorang juru tulis rendahan di kantor pemerintah sepanjang hidupnya. Dia selalu menjadi olok-olok bahkan oleh pegawai yang jauh lebih muda darinya. Tetapi masalah terbesar Akaky adalah jubah panjangnya yang sudah usang tidak sanggup lagi mengusir udara dingin. Untuk mendapatkan jubah baru, Akaky harus berhemat sedemikian rupa sehingga bisa memesannya dari penjahit bernama Petrovich. Jubah baru itu mengembalikan kepercayaan diri Akaky tetapi naasnya pada suatu malam gerombolan preman merampas jas itu.
Dari sinilah satire itu menjadi getir. Akaky yang puluhan tahun mengabdikan diri pada pemerintah justru dihinakan oleh otoritas ketika mengadukan persoalan. Mulai dari atasannya di kantor, polisi hingga sesosok Jenderal yang mengusirnya dengan kasar. Mental Akaky lumpuh, bukan karena kehilangan jas tetapi melihat bagaimana orang-orang memperlakukannya. Tidak lama dia jatuh sakit kemudian meninggal dunia. Tidak ada yang menyadari kematian Akaky Akakievich bahkan induk semang kontrakannya pun merasa tidak perlu memberitahu siapa-siapa. Kematiannya baru menjadi berita ketika warga kota resah oleh hantu gentayangan yang membegal jubah orang-orang di malam hari. Hantu itu baru pergi setelah berhasil merampas jubah sang Jenderal.
Manusia malang seperti Akaky Akievech mengingatkan saya pada tokoh Pak Ayub dalam cerpen Pak Menteri Mau Datang karya AA Navis. Syahdan Pak Ayub datang dari dusun untuk mengurus supletoir gajinya yang tidak kunjung dipenuhi. Masalahnya kantor jawatan yang dia datangi tengah disibukkan oleh persiapan menyambut kedatangan seorang mentri. Kalikulah, kepala jawatan, mengerahkan segala sumber daya untuk memberi kesan luar biasa pada Pak Menteri. Akibatnya tidak seorang pun memedulikan Pak Ayub. Dari Pak Pono yang masuk rumah sakit, kepala bagian keuangan yang membentaknya hingga Kalikulah yang menyuruh Pak Ayub pulang ke neraka. Tiga hari lamanya Pak Ayub menunggui kantor jawatan hanya untuk mendapati kenyataan bahwa Pak Menteri tidak jadi datang dan dia tidak kunjung mendapatkan haknya. Dia terduduk lesu dan loyo membayangkan anak gadisnya yang hendak menikah.
“...Dan Pak Ayub, orang tua yang sudah berdinas pada negara lebih dari tiga puluh tahun serta karena usianya, ia sudah menjadi orang yang penyabar dan penerima segala apa yang ditimpakan ke atas perutnya oleh orang yang lebih muda, meski orang muda itu seusia anaknya.”, tulis AA Navis menggambarkan nasib malang Pak Ayub. Bukankah demikian pula Gogol melukiskan kemalangan yang menimpa Akaky Akievich?
Kira-kira berjarak 100 tahun setelah karya Nikolai Gogol, dunia sastra kembali diguncang oleh satire berbentuk cerita alegori, The Animal Farm karya penulis Inggris George Orwell. Banyak yang menerjemahkan judulnya jadi Binatangisme tetapi saya lebih suka terjemahan harfiah, Peternakan Hewan. Orwell yang pernah menjadi sukarewalan Brigade Internasional dalam perang sipil Spanyol membangun kisah hewan-hewan di peternakan Manor milik Pak Jones yang mengobarkan revolusi untuk mengusir pemiliknya. Ideolognya adalah seekor babi tua bernama Mayor. Setelah Mayor mati tua, dua ekor babi bernama Napoleon dan Snowball berhasil menggalang hewan-hewan lainnya untuk menggulingkan kekuasaan Pak Jones.
Peternakan Manor itu berubah menjadi Peternakan Hewan dengan ideologi Binatangisme. Ironisnya hewan-hewan yang merdeka dari penindasan itu lama kelamaan menindas satu sama lainnya. Napelon menyingkirkan Snowball dengan tuduhan palsu. Lalu dia mengangkat babi-babi lainnya pada posisi istimewa dengan beberapa anjing galak penjaga mereka. Sementara hewan hewan lainnya bekerja lebih keras dibanding masa-masa Pak Jones. Mudah ditebak, alegori ini mengisahkan revolusi Bolshevik dan lahirnya Uni Sovyet. Lenin diwakili karakter Mayor. Napoleon adalah Stalin dan Snowball tentu saja Trotsky yang terusir. Babi-babi di sekitar Napoleon anggota politbiro Partai Komunis dan anjing penjaga adalah polisi rahasia NKVD. Peternakan hewan adalah satire tajam tentang Uni Sovyet yang jauh dari mimpi-mimpi perjuangan kelas.
