Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi
Padang, sumbarsatu.com--Pemerintah Provinsi Sumatera Barat resmi menerima pendanaan Result-Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF).
Melalui program ini, Sumbar memperoleh alokasