
Koreografi karya Mentari Fahreza yang berjudul "Menuju Piring Terakhir" dipentaskan dalam perhelatan Ganggam Tari Kontemporer 3 yang diadakan Taman Budaya pada Minggu, 7 September 2025 di Lantai 4 Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat. foto dok
OLEH Joni Andra (Koreografer Indonesia)
SEORANG penari memasuki area panggung yang sesungguhnya belum sepenuhnya “layak” dijadikan ruang pertunjukan yang sarat makna. Ia masuk dengan santai sambil membawa tumpukan piring, lalu meletakkannya di berbagai titik panggung hingga ke area penonton. Aksi itu dilakukan berulang kali. Seakan-akan pertunjukan belum dimulai, padahal sesungguhnya ia sudah menjadi bagian dari penampilan. Namun, kesan awal yang muncul terasa hambar dan kosong.
Demikianlah representasi koreografi karya Mentari Fahreza yang berjudul Menuju Piring Terakhir dipentaskan dalam perhelatan Ganggam Tari Kontemporer 3 yang diadakan Taman Budaya pada Minggu, 7 September 2025 di Lantai 4 Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.
Menurut Mentari Fahreza, koreografi Menuju Piring Terakhir lahir dari pergulatan tubuh perempuan Minangkabau yang hidup di persimpangan dua dunia. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai simbol kehormatan, penjaga adat, dan pewaris garis keturunan matrilineal. Namun, di sisi lain, ia juga adalah individu dengan mimpi, suara, dan keinginan yang kerap terhalang oleh beban simbolis yang disematkan masyarakat kepadanya. Melalui karya ini, koreografer muda tersebut memotret negosiasi batin seorang perempuan yang berusaha menemukan ruang kebebasan tanpa harus tercerabut dari akar adat yang membentuk identitasnya.
Tubuh perempuan dalam Menuju Piring Terakhir menjadi medium untuk merunut pergulatan itu: diam yang penuh tekanan, gerak yang mencari celah bernapas, hingga pertarungan yang bukan sekadar perlawanan, melainkan upaya menciptakan jalan pulang. Jalan pulang yang dimaksud bukanlah kepatuhan buta pada tradisi, melainkan sebuah pertemuan yang seimbang antara adat dan kebebasan, antara simbol kolektif dan hak individual.
Piring, secara tidak langsung, telah menjadi simbol keminangkabauan. Tari piring merupakan bagian penting dari kebudayaan Minangkabau. Dalam berbagai perhelatan adat, piring hadir sebagai elemen yang tak terpisahkan. Manatiang piring bahkan menjadi ciri khas rumah makan Minangkabau. Dalam bayangan saya, penari bernama Mentari akan menari sambil bergulat dengan puluhan piring, menggerakkannya di tangan sebagaimana dalam tari piring tradisional.
Tari Menuju Piring Terakhir ditampilkan oleh seorang penari tunggal yang sekaligus berperan sebagai koreografer. Pertunjukan dibuka dengan adegan penari menginjak piring dan memecahkannya perlahan satu per satu. Memecahkan piring dengan lembut menggunakan kaki bukanlah hal mudah. Ia tidak menghentak atau menghantam, melainkan memerlukan teknik yang matang.
Piring dipecahkan secara perlahan, acak, dan bergantian, diiringi gerakan yang kadang tenang, kadang meledak penuh sentakan emosional. Tidak semua piring dipecahkan; sebagian pecahan bahkan dijadikan alas kaki untuk menari. Musik hadir memberi kekuatan rasa pada penari, meskipun suasana keminangkabauan tidak terwakili dalam iringan tersebut. Bunyi-bunyian yang muncul justru sangat modern.
Pertunjukan ditutup dengan penari yang mengumpulkan semua piring, lalu membawanya ke tumpukan di tengah penonton. Ia mencoba memecahkan piring di lantai, meski sempat terjadi insiden kecil: karya berakhir dengan tangan berlumur darah yang terluka terkena pecahan piring. Secara teknik gerak, pertunjukan terasa datar, minim variasi tempo dan hentakan kuat. Namun demikian, kekuatan emosionalnya tetap terjaga. Ekspresi dan rasa yang ditampilkan menghadirkan makna mendalam.
Sesungguhnya, karya ini tidak menghapus nuansa keminangkabauan. Justru, koreografer tampak sedang menggugat posisi perempuan dalam budaya Minangkabau. Perempuan Minangkabau dipandang sebagai lambang kehormatan, penjaga adat, sekaligus pewaris keturunan. Namun, di sisi lain, koreografer mengungkap pergulatan batin antara menjaga warisan kodrati sebagai perempuan Minang dengan hasrat kebebasan untuk menentukan arah hidup di era modern.
Di sinilah pentingnya riset mendalam dan penguatan literasi terhadap persoalan yang diangkat dalam sebuah karya tari kontemporer, terutama jika berangkat dari pengalaman empiris. Dari sudut pandang saya, koreografer seolah belum menemukan penyelesaian. Pertunjukan dituntaskan dengan menjatuhkan semua piring, seakan-akan harus melepaskan nilai-nilai sebagai perempuan Minangkabau. Padahal, nilai tersebut belum tentu bertentangan dengan pemikiran maju perempuan Minang hari ini. Ada kesan putus asa yang tersisa, belum ada solusi yang ditawarkan.
Minangkabau adalah salah satu suku bangsa di Sumatera Barat yang menganut sistem garis keturunan ibu (matrilineal). Sistem ini pada prinsipnya bertujuan melindungi perempuan secara menyeluruh. Harta warisan dikuasai perempuan, sementara laki-laki berfungsi sebagai penjaga.
Dalam riset saya untuk karya Pitaruah Darah, saya menemukan bahwa sebagian perempuan Minangkabau di kampung hanya memiliki visi sederhana: mendapatkan suami yang bisa mengembangkan harta warisan. Hal itu karena memang tugas suami. Ada pula perempuan Minangkabau yang tetap berada dalam lingkaran kemiskinan. Namun, pada dasarnya, posisi perempuan dalam sistem matrilineal memberi legitimasi kuat dalam kepemilikan pribadi sekaligus ruang kiprah di bidang lain. Perempuan Minangkabau oleh adat diberi hak memiliki sawah, ladang, rumah, dan tanah. Dalam keluarga inti, perempuan sulit diintimidasi suami karena ia mendapat perlindungan dari mamak (paman dari pihak ibu).
Dalam pengelolaan harta warisan, perempuan Minangkabau sesungguhnya sudah menempati posisi manajerial yang mumpuni. Pengalaman ini bisa menjadi bekal kepemimpinan, bahkan hingga ke ranah politik. Namun, ada sisi lain: sebagian perempuan Minang terlena dengan posisi sebagai pemilik harta, sehingga kurang terdorong mengembangkan diri di luar ranah domestik.
Hal ini membuat mereka minim kesempatan tampil sebagai pemimpin publik, politikus, atau pengambil kebijakan. Padahal, hak istimewa yang dimiliki semestinya menjadi landasan untuk mengembangkan diri dalam ranah publik. Dengan demikian, perempuan Minangkabau sejatinya memiliki kebebasan yang kokoh untuk pengembangan diri.
Namun, karya Menuju Piring Terakhir justru meninggalkan kesan pesimis. Koreografer seakan menegaskan bahwa adat terlalu menuntut perempuan Minangkabau hingga membatasi kebebasan mereka. Ataukah karya ini justru menyimpan “rahasia” pengalaman personal sang koreografer?
Bagaimanapun, karya ini telah memberi warna bagi perjalanan koreografer muda di Sumatera Barat. Program semacam ini penting untuk terus berlanjut agar kesempatan berkarya tidak hanya hadir karena ada sebuah acara, melainkan menjadi proses berkesinambungan. Mentari harus terus memperkuat literasi, memperpanjang proses, dan mengolah karya tanpa henti. Modernitas tidak harus memutus identitas keminangkabauan. Identitas dapat diperkuat melalui teknik gerak, simbol, maupun musik. Kritik hendaknya dipandang bukan sebagai “pembunuh”, melainkan sebagai energi dalam pencarian jati diri.
Teruslah berkarya, jangan lupakan proses. Ah, seandainya Taman Budaya memiliki panggung yang kondusif dan pencahayaan memadai, karya ini tentu akan tampil lebih kuat, nyaman ditonton, dan sarat makna.
Sekilas Koreografer Muda Mentari
Mentari Fahreza lahir di Padang pada 20 September 2000. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang ini tumbuh sebagai koreografer dan penari yang konsisten menapaki jalur tari kontemporer berbasis pengalaman personal serta pergulatannya dengan ruang budaya Minangkabau. Kini ia berdomisili di Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, sebuah daerah yang turut membentuk kedekatannya dengan tradisi Minangkabau serta realitas sosial di sekitarnya.
Sejak 2022, Mentari telah memperlihatkan intensitasnya dalam dunia tari, baik sebagai penari maupun koreografer. Ia tampil dalam karya Perempuan dan Rumah Gadang pada Festival Sumarak Nagari Perempuan serta Baliak Ocean karya Ari Rudenko di West Sumatera Dance Festival. Pada tahun yang sama, ia melahirkan karya koreografi berjudul Re-Again, sebuah pencarian awal dalam menegaskan identitas artistiknya.
Perjalanan itu berlanjut pada 2023, ketika ia menghadirkan False Confidence, Re-Again #2, dan Made by Society. Selain berkarya, ia juga menari dalam pertunjukan Panindogat di Festival Nan Jombang, yang memberinya pengalaman kolaboratif lintas generasi. Tahun 2024 menjadi momentum penting dengan keterlibatannya dalam Sentrifugal karya Ayu Permata Sari di Sasikirana Dance Camp, sekaligus penciptaan karya Belenggufree yang memperluas cakrawala estetikanya.
Karya Menuju Piring Terakhir digarap Mentari Fahreza sebagai koreografer sekaligus penari, dengan dukungan komposisi musik dari Avant Garde Dewa Gugat (AGDG), manajemen panggung oleh Fazri Arif Sahputra, serta dramaturgi dari Adam Musthofa. Karya ini menghadirkan sebuah pernyataan artistik yang personal sekaligus universal: bahwa tubuh perempuan, dengan segala beban dan potensinya, adalah medan yang terus bernegosiasi dengan adat, zaman, dan dirinya sendiri. *