Alegori memukau George Orwell membawa kita ke lapau Mak Lisut dalam cerpen AA Navis berjudul Politik Warung Kopi. Lewat alegori telanjang ini, AA Navis memperkenalkan kita pada karakter-karakter yang sering bertukar peran mewakili partai politik di masa itu. Seperti Mak Caniago mewakili PKI, Mak Malin PSII, Mak Datuk PNI, Mak Muncak PSI dan ada juga Mak Gindo wakil dari Partai Adat. Mak Lisut melemparkan topik ; Dan tujuan kemerdekaan ialah kemakmuran. Sekarang perang telah habis. Tetapi kemakmuran juga belum tercapai. Dalam novel Orwell, pertanyaan yang sama diajukan para hewan satu sama lain ketika mereka terus mengalami kesengsaraan padahal mereka sudah merdeka dari penindasan manusia. Ketika diskusi menemui jalan buntu, baik para hewan-hewan maupun gembong politik di lapau Mak Lisut akan mencari kambing hitam untuk mengalihkan persoalan. Di peternakan hewan, Snowball yang menjadi kambing hitamnya. Sementara di lapau Mak Lisut, kedatangan Ucin yang gila menyelamatkan mereka dari kebuntuan. Baik Snowball maupun Ucin menjadi satu-satunya karakter logis yang berpijak pada realitas.
AA Navis terasa tidak asing di antara Mark Twain, Nikolai Gogol dan George Orwell. Karya-karya mereka menunjukkan kegetiran zaman namun disampaikan dengan satir dan ironi yang kadang menggelikan. Pada titik ini saya percaya AA Navis lewat karyanya telah mencapai bintang bintang. Biarlah semesta yang menentukan bintang mana yang paling terang. Great mind think alike ; pikiran besar senantiasa mengarah pada kesimpulan yang sama.
AA Navis Dalam Kenangan
Saya belum pernah bertemu dengan AA Navis bahkan dalam keramaian sekalipun. Gairah saya dalam dunia penulisan prosa baru dimulai ketika AA Navis tiada di tahun 2003. Andai saja kami pernah bertemu tentu tidak sedikit hal yang saya tidak sependapat dengan AA Navis. Pikiran pikiran AA Navis tidak selamanya sejalan dengan apa yang kita pikirkan. Karya-karyanya masih mungkin diperdebatkan dan itu memang sebuah keharusan. Tetapi AA Navis meninggalkan satu warisan yang patut kita teladani yaitu anak-anak yang selalu berbinar manakala bercerita tentang “papi” mereka.
Perasaan cinta seperti itu baru saya rasakan ketika ibu saya tiada beberapa bulan yang silam. Setiap kali saya mengenang ibu dengan saudara-saudara, kami selalu berbinar bahagia mengingat beliau. Orang baik yang merawat keluarga sepanjang hidupnya meninggalkan kegembiraan yang abadi. Padahal pekerjaan menulis yang ditekuni AA Navis seringkali menjauhkan penulisnya dari keluarga. Sebagaimana yang disuarakan oleh Milan Kundera dalam Book of Laughter and Forgetting ; Kita menulis buku karena anak-anak kita tidak tertarik dengan (cerita) kita. Kita berbicara pada dunia yang asing karena istri-istri kita menyumbat telinganya dari ucapan kita.
Sebagai satiris nomor wahid, AA Navis mancimeeh pikiran Kundera. Pada setiap karya yang ditulisnya maka sang istrilah yang menjadi pembaca mula-mula. Aksari Jasin bukan seorang penulis apalagi kritikus hebat tetapi raut wajahnya ketika membaca jauh lebih dipatenggangan AA Navis dibandingkan kritikan dari HB Jasin sekalipun. Dengan cara demikian sastra menjadi bagian dari keseharian keluarga. Cimeeh yang mendunia jadi humor di meja makan. AA Navis menulis untuk istri dan anak-anaknya. Itu sebabnya karya-karyanya begitu sederhana tetapi sangat kuat dan memikat.
Ada jalan AA Navis untuk kita teladani. Bukan untuk jadi monumen bagi orang-orang yang tidak kita kenal. Tetapi meninggalkan kegembiraan abadi untuk anak keturunan kita sehingga mereka tidak kucar-kacir selamanya. Bukankah itu makna ucapan malaikat yang menggiring kembali Haji Saleh ke neraka? *
Tulisan ini bagian dari materi Dialog Sastra Menyongsong 100 Tahun AA Navis dengan tema “Membaca Kembali AA Navis” di kampus Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Unand, Selasa, 5 Desember 2023