Kisruh Donasi Surau Sydney dan Pudarnya Wibawa “Rantau"

--

Jum'at, 24/06/2022 18:05 WIB

OLEH Anggun Gunawan (Putra Pariaman Perantau Minang di Jakarta)

Di laman seorang akademisi yang pernah menginisiasi pendirian Surau (Masjid) di Kota Sidney terbentang gugatan atas "potongan" yang tidak masuk akal atas donasi masyarakat untuk pembangunan Surau Sydney yang digalang oleh ACT lewat platform KitaBisa Dot Com.

Di sana disebutkan bahwa dana publik yang terkumpul mencapai 3 miliar rupiah. Tapi yang kemudian dicairkan kepada Panitia Pembangunan Surau Sydney hanya 2 miliar rupiah. Kemudian dijelaskan bahwa 507 juta dipotong untuk keperluan iklan di grup meta alias iklan di Facebook dan Instagram. Biaya administratif KitaBisa dot com 5% dari total donasi (yang kemudian diverifikasi ditiadakan karena kitabisa dot com punya regulasi tidak mengambil bagian untuk situasi-situasi khusus seperti bencana alam dan pembangunan rumah ibadah).

Pos anggaran lainnya adalah biaya administrasi bank yang mencapai 29 juta. Sesuatu yang biasa kalau kita menggunakan jasa bank lokal Indonesia untuk transaksi ke bank luar negeri. Terus terindikasi juga ACT sebagai mitra Panitia Pembangunan Surau Sydney mengambil porsi amil zakat 15%.

Saya pribadi memang agak intens mendapatkan iklan Pembangunan Surau Sydney itu sejak tahun lalu di laman FB dan IG. Biaya iklan yang mencapai 507 juta rupiah itu bisa dipahami dengan logika penetapan tarif di dunia media sosial. Biaya iklan di Facebook dan IG yang ditetapkan oleh Meta dimulai dari harga Rp10.000/hari.

Regulasi tarif iklan tersebut tergantung kepada jumlah orang/akun yang dijangkau dan durasi penayangan. Jika dengan modal 10 ribu rupiah cuma bisa bertahan 24 jam dan menjangkau 1000 akun, maka untuk mencapai 10 juta akun dan tayang selama 365 hari (1 tahun) dibutuhkan modal yang berkali-kali lipat. Apalagi jika yang hendak dijangkau sampai 50 juta akun. Hitung-hitungan kasarnya, jika sehari biaya iklan yang dikeluarkan 1 juta rupiah, ketika iklan itu tetap muncul selama 1 tahun tagihan 365 juta rupiah akan dimintakan oleh Meta. Biaya iklan yang 1 juta rupiah per hari sebenarnya masih jauh lebih murah dibandingkan tarif seorang artis atau publik figur bercentang biru yang bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya untuk mengendorse sebuah produk di Instastory mereka yang cuma bertahan 24 jam.

Tentu saja Meta tidak memikirkan seberapa banyak donasi yang didapatkan atas iklan yang ditawarkan kepada sekian juta akun. Karena itu bukan ranah mereka. Mau iklan kosmetik atau iklan bangun masjid sama saja rumus perhitungannya: Durasi Tayang dan Jangkauan Akun.

Bagaimana dengan potongan 15% untuk Amil Zakat? Secara syariat amil zakat boleh mengambil 1/8 dari zakat yang dikumpulkan untuk biaya operasional dan biaya-biaya lainnya. 1/8 setara dengan 12,5% bukan 15%. Kadang porsi 12,5% buat amil zakat ini juga diberlakukan untuk sedekah, infak di luar zakat. Jika dana yang berhasil terkumpul 3 miliar rupiah, maka bagian buat amil zakat bisa di angka 375 juta rupiah.

Wibawa Rantau

Dengan nama "Surau Sydney" sangat jelas bahwa masjid yang hendak dimintakan bantuan dananya kepada umat Islam di Indonesia sangat kental dengan nuansa Minangkabau. Dan memang pada kenyataannya Surau tersebut diinisiasi oleh komunitas perantau Minang yg ada di Australia terutama yang tinggal di Kota Sydney.

Sejak iklan donasi Surau Sydney itu berseliweran di akun FB dan IG, ada sesuatu yang menganjal di hati saya. Kenapa para perantau Minang luar negeri masih "membutuhkan" dan "membebankan" sesuatu yang bersifat finansial kepada orang "Ranah"?

Filosofi merantau itu bagi orang Minang adalah melepaskan beban finasial dan sosial orang di kampung halaman dengan pergi menuju daerah lain. Beban terakhir yang dipikul oleh orang ranah hanyalah sekadar bekal saat seorang pemuda Minang berpamitan dengan sanak keluarga. Setelah itu ia akan berjuang mandiri dan memutar otak untuk survival di tanah rantau. Selama belum sukses secara sosial dan finansial maka berpantang bagi orang Minang untuk pulang kampung. Bahkan mahsyur terdengar ungkapan "marantau cino" alias seorang pemuda Minang yang tidak pernah pulang kampung lagi dan bertahan di tanah rantau untuk selamanya. Biasanya dikarenakan mereka "gagal" meraih kesuksesan finansial dan sosial sehingga mereka mereka malu untuk menampakkan batang hidungnya di kampung halaman.

