
Foto:informasiterpercaya.com
OLEH Suryadi—esais
‘PROJO’–singkatan dari ‘Pro Jokowi’ adalah sebuah fenomena politik yang menyimpang dalam sejarah politik Indonesia modern. Mengapa demikian? Sepanjang sejarah enam kepresidenan Indonesia sebelum Jokowi, fenomena seperti ini tidak pernah terjadi.
Di negara manapun di dunia, dalam sebuah pemilu, tentu rakyat berpihak atau memilih seorang kandidat presiden dan representatif partai(-partai) yang diwakilinya. Namun, itu hanya berlangsung sampai hari pencoblosan. Apabila seorang kandidat sudah terpilih dan diumumkan secara resmi, maka tidak ada lagi kelompok orang yang menyatakan diri pro kepada yang terpilih atau kepada yang tidak terpilih. Pemilu usai, pro-pro-an pun usai/bubar pula. Rakyat kembali bersatu dan Presiden yang terpilih muncul sebagai pemimpin untuk semua.
Anehnya, dalam kasus Jokowi, setelah dia turun dari kursi kepresidenan Indonesia, kelompok orang yang menamakan dirinya ‘Projo’ masih ada dan, seperti kita lihat sekarang, sudah mulai pula mencikaraui keputusan-keputusan politik yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto, menjadi ‘duri dalam daging’ bagi Pemerintah.
Juga sepanjang sejarah enam kepresidenan Indonesia –sejak Soekarno sampai Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – fenomena seperti ‘Projo’ ini tidak pernah ada. Ketika Soekarno (di)turun(kan) memang banyak protes muncul dari pendukungnya, tapi mereka yang mencintai Soekarno tidak sampai membentuk organisasi atau apapunlah wujudnya yang disebut ‘Prono’ (Pro Sukarno).
Saat Presiden Soeharto, yang begitu berkuasa selama menjadi presiden Indonesia, (di)turun(kan), banyak pendukungnya juga protes, tapi tidak sampai ada di antara mereka yang membentuk ‘Proto’ (Pro Suharto). Begitu juga, ketika B.J.Habibie turun, tidak ada yang membentuk ‘Probie’ (Pro B.J. Habibie). Pun ketika Gus Dur (di)turun(kan) dari kursi kepresidenan Indonesia, orang-orang NU dan pendukung Gus Dur dari unsur masyarakat lainnya tidak membentuk ‘Progus’ (Pro Gus Dur). Megawati Soekarnoputri pun demikian: saat dia turun dari kursi kepresidenan Indonesia, tidak ada di antara pengikut atau pemujanya yang membentuk ‘Promega’ (Pro Megawati). Dan saat SBY berhenti jadi Presiden Indonesia, tidak pula ada pendukungnya yang membentuk ‘ProSBY’ (Pro Susilo Mambang Yudhoyono).
Jadi, apa sebenarnya ‘Projo’ ini? Apakah ia organisasi massa yang memiliki badan hukum? Ataukah ini orgnasasi tanpa bentuk yang sengaja didisain untuk mengacaukan politik Indonesia? Secara hukum dan menimbang tata kehidupan sosial politik di Indonesia, apakah organisasi seperti ini dibenarkan hidup di negara ini? Kalau organisasi massa lainnya, seperti Pemuda Pancasila, GRIB, FPI dan lain-lain jelas secara keorganisasian dan fisik (dengan ciri pakaian tertentu), tapi ‘Projo’ tidak punya.
Jadi, ‘Projo’ yang asosiatif dengan apa yang disebut ‘Genk Solo’ adalah sebuah anomali – kalaulah tidak disebut deviant – dalam sejarah politik negara pasca kolonial yang disebut ‘Indonesia’. Enam presiden sebelumnya, dengan kesadaran penuh, menjadi ‘orang biasa’ setelah turun dari kursi kepresidenan Indonesia. Tapi Jokowi tidak meniru sifat baik dari para pendahulunya itu.
