Penjara Muaro Padang pada abad ke-19. Foto nomor arsip KITLV 1404086 ,
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
"Pakansi" kali ini adalah jalan-jalan ke penjara Muaro Padang, penjara yang dibangun pada periode Kolonial Belanda. Penjara ini berlokasi di Jalan Muaro No 42 Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang dan sekarang dikenal dengan nama Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Muaro Padang.
Gambaran seram dan mengerikan tentang penjara yang pernah ditulis dalam arsip kolonial mengusik nalar untuk melangkah menelusuri jejak-jejak masa lalunya.
Identitas penjara yang seram dan mengerikan sesungguhnya sudah terbentuk sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bercokol di Indonesia. Hadir pertama kali di Batavia pada masa VOC, penjara diperuntukan bagi wanita tunasusila dan gelandangan yang suka mabuk-mabukan.
Pada akhir abad ke-19, seiring dengan penguatan kekuasaan kolonial, Pemerintah Belanda menggunakan misi pemberadaban untuk mengukuhkan kehadiran mereka di Bumi Pertiwi.
Dengan kata lain, Belanda menjadi penguasa tunggal yang berhak mengatur segala aspek kehidupan masyarakat termasuk mengadili dan memenjarakan para pribumi yang melanggar hukum.
Selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda membangun penjara di berbagai tempat, salah satunya adalah Penjara Muaro di Kota Padang. Arsitektur bangunan penjara dikelililingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi dengan kawat berduri di atasnya. Lingkungan penjara dijaga dengan ketat. Sipir penjara yang bersenjata api lengkap yang secara bergantian siap di pos penjagaan untuk mengawasi setiap narapidana.
Ruang-ruang kerja paksa juga disiapkan baik itu ruang kerja paksa yang berada di luar maupun di dalam penjara. Dengan arsitektur semacam ini, identitas penjara terbentuk dengan sendiri, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang berbahaya dan penjara adalah tempat penyiksaan yang kejam!
Menurut Foucault (1977) dalam Discipline And Punish: The Birth Of The Prison, pembentukan identitas melalui ruang arsitektur semacam ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menjadikan narapidana taat hukum dan sekaligus mengirim “signal” kepada masyarakat bahwa pemerintah kolonial memiliki kuasa untuk melakukan pengaturan publik.
Identitas sebagai orang berbahaya dan kriminal memberikan dampak panjang bagi narapidana. Masyarakat memandang negatif pada orang-orang yang berada di dalam penjara atau yang pernah dipenjara. Ketika mereka keluar dari penjara, cap mantan napidana (napi) sulit akan lepas pada diri mereka. Masyarakat masih beranggapan bahwa orang yang pernah dipenjara merupakan orang yang jahat dan harus dihindari dalam kehidupan bermasyarakat.
Setelah Indonesia merdeka berbagai regulasi ditelurkan. Salah satunya adalah regulasi yang tidak lagi menjadikan penjara sebagai leading penyiksaan namun sebagai leading perubahan ke arah yang lebih baik. Penjara sekarang berfungsi tidak hanya membuat jera orang-orang yang ditahan di dalamnya, namun juga menjadikan mereka warga binaan yang dipersiapkan untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat. Perlahan dengan pelaksanaan regulasi, kata sebutan narapidana pun menghilang berganti dengan warga binaan.
Dari hasil jalan-jalan ke Lapas Kelas II A Muaro Padang didapati situasi yang mendukung pada statemen di atas. Dengan moto “Masuk Napi, Keluar Santri” memberikan nuasa “adem” di dalamnya. Sejauh mata memandang, ruang-ruang lama bekas bangunan Belanda masih terlihat jelas di antara ruang-ruang baru yang ada. Ada ruang ibadah dan ruang terbuka diselingi taman.
Merujuk pada denah ruang yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, fungsi ruangan sudah banyak berubah.
Ruang kerja paksa sudah tidak ada lagi. Sekarang terdapat banyak ruang terbuka. Yang menarik adalah terdapat juga ruang workshop bagi narapidana. Ruang ini merupakan ruang pelatihan sekaligus ruang kerja. Di dalam ruangan tersebut terdapat ruang barbershop, ruang bakery, dan workspace untuk pembuatan furniture rumah tangga, sendal hotel, dan piring anyaman. Di ruang-ruang inilah diproduksi berbagai barang yang bisa menghasilkan income bagi narapidana.
Salah seorang dari mereka yang bergerak di bidang produksi sendal hotel mengungkapkan bahwa dalam sehari mereka mampu membuat 100 buah sendal hotel per orang. Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang bekerja di bidang piring anyam. Dari hasil barang yang diproduksi tersebut mereka mampu memenuhi kehidupan sehari-hari bahkan bisa membiayai keluarga mereka yang hidup di luar penjara.
Selain mendapatkan upah, kegiatan ini juga memberikan dampak positif lainnya. Salah satunya dirasakan oleh narapidana yang memiliki keahlian dalam mendesain dan membuat berbagai macam perabotan rumah tangga. Keahlian yang ia punya diajarkan kepada narapidana lainnya seperti membuat, kursi, meja, lemari, rak, hingga desain-desain interior ruangan. Hingga kini, telah banyak orang yang memesan perabotan kepada mereka termasuk hotel-hotel yang ada di Padang.
“Saya merasa belum menjadi manusia jika belum bermanfaat bagi manusia yang lain,” begitu ia berujar.
Pelan-pelan kalimat ini mengalir seolah ingin menghapus ruang hitam yang terlanjur ditulis oleh sejarah. Semoga.