Sarang Lebah Hutan di Kawasan Sialang, Nagari Latang (Foto Yethendra BP)
Liputan Yethendra Bima Putra (Jurnalis sumbarsatu.com)
Sijunjung, sumbarsatu.com--Periode 2011-2016 hutan hilang sekitar 15.000 hektare per tahun di Sumatra Barat. Dan periode 2017-2021 kerusakan berada di bawah 15.000 hektare per tahun. Kondisi itu berdampak kepada menurunnya habitat lebah hutan dan madu sialang--sebagaimana terjadi di Nagari Latang, Kabupaten Sijunjung. Padahal, lebah hutan atau Apis dorsata adalah polinator yang unggul. Lebih 80 persen tumbuhan membutuhkan penyerbukan.
Lima belas sarang lebah hutan berbagai ukuran di tebing cadas. Warnanya coklat kehitaman. Jaraknya dari permukaan tanah berkisar 20-30 meter. Kadang, koloni lebah hutan pekerja terbang dari salah satu sarang berburu nektar bunga. Di lain waktu, koloni lebah terbang memasuki sarang mengumpulkan madu.
Sarang Lebah Usai Panen (Foto Yethendra BP)
Tebing cadas itu tingginya sekitar 50 meter, ada cekungan yang cukup untuk berteduh saat hujan, terletak di tepi jalan kabupaten. Kawasan itu disebut Sialang, gapura alam menuju Nagari Latang dari Nagari Lubuk Tarok, Kecamatan Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat.
Nagari Latang seluas 20,80 kilometer persegi, atau 11,09 persen dari luas wilayah Kecamatan Lubuk Tarok (19.233 hektare) merupakan nagari petani madu lebah hutan atau madu sialang. Jenis lebahnya adalah Apis dorsata. Petani madu itu dipanggil tukang sialang.
Madu Sialang Nagari Latang (Foto Yethendra BP)
Apis dorsata yang liar, tidak seperti Apis cerana yang bisa dibudidayakan, menyusun sarang di tebing batu dan pohon besar yang bergetah ataupun licin seperti terap (Artocarpus odoratissimus), meranti (Shorea), beringin (Ficus benjamina), rengas (Gluta aptera), kapuk (Ceiba pentandra), dan lainnya.
Batu dan pohon yang dijadikan tempat menambatkan sarang oleh Apis dorsata itu, disebut batu sialang dan pohon sialang di Indonesia. Dan madunya disebut madu sialang.
Batu Sialang di Ngarai, Nagari Latang (Foto Yethendra BP)
Setelah melihat lima belas sarang lebah hutan di batu sialang itu, mata saya tertumbuk pada sarang lebah yang tergeletak di antara tanah, batu, daun kering, dan di antara tumbuhan. Beberapa anak lebah berjalan pelan di sarang itu dan lalat hijau mengerubunginya. Sekitar satu meter dari situ, sebatang buluh hijau terbelintang. Agaknya, prosesi panen madu sialang sudah berlangsung beberapa hari sebelumnya.
Di seberang batu sialang itu, di antara jalan kabupaten, Batang Air Sibakur mengalir. Hujan yang turun sejak petang hingga malam beberapa hari belakangan ini, membuat sungai itu berwarna coklat, Kamis siang, 9 Juni 2022.
Padahal Juni, bulannya kemarau di negeri tropis. BMKG mengingatkan musim kemarau 2022 pada 342 ZOM di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah diprakirakan mengalami awal musim kemarau 2022 pada kisaran April hingga Juni sebanyak 261 ZOM atau 76,3% dari 342 ZOM. Tapi apa daya, kini perubahan iklim terjadi. Cuaca tidak mudah diterka. Hujan tetap turun.
Meskipun begitu, letak Batang Air Sibakur yang dekat dengan batu sialang, strategis bagi habitat lebah hutan. Sebab Apis dorsata yang pakannya dari bunga-bunga hutan, juga memerlukan sumber air.
Saya melanjutkan perjalanan dengan motor matic, memudik Batang Air Sibakur, mencari madu sialang di Nagari Latang.
