17 Tahun Lalu, Melawan Lupa Sejarah, dan Jokowi

Rabu, 13/05/2015 08:20 WIB
Kerusuhan Mei 1998 (Foto BBC)

Kerusuhan Mei 1998 (Foto BBC)

Tujuh belas tahun yang lalu, 21 Mei 1998. Puing-puing sisa kobar api sepekan lalu masih mengoyak langit di beberapa kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Padang. Bau daging terpanggang, menyengat  hidung. Bangunan rumah, toko, dan pusat-pusat belanja, tampak buram. Dan menghitam.

Dinding semula bersinar, kini bagai lukisan yang tak inspiratif. Sepi, menghitam, dan angker: Buah amuk yang keluar dari riwayat beradaban purbawi manusia. Massa marah entah pada siapa, entah apa yang menggerakan massa dengan mata merah menjarah, membakar, dan memperkosa. Sadis. Saat itu Indonesia sangat menangis. Tangis misteri. Semisteri peristiwa yang teramat tragis itu.

Berdasarkan laporan "Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998" yang dikeluarkan oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), setidaknya ada 1.217 jiwa yang meninggal, 91 orang luka, serta 31 orang hilang akibat Tragedi Mei yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei 1998.

Selain terjadi pembunuhan, juga terjadi kekerasan seksual pada masa itu. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 telah memverifikasi adanya 85 perempuan korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Tragedi Mei 1998 dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan dan penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual.

Hingga kini, belum jelas penyelesaian kasus ini. Desakan terhadap pemerintah agar kasus ini dituntaskan tak pernah henti.

Tepat 21 Mei 1998, mata bangsa ini—mata yang masih bengkak karena derai air mata yang tak henti—memelototi pesawat televis sosok yang melangkah menatap lantai menuju mikrofon. Tubuh yang dipelototi itu adalah Presiden Soeharto: Anak petani berhati milter telah menjadi orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun. Ia berpidato. Suaranya tidak setegar sebelumnya, tapi tetap melempar senyum yang terkenal itu. Dengan dialek, “kan” dibaca “ken”, dia mundur. Mahasiswa dan semua bangsa Indonesia sujud syukur. Ada sedikit senyum, tentu, itu tanda bahagia. Tapi, tak semua bisa seperti itu, ada yang manangis dan terisak, karena menyadari ada yang hilang dalam diri mereka: anak mereka tewas di ujung peluru aparat keamanan. Rumah dan lahan tempat menumpukan hidup keluaga besar telah kosong, dirampas dan dibakar. Ada anak gadis mereka yang menahan malu sepanjang hidup, meratap dan tak tahu apa mesti dibuat, ada juga yang hilang ditelan reruntuhan dan terpanggang.

Reformasi. Demikianlah setiap detik lantang terucap. Saat itu, 17 tahun lalu, bangsa ini seperti menarik garis jauh ke belakang, dan membuat demarkasi sebagai titik awal pada saat pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Ingin berubah, berniat jadi negara yang demokratis, dan mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia. Itulah harapan saat itu.

Kini Mei 2015. Sudah 17 tahun lamanya. Orang yang pada 21 Mei 1998 terpaksa meninggalkan kursi RI-1, kini telah tiada sejak 27 Januar1 2008. Soeharto, sudah dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang disangkakan kepadanya, termasuk kroni-kroninya.

Jika ia manusia, usia 17 tahun masa paling indah dalam hidup manusia. Namun begitu, beda dengan tumbuhnya reformasi itu. Reformasi tak seindah usianya. Tak sedikit yang kecewa dengan jalannya reformasi.

Sengkarut persoalan bangsa dan rakyat Indonesia, masih menggelantung. Angka kemiskinan terus bertambah. Rasa kebersamaan kian tergerus. Sumber daya alam alam dikeruk tanpa batas. Rakyat terus menerus jadi sasaran empuk produk impor. Bangsa Indonesia jadi pasar yang sangat menggiurkan.

Sementara itu, Presiden Jokowi terus mengubar-ubar janji pada rakyat Indonesia. Janji yang terkadang di luar nalar dan logika akal sehat. Dan 21 Mei tahun ini, gelombang demontrasi akan terus mengalir. Mengkritisi kebijakan Pemerintahan Jokowi.***



BACA JUGA