
Leonardy Harmainy
Agam, sumbarsatu.com--Anggota DPD RI, Leonardy Harmainy Dt Bandaro Basa, mendapat masukan berharga dari Wali Nagari Padang Lua, Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam. Wali Nagari Padang Lua, Edison, dan perangkatnya memberikan informasi tentang akar permasalahan macet di Pasar Padang Luar.
Dikatakan Edison, Pasar Padang Lua macet enam hari dalam seminggu. Hanya hari Senin yang sedikit lega karena macet beralih ke Pasar Koto Baru. Sebagai orang yang besar di Pasar Padang Lua, Edison paham benar akar permasalahan di sana. Makanya dia berani mempertanyakan hal tersebut kepada PT KAI Divre II Sumbar.
Macet disebabkan oleh transaksi jual beli di Pasar Padang Lua yang meluber hingga ke tepi jalan Padang-Bukittinggi. Pedagang yang bertransaksi di tepi jalan itu dipicu oleh kehadiran terminal bayangan di beberapa titik. Di terminal bayangan itu berlangsung bongkar muat, bahkan transaksi terjadi juga di sana.
Bagi pedagang, biarlah mereka membayar sedikit lebih tinggi asalkan mereka lebih dekat ke calon pembelinya. Kalau terjadi transaksi di terminal bayangan tersebut, maka pedagang tidak perlu masuk pasar lagi. Bahkan ada pedagang yang memilih menggelar dagangannya di dekat terminal bayangan. Akibatnya sisi kiri dan kanan jalan menyempit dan memperparah macet di sana.
“Tolong Abang fasilitasi kami pemerintahan nagari Padang Lua untuk bertemu dengan Dirut PT KAI, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN untuk membicarakan persoalan pembenahan pasar ini. Jika akar permasalahan ini tidak diselesaikan segera, maka jangan harap macet di Padang Lua bakal teratasi,” ungkapnya.
Edison juga mengemukakan rencana besar menata kembali pasar tersebut. Pasar dibangun kembali, semua pedagang baik di kios, los atau yang berjualan di tepi jalan raya harus berjualan di tempat yang telah disiapkan. Bahkan jika rumah-rumah milik PT KAI yang ada di kawasan pasar bisa direlokasi, maka akan sangat besar pengaruhnya bagi penganggulangan kemacetan di Padang Lua. Di bekas rumah PT KAI itu akan dibangun terminal bongkar muat. Mobil yang sudah selesai membongkar muatannya keluar untuk memberi kesempatan kepada yang lain.
“Tidak boleh ada yang berhenti lama, apalagi jika menyebabkan macet. Kami yakin dengan begini pasar nagari yang berhilir ke Riau, Kepri, Jambi dan tentu Sumbar akan makin mendongkrak perekonomian daerah kita,” ujarnya lagi.
Dari Pasar Padang Lua, ungkap Edison, Pemerintah Kabupaten Agam mendapat pemasukan Rp120 juta per tahun. PT KAI juga menikmati sewa pasar oleh nagari sebesar Rp110 juta per tahun. Selain itu, PT KAI juga menerima sewa dari sewa kios dan toko yang ada di pasar tersebut.
“Sebagian besar tanah Pasar Padang Lua dalam penguasaan PT KAI. Meski itu dulu tanah tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat yang diserahkan untuk pembangunan jalan kereta. Karena kami menghormati hukum negara karena PT KAI memakai grondkaart atau peta tanah Zaman Belanda, maka dibayarlah sewanya,” kata Edison.
Edison mempertanyakan, 45 meter dari masing-masing sisi jalan kereta jika mengacu ke Undang-undang No. 23 tahun 2007 tidak masuk akal. Apalagi ini bukan stasiun. Karena menurut undang-undang itu, ada ruang manfaat, milik dan ruang pengawasan. Ruang milik adalah rel, ruang manfaat adalah bahu kiri dan kanan jalan kereta. Sementara ruang pengawasan adalah stasiun.
“PT KAI mengklaim 45 meter di kiri dan kanan jalan kereta adalah miliknya. Habis Nagari Padang Lua jadinya,” ujarnya sambil tertawa.
Sebagai bahan pertimbangan, Edison menginformasikan bahwa menurut perjanjian dengan Datuak Nan Balimo dulunya, tanah kereta itu dipinjampakaikan, tapi yang terjadi sekarang adalah penguasaan. Dan jika 30 tahun tidak digunakan maka tanah dikembalikan ke pemerintahan setempat yang sekarang adalah pemerintah nagari.
Menanggapi kaitan Pasar Padang Lua dengan PT KAI, Leonardy Harmainy menyebutkan tanah yang digunakan PT KAI untuk kepentingan jalur kereta api hanya enam meter di masing-masing sisi rel kereta. Ini berpedoman kepada PP No. 69 Tahun 1998.
“Jadi ada PP, bahkan ada Undang-undang perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007, mengapa aturan zaman Belanda juga yang dipakai oleh PT KAI setiap ada persoalan orang pribadi atau lembaga,” ujarnya.
Jika memakai Grondkaart saja, kekuatan hukumnya hanya sebagai petunjuk bahwa tanah yang diuraikan dalam Grondkaart itu merupakan kekayaan negara dan harus dikuatkan dengan putusan pengadilan. Tentu PT KAI berkewajiban mendapatkan sertifikat sebagai bukti kuat kepemilikan hak atas tanah. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian memerintahkan agar setiap hak-hak atas tanah harus disertifikatkan.
Menurut penilaian Leonardy, jika pasar bisa dikembangkan maka tentu tidak ada lagi pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Nagari bisa menata pasar dan mendapatkan pemasukan dari nagari untuk Pendapatan Asli Nagari. (SSC)