Selepas melintasi beberapa peladangan yang baru dibuka di kiri jalan dan di kanan di seberang sungai, saya melintasi hamparan sawah dengan padi yang menguning, padi yang makin berisi dan makin merunduk--panen akan segera tiba tentunya.
Alih Fungsi Hutan Jadi Perkebunan di Kecamatan Lubuk Tarok (Foto Yethendra BP)
Di Nagari Latang, luas persawahan 150 hektare dan luas perkebunan 550 hektare. Sementara itu, luas hutan produksi tetap 250 hektare dan hutan terbatas 150 hektare. Ketinggiannya 390 mdpl dan suhu rata-rata berkisar antara 24-32 C--suhu yang cocok bagi habitat lebah hutan. Ranah yang dilingkung bukit barisan ini dihuni 354 kepala keluarga. Umumnya mereka berprofesi sebagai petani.
Saya bertanya kepada seorang bapak tua yang sedang membelah buah pinang, di mana rumah Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Ingin Maju Jon Aprizal. Pinang merupakan salah satu komoditi perkebunan di Nagari Latang. Saat musim, panennya mencapai sekitar 4 ton per minggu.
Nagari Latang (Foto Yethendra BP)
Bapak itu mengatakan siang hari biasanya Jon Aprizal berada di kantor wali nagari, karena dia adalah Wali Nagari Latang. Saya disarankan untuk mendatangi kantor wali nagari.
Kelompok Tani Hutan (KTH) Ingin Maju adalah wadah bagi petani madu sialang di Nagari Latang. Kelompok tersebut dibentuk pada tahun 2010. Kala itu ada program pemberdayaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sijunjung--kini berganti jadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sijunjung, merupakan salah satu Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat.
"Produksi madu sialang dalam dua tahun terakhir ini mengalami penurunan. Mendapatkan 2,5 ton madu saja susah. Panen bulan lalu (Mei) hanya sekitar 300 kilogram. Panen madu sialang di Nagari Latang berlangsung Mei dan panen raya Oktober-November," ungkap Jon Aprizal (55 tahun), saat saya menemuinya di Kantor Wali Nagari Latang.
Kondisi tersebut, kata Jon Aprizal, berbeda dengan tahun 2015-2017. Dimana panen raya bisa mendapatkan 4 ton madu sialang dan per tahunnya 6 ton.
"Menurunnya produksi madu sialang karena eksploitasi hutan, seperti pembukaan lahan untuk peladangan dan semacamnya. Juga pengaruh iklim yang tak menentu," kata Jon Aprizal.
Ada nada tertahan pada kata "semacamnya" itu yang diucapkan oleh Jon Aprizal. Saya mafhum bahwa yang "semacamnya" itu merujuk kepada kondisi Kecamatan Lubuk Tarok yang merupakan kawasan logging. Puluhan sawmill (usaha pengolahan kayu) beroperasi. Kayunya dipasok dari wilayah tersebut dan sekitarnya. Legal logging ataupun illeggal logging setali tiga uang, asal ada pasokan.
Salah satu warga Kecamatan Lubuk Tarok mengatakan saat ini kayu besar mulai menipis di wilayah tersebut. Sehingga kayu dipasok dari daerah lain, seperti Nagari Sariak Laweh, Kabupaten Solok yang berbatasan dengan Nagari Kampung Dalam, Kecamatan Lubuk Tarok.
"Untuk penebangan kayu gadang (pembalakan liar) tak ada lagi di Nagari Latang. Dulu, memang ada. Tahun 1990-an ke bawah. Sekarang kayu gadang sudah jarang," ungkap Jon Aprizal.
Apis dorsata mencari pakan di hutan hingga 8 kilometer terbang secara lurus dan di waktu tertentu melakukan migrasi hingga ratusan kilometer. Kondisi deforestasi di Kecamatan Lubuk Tarok tentu berdampak kepada habitatnya dan menurunnya produksi madu sialang.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sijunjung, kawasan hutan di Kecamatan Lubuk Tarok mengalami penyusutan. Pada tahun 2015 luas kawasan hutan adalah 7.208,50 hektare, terdiri dari hutan lindung 5.109,20 hektare dan hutan produksi 2.099,30 hektare. Pada tahun 2021 luas kawasan hutan adalah 6.825,19, terdiri dari hutan lindung 4.786,55 hektare dan hutan produksi 2.038,64 hektare.
Sementara itu, Analisis Citra Sentinel-2 dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, luas tutupan hutan di Kecamatan Lubuk Tarok tahun 2017 lebih kurang 3.370 hektare dan tahun 2021 lebih kurang 3.095 hektare.
Jon Aprizal mengajak saya ke rumahnya, dimana terdapat mesin pengurangan kadar air dan pengemasan Madu Sialang Latang. Madu sialang memiliki kadar air 24-28 persen. Idealnya adalah 18 persen. Untuk itu, dilakukan proses pengurangan kadar air.
Di ruangan 4x6 meter itu terdapat mesin pengurangan kadar air model AHDT P1-R90 kapasitas 210-240 kilogram, untuk mengurangi kadar air hingga 20 persen. Prosesnya berdurasi 40-60 jam. Selain itu, mesin pengemasan, timbangan digital, botol plastik dan jerigen dengan berbagai ukuran.
"Mesin pengurangan kadar air ini sudah dua tahun tidak difungsikan karena pasokan madu sialang berkurang. Botol plastik dan jerigen untuk wadah madu sialang itu, saya beli tahun 2020, sekarang masih tersisa banyak," ujar Jon Aprizal.
Jon Aprizal mengatakan tahun 2020 ke bawah, Madu Sialang Nagari Latang cukup mengangkat nama Sumatra Barat. Melalui Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat, pernah dipesan 1.200 botol--kapasitas tiga setengah ons--oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di awal Pandemi Covid-19.
Pada tahun 2018 ada permintaan Madu Sialang untuk diekspor ke Singapura dan Hong Kong, minimal 1000 botol (300 kilogram) dan kadar air 18 persen. Namun, belum disanggupi oleh KTH Ingin Maju, karena kondisi produksi madu sialang mulai tidak stabil.
"Kalau tahun 2017 ke bawah kami berani menyanggupi permintaan ekspor itu. Sejak tahun 2018 masyarakat mulai banyak membuka ladang baru, hasil panen madu sialang menurun," kata Jon Aprizal.
***
Sarang Lebah Hutan di Ngarai, Nagari Latang (Foto Yethendra BP)
Kondisi menurunnya produksi madu sialang dan habitat lebah hutan tidak hanya dialami Nagari Latang. Tahun 2016, Jon Aprizal bersama petugas KPHL Sijunjung mendata madu sialang yang diambil. Ada 131 sialang batu dan pohon di Kabupaten Sijunjung. Namun, kata Jon Aprizal, saat ini mungkin tinggal 30 persen.
Sementara itu, penyusutan habitat lebah hutan terjadi di Sumatra Barat. Menurut peneliti Apis dorsata, Dr. Jasmi M.Si., tahun tahun 1980 hingga 1990 pernah satu pohon sialang mencapai 200-250 koloni atau sarang di Kabupaten Pasaman dan Sijunjung. Bahkan, tahun 1990 di Indrapura, Kabupaten Pesisir Selatan merupakan daerah penghasil madu sialang terbesar di Sumatra Barat. Akibat alih fungsi hutan jadi jadi perkebunan, permukiman, dan pembalakan liar membuat habitat lebah hutan menurun drastis.
"Ada dua macam Apis dorsata, yaitu agregasi (koloni) dan soliter. Yang terancam saat ini adalah agregasi karena deforestasi. Apis dorsata habitatnya di hutan yang menyediakan makanan yang banyak (nektar bunga)," kata Dr. Jasmi.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatra Barat Yozarwardi mengatakan luas kawasan hutan di Sumbar 2.286.883 hektare. Kewenangan provinsi sekitar 1.521.260 hektare. Periode 2011-2016 hutan hilang sekitar 15.000 hektare pe rtahun. Dan periode 2017-2021 kerusakan berada di bawah 15.000 hektare per tahun.