Bantuan finansial dari ranah ke rantau masih bisa cukup dipahami kepada pemuda-pemudi Minang yg sekolah atau kuliah di daerah lain atau negara lain. Tidaklah tabu buat mereka dikirimi uang belanja oleh orang tuanya atau dialokasikan beasiswa oleh pemerintah daerah. Tapi lain cerita jika yang masih disupport itu orang-orang yang sudah hidup relatif makmur dengan standar gaji berkali-kali lipat dari Indonesia. "Karatau madang di ulu, Babungo babuah balun. Marantau bujang daulu, di rumah panguno balun."

Ketika seorang anak Minang berhasil menjauhkan destinasi perantauannya di luar negeri apalagi di negeri-negeri Barat yg terkenal dengan kemakmurannya, maka orang di Ranah memandang mereka telah mencapai titik kesuksesan. Apalagi mereka sudah bisa membangun karier di sana dengan gaji belasan kali lipat dari orang-orang yang berada di ranah. Untuk pergi ke sana saja setara gaji sebulan dua bulan orang di ranah.

Yang diharapkan malah bukan orang Rantau luar negeri itu merengek-rengek untuk dibantu oleh orang Ranah tapi malah orang Rantau yang mesti membantu dan berdonasi kepada orang ranah.

Di zaman ini di Indonesia memang banyak lahir crazy rich2 baru yang punya sifat dan sikap sosial yang tinggi. Kedermawanan mereka menjadi populer lewat berbagai chanel media sosial baik kepada orang dhuafa maupun untuk pembangunan fasilitas agama entah itu masjid, pondok pesantren ataupun panti asuhan. Seringkali juga sebagian mereka sangat aktif untuk donasi-donasi sosial di daerah konflik seperti Palestina, Syiria, Euthopia, Rohingnya dan lain-lain.

Apabila perantau-perantau Minang di sebuah negara makmur seperti Australia juga membutuhkan donasi dari muhsinin di tanah air, apakah tidak menurunkan level mereka seperti orang-orang di negeri2 yang memang berkonflik itu?

Dan yang patut dipertanyakan adalah dimana pride sebagai perantau Minang jika untuk mendukung kegiatan ibadah mereka juga masih harus menadahkan tangan kepada orang ranah?

Solusi Pendanaan

Saya pribadi pernah terlibat dalam Panitia Pembangunan Masjid Asrama Mahasiswa Sumatra Barat di Yogyakarta dengan biaya mencapai 2,7 miliar rupiah. 70% dana pembangunan didapatkan dari donasi warga lokal beretnis Jawa yang sehari-hari berkegiatan di masjid tersebut. Sebanyak 20% sumbangan didapatkan dari alumni-alumni asrama mahasiswa tersebut yg sudah sukses dan berkiprah di berbagai bidang. Tidak sampai 1 tahun pembangunan atau lebih tepatnya renovasi masjid berbiaya Rp2,7 miliar tersebut selesai. Cuma nihil menara saja.

Artinya, pembangunan masjid bisa memaksimalkan potensi warga lokal yang sehari-hari berkegiatan di masjid tersebut. Dan di antara donatur utama adalah yang dulunya tidak begitu intens ke masjid hanya saat salat Jumatan saja. Tapi intensnya dakwah dan dibukakan pintu hatinya oleh Allah hampir 1/4 biaya pembangunan berasal beliau.

Untuk konteks Surau Sydney sebenarnya ketika banyak warga lokal yang bisa memanfaatkan masjid tersebut entah para imigran muslim yang telah menjadi warga negara Australia ataupun para alumni kampus-kamous Sydney yang berasal dari Indonesia yang tentu saja sudah banyak yang sukses bisa diapproach secara pribadi untuk berkontribusi. Ketika pendekatan personal ini dikuatkan maka tak perlu ada uang yang "menguap" hampir 1/3 dari donasi yang bisa terkumpul.

Namun memang di satu sisi, kebutuhan akan "jangkauan masif" tidak bisa terakomodir hanya lewat himbauan personal dan jaringan grup WA saja. Media-media dan layanan crowdfunding menawarkan solusi. Tapi tentu ada biaya di balik jasa yang mereka tawarkan.

Tinggal panitianya saja memutuskan: Apakah mau mengambil jalan personal dan mengirimkan WA satu per satu dengan raihan donasi yang belum tentu besar tapi bisa menjaga marwah perantau Minang-Austraslia. Atau memboomingkan kebutuhan memperoleh donasi dan iklannya ditonton oleh jutaan orang di Indonesia. Potensi dana yang didapatkan memang besar tapi biaya administratifnya juga tak kalah besar ditambah pride sebagai perantau Minang pudar...

Iklan

BACA JUGA