Mantan Presiden Indonesia yang satu ini, seperti sudah putus urat malunya, terus bertingkah dan bermanuver di ranah politik Indonesia, bahkan sampai merecoki dunia akademik dengan isu ijazah palsunya, seolah-olah dia tidak puas sudah menjabat 10 tahun sebagai Presiden Indonesia ke-7. Mengapa Jokowi begitu kemaruk kuasa, sehingga tega melakukan apa saja (termasuk kebohongan yang dilakukan berkali-kali), seolah-olah ada dendam sejarah yang membakar seluruh energi dalam tubuhnya? Apakah dia seorang dalang atau hanya boneka wayang?
Jika Jokowi seorang dalang, pembentukan ‘Projo’ tampaknya adalah salah satu taktiknya untuk terus merecoki pemerintahan suksesornya (Prabowo Subianto). Rakyat menyaksikan tingkah polah para ‘Projo’ ini di media sosial dan juga media konvensional (di talkshow-talkshow televisi, misalnya). Para ‘Projo’ ini berteriak-teriak, mengancam, bahkan membawa borgol segala, menghancurkan tradisi berpikir logis dan rasional dalam berdebat dan berdiskusi.
Ke depan, untuk menjaga tata sosial masyarakat Indonesia, kiranya perlu dibuat undang-undang yang tidak membolehkan seorang mantan Presiden membentuk ‘organisasi tanpa bentuk’ seperti ‘Projo’ ini, karena berpotensi mengganggu Pemerintah dan memecah-belah bangsa Indonesia. Jelas tidak ada manfaat organisasi seperti ini dilihat dari segi kepentingan nasional, selain hanya menimbulkan efek negatif kepada masyarakat. Mempertimbangkan hal ini, kiranya Presiden Prabowo Subianto harus membubarkan ‘Projo’ ini. Mereka mungkin lebih berbahaya dari FPI (yang sering berpartisipasi dalam aksi-aksi kemanusiaan di negara ini).
Jokowi mungkin bisa saja berkilah bahwa ‘Projo’ bukan bentukannya. Tapi, jika dia punya moral dan tanggung jawab sebagai mantan ‘pemimpin’ Indonesia, yang ingin diteladani oleh anak bangsa, dia tentu bisa membubarkan ‘Projo’ yang sering bikin kisruh di masyarakat ini.
Ke depan juga harus dirumuskan undang-undang untuk melarang seorang mantan presiden melakukan cawe-cawek politik. Kembalilah kita ke tradisi elok sebelumnya dimana, seperti saya sebutkan di atas, tak ada seorang pun dari ke-6 mantan Presiden Indonesia sebelum Jokowi yang berperilaku tercela dan tidak pantas ditiru seperti yang diperlihatkan oleh pribadi Jokowi.
Sebuah pesan dari penulis untuk Bapak Presiden Indonesia Prabowo Subianto: Jika Bapak nanti sudah berhenti jadi Presiden Indonesia, tirulah laku lampah enam mantan Presiden Indonesia yang pertama; jangan tiru tingkah laku Jokowi yang tak elok ini, yang tampaknya sangat haus kekuasaan, sehingga tega melakukan apapun (termasuk memperkosa hukum dan undang-undang) demi mempertahankan kekuasaan dan membagi-baginya dengan sanak familinya, walau mereka tidak memiliki kualitas untuk memegang jabatan politik tertentu.
Jadilah ‘warga biasa’ kembali, Pak Prabowo, yang dipandang dengan respek dan tetap dihormati rakyat Indonesia. Kembalikan tradisi sopan-santun politik kepresidenan Indonesia yang sudah diacak-acak oleh Jokowi. Dengan cara begitu, nama Bapak akan terpatri dalam kenangan manis di hati rakyat Indonesia.*
Leiden, September 2025
Catatan: Tulisan ini juga bisa dibaca di https://niadilova.wordpress.com/