Deforestasi tersebut disebabkan oleh penebangan liar, perambahan untuk perkebunan, kebakaran, dan lain-lainnya.
Dari catatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, 6.968 hektare hutan di Sumbar rusak tahun 2021. Kerusakan itu terjadi di Dharmasraya 1.773 hektare, Solok 1.533 hektare, Solok Selatan 2.559 hektare, dan Sijunjung 1.103 hektare.
Menurut Dr. Jasmi, Apis dorsata merupakan polinator yang unggul. Lebih 80 persen tumbuhan membutuhkan penyerbukan, mengawinkan bunga jantan dan bunga betina. Oleh sebab itu, selain memiliki nilai ekonomis, Apis dorsata menjaga ekosistem hutan hujan tropis. Namun, saat ini belum ada regulasi melindungi habitat lebah hutan.
Kepala KPHL Sijunjung Yandesman menuturkan saat ini UPTD KPHL Sijunjung belum memiliki program konservasi lebah hutan dan madu sialang.
Sementara itu, KTH Ingin Maju Nagari Latang akan memanfaatkan lahan konservasi PLN 13,5 hektare di Nagari Latang--kompensasi penggunaan lahan untuk saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Di lahan konservasi itu terdapat pula batu sialang.
"Di lahan konservasi PLN itu kami menanam pohon yang bisa jadi pakan lebah hutan, salah satunya kopi. Bunga kopi bagus untuk pakan Apis dorsata," kata Jon Aprizal yang pernah mendapat pelatihan tentang lebah di Sumatra Utara pada tahun 2018.
***
Ketua KTH Ingin Maju Nagari Latang Jon Aprizal di Ruang Produksi Madu Sialang (Foto Yethendra BP)
Saat ini ada 4 batu sialang dan 2 pohon sialang di Nagari Latang. Dulunya, ada 7 pohon sialang. Namun, 5 pohon telah ditumbangkan angin.
Pada Senin (13/6/2022), saya diajak melihat sarang lebah hutan di batu sialang oleh Zein (54 tahun) di ladangnya di Ngarai, Nagari Latang.
Dari jalan kabupaten, kami menempuh jalan tanah mendaki yang hanya bisa ditempuh satu motor, sejauh sekitar satu kilometer, melewati ladang karet warga. Jika berselisih jalan dengan motor yang lain, terpaksa salah satu harus berhenti untuk memberi jalan kepada yang lain.
Ada 12 sarang lebah hutan di cekungan tebing cadas setinggi sekitar 40 meter di ladang Zein itu. Koloni lebah hutan itu menyusun sarang sekitar 20 meter dari permukaan tanah.
Zein mengatakan paling lambat tiga hari lagi sarang lebah hutan itu sudah harus dipanen. Kalau tidak, bakal malapeh awo (hilang) karena lebah tersebut terbang dan madunya susut.
Kesempatan bagi saya dalam waktu dekat ini untuk melihat prosesi panen madu sialang.
"Menantu saya juga tukang sialang. Rencananya dia yang akan memanen madu sialang di tebing itu. Saat ini dia lagi sibuk panen padi. Besok saya hubungi kalau jadi panen madu sialang itu," kata Zein.
Besoknya, Zein menghubungi saya dan bilang panen madu sialang di ladangnya tidak jadi karena anak dari menantunya dirawat di rumah sakit di Padang.
Menurut Jon Aprizal, bila musimnya, puluhan sarang lebah hutan di batu sialang maupun di pohon sialang. Beberapa tahun yang lalu, satu sarang bisa menghasilkan 7 sampai 11 kilogram madu. Sekarang susah mendapatkan 2 kilogram madu.
Jika madu sialang di ladang Zein itu dipanen oleh tukang sialang yang lain, hanya menghasilkan di bawah 30 kilogram. Biasanya yang memanen madu tersebut dilakukan sekitar 10 sampai 20 orang. Dengan demikian, hasilnya jauh dari memadai.
