Antologi “Syair Cinta Tanpa Kopi” Padat Personifikasi

KUPAS BUKU SATUPENA

Senin, 11/07/2022 21:37 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Kumpulan puisi tunggal Mohammad Isa Gautama (MIG) “Syair Cinta Tanpa Kopi” yang diterbitkan Hyang Pustaka Cirebon, Jawa Barat, April 2022, dibahas dua pembicara:  Free Hearty, seorang pengamat sastra dan budaya dan Narudin Pituin, sastrawan, penerjemah, dan kritikus pada Senin (11/7/2022) dalam aplikasi Zoom yang diikuti 50 orang partisipan dari pelbagai kota di Indonesia.

Free  Hearty mengatakan, 57 puisi yang terhimpun dalam buku antologi “Syair Cinta Tanpa Kopi” padat dengan personifikasi dan agak longgar metaforanya. Sedangkan Narudin Pituin dalam pembacaannya menyebutkan antara personifikasi dan metafora justru saling mengisi dan menguatkan.

Bincang buku yang dimoderatori Yurnaldi, sastrawan dan  wartawan utama ini dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat Syaifullah ini merupakan rangkaian International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) yang puncaknya akan dilaksanakan pada 2023.

“Sebagai salah satu organisasi perangkat daerah (UPD) yang berkaitan dengan kebudayaan dalam Pemerintahan Provinsi Sumatra Barat, kegiatan yang digagas Satu Pena ini, tentu sangat penting artinya bagi kita bersama. Kerja kebudayaan tidak bisa hanya dilakukan Dinas Kebudayaan. Kita mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan jajaran Satu Pena Sumatra Barat. Bincanng buku ini salah satu rangkaian kegiatan jelang IMLF pada 2023,” kata Syaifullah.

Dalam pembuka paparannya, Free  Hearty mengaku kecewa mengapa MIG sebagai penyair yang dikenalnya punya wawasan luas ikut-ikutan bicara tentang “kopi” dan “cinta” lewat karyanya.

“Semua puisi dalam buku setiap judulnya diawali dengan 'Syair Cinta'. Namun, setelah saya membaca secara saksama, baru muncul rasa takjub dan kagum pada 57 karya sajak-sajak ini,” urai Free  Hearty.

Ia menganggap karya MIG ini cukup unik karena penyairnya berlatar belakang seorang sosiolog. Dalam syair-syair  yang ditulis MIG, ia melihat permasalahan-permasalahan di negeri ini bukan dari sudut pandangnya sebagai penyair melainkan orang ketiga.

Hal-hal negatif yang diamati oleh orang lain dilihat dengan cinta oleh MIG. MIG tidak bicara cinta yang dirasakannya tetapi pijakannya justru orang lain sehingga terasa bahwa penyair sedang memberi simpati dan empati yang memunculkan toleransi tetapi toleransi yang kritis.

“Di sanalah bertambah keunikan karya ini meskipun  saya melihat ada kelemahan karya pada ketidakpaduannya antarbait, soal unity, koherensi, dan kohesi suatu karya yang kadang lari,” terangnya.

Narudin Pituin fokus membahas empat puisi yang dinilainya representatif dan menjadi benang merah untuk menangkap makna yang ingin disampaikan penyair. Keempat puisi tersebut, yaitu “Syair Cinta Tanpa Kopi”, “Syair Cinta Tukang Tiket”, “Syair Cinta Playboy Kacangan”, dan “Syair Cinta Politikus Korup”.

“Sang penyair menyajikan puisi yang membungkus informasi dengan metafora dan personifikasi sehingga rumit ditangkap pembaca karena metafora dan personifikasinya terkesan bertumpuk. Namun, puisi-puisi ini turut menunjukkan bahwa penyairnya ialah seorang pemikir. Ada kekentalkan nilai sosiokultural dan politik di dalamnya,” kata Narudin Pituin.

Dalam kata pengantar, Sastri Bakry, Ketua DPD Satu Pena Sumbar menyampaikan bahwa kegiatan ini bagian dari pra-IMLF yang akan dihelat 22-27 Februari 2023 mendatang dan akan diikuti oleh peserta dalam negeri maupun luar negeri.

Mohammad Isa Gautama mengucapkan ucapan terima kasih karena karyanya diapresiasi oleh Satu Pena Sumbar sehingga dibincangkan.

MIG menyebutkan bahwa tujuannya menulis karya ini untuk mengkritik sekaligus memparodikan realita sosial. Namun, ia sajikan dengan cara lebih santai melihat permasalahan yang kompleks tersebut.

Dalam bincang buku turut berpartisapasi beberapa penanggap yang memberi apresiasi terhadap Syair Cinta Tanpa Kopi  maupun yang bertanya. Penanggap tersebut yaitu Deddy Mulyana, Chye Retty Isnendes, Hermawan, Nandik Sufaryono, dan Harris Effendi Thahar.

Sastri Bakry menjelaskan, SatuPena Sumatera Barat terbuka untuk penulis genre apa saja dan dengan latar belakang apa saja. Di wadah SatuPena kita bisa berbagi pengalaman dan ilmu kepenulisan.

“Kita saling membesarkan dan termasuk memperjuangkan buku-buku karya penulis Sumatera Barat untuk bisa mengisi perpustakaan daerah dan perpustakaan nagari. Penulis berkarya membangun daerah, membangun negara dan bangsa, sudah seharusnya hidup sejehatera dengan pemikiran dan karya-karyanya dalam bentuk buku,” kata Sastri. SSC/MN

 



BACA JUGA