![FEB 2](https://sumbarsatu.com/assets/foto/berita/23/07/25194016810700394.png)
FEB 2
Jakarta, sumbarsatu.com—Lembaga Demografi FEB UI memiliki program baru bertajuk diskusi dinamika kependudukan dengan berbagai tema yang diselenggarakan setiap bulannya.
Monthly Discussion ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk memperkuat jaringan antara para stakeholder, ahli kependudukan, dan para peneliti.
Monthly Discussion yang dilaksanakan pada Senin, 24 Juli 2023 mengangkat tema diskusi “Optimalisasi Peran Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan”.
Forum diskusi yang dimoderatori oleh I.G.A.A. Karishma Maharani ini menghadirkan Kepala Pusat Perencanaan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan RI, Dr. Muhammad Mustafa Sarinanto, M.Eng.
Di awal diskusi, Dr. Muhammad Mustafa Sarinanto, M.Eng. menyatakan bahwa secara umum Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) ditujukan sebagai pemicu (trigger) keberhasilan pembangunan yang bekerja sama dengan beberapa pihak antara lain Bappeda, Dinas Tenaga Kerja Provinsi/Kota, Badan Pusat Statistik, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi hingga Kota, dan Kementerian/Lembaga.
“Tahap pengukuran IPK itu sendiri diawali dari pengumpulan data, lalu dilanjutkan dengan validasi data, pengolahan data hingga finalisasi dan penetapan,” kata Muhammad Mustafa Sarinanto dalam relis yang diterima sumbarsatu, Selasa 25 Juli 2023.
Ia menjelaskan bahwa manfaat IPK dalam Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah lebih lanjut adalah untuk mengukur kualitas tata kelola pemerintah daerah dan perumusan kebijakan yang efektif. Kendati demikian, terdapat kendala dalam pengukuran IPK antara lain tidak tersedianya data kabupaten/kota dan OPD, perpindahan aparat dinas yang sangat cepat di lingkungan provinsi, kabupaten/kota, kurangnya koordinasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota khususnya berkaitan dengan data ketenagakerjaan
Ir. Zainul Hidayat, M.Si. peneliti Lembaga Demografi FEB UI memaparkan bahwa setelah dilakukan penelaahan pada hasil IPK tahun 2019-2020, terdapat selisih angka yang sangat besar hingga mencapai lebih dari 28 poin.
“Sementara nilai terendah IPK pada 2020 mencapai 38,5, di mana hal ini mencerminkan IPK sangat sensitif terhadap perubahan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan tidak terduga. Sebaliknya, dapat juga menghilangkan semangat untuk berubah menjadi lebih baik lagi,” tanggap Zainul Hidayat.
Ia lebih lanjut juga menyoroti terkait data perubahan ranking IPK Provinsi tahun 2019-2020. Dari data tersebut, dapat dipahami bahwa ranking/urutan seringkali menjadi daya tarik tersendiri dan mengandung prestise bagi pemerintah provinsi.
“Urutan ranking perlu mendapatkan perhatian karena dapat berdampak pada melemahnya interest pemprov dalam melaksanakan pembangunan ketenagakerjaan di wilayahnya,” tambahnya. SSC/REL