Pohon sialang dan batu sialang tidak bisa diklaim sebagai milik individu di Nagari Latang--meskipun itu terletak di ladang salah satu warga. Kepemilikannya adalah komunal.
Panen madu sialang itu dilakukan di malam hari dan bulan gelap. Saat ini sedang terang bulan, meskipun dalam sepekan ini hujan turun dari sore hingga malam.
"Terang bulan, lebah hutan lebih ganas," kata Jon Aprizal yang di masa mudanya jadi tukang sialang pula.
***
Panen madu sialang di Nagari Latang dilakukan secara tradisional. Satu rombongan petani madu sialang sepuluh sampai dua puluh orang. Terdiri dari pawang, tukang dendang, dua tukang panjat, dan selebihnya pekerja.
"Tukang sialang di Nagari Latang terkenal, tidak hanya memanen madu di kampungnya. Tapi juga di daerah lain di Kabupaten Sijunjung, Solok, dan Dharmasraya," kata Jon Aprizal didampingi salah satu tukang sialang, Amrizal (50), Sabtu (9/7/2022). Amrizal menuturkan saat dirinya memanjat pohon sialang atau batu sialang, tidak mengenakan pakaian khusus untuk pelindung diri. Bahkan, kadang hanya memakai celana pendek tanpa baju. Bila disengat beberapa ekor lebah, sakitnya hanya di malam pertama. Di malam berikutnya sudah biasa.
Lebah hutan jadi ganas bila madu di sarangnya dimangsa elang atau beruang. Mereka akan menyerang secara koloni jika ada manusia di dekat sarang yang porak-poranda tersebut. Sengatannya bisa mematikan.
"Sampai di sarang lebah, dilakukan pengasapan dengan sabut kelapa yang dibakar. Kami hanya mengambil bagian madu saja dan tidak memotong seluruh sarang. Juga menyisakan madu untuk makanan anak lebah," ujar Amrizal.
Biasanya, kata Jon Aprizal, setelah panen pertama, 40 hari kemudian madu sialang bisa dipanen kembali. Namun, jika seluruh sarang dipangkas, lebah hutan tidak akan kembali.
Prosesi panen madu sialang oleh tukang sialang di Nagari Latang dimulai dengan penancapan tonggak tuo (tonggak awal) dan diletakkan si tawa--dedaunan dan bunga terdiri dari empat macam yang biasa digunakan dalam ilmu kebatinan di Minangkabau. Lalu, pawang merapalkan doa keselamatan.
Bila panen madu di pohon sialang, dibuat tangga kayu atau tonggak lie (satu) yang dirapatkan ke pohon dan diberi anak tangga. Bila panennya di batu sialang, tangga dibuat dari buluh. Perkakas lainnya adalah ember dan tali tambang plastik nomor enam--biasa juga digunakan untuk pengikat sapi.
Saat pengambilan madu oleh tukang panjat, tukang dendang melantunkan pantun yang iramanya seperti Dendang Malalak atau bailau--dendang etnis Minangkabau.
"Kadang saat panen madu sialang inyiak datang (panggilan kehormatan orang Minangkabau kepada Harimau Sumatra) minta jatah. Bila itu terjadi, dilemparkan segenggam madu ke dalam semak (diperkirakan lokasi inyiak). Itu pernah dialami oleh Pak Wali (Jon Aprizal), waktu bujang mengambil madu sialang di Sungai Sampik," kata Amrizal.
Dalam semalam, tukang sialang dari Nagari Latang sanggup memanen hingga 80 madu di sarang lebah hutan.
Namun itu dulu, ketika madu sialang masih banyak dan lebah hutan setelah migrasi ratusan kilometer kembali ke pohon sialang dan batu sialang tempat mereka pernah menyusun sarang. Dulu, ketika deforestasi belum masif.
Saya teringat kutipan dari Albert Einstein: "Kalau lebah menghilang dari permukaan bumi, manusia hanya punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lagi lebah, tak ada lagi penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, tak ada lagi manusia." ***
Liputan Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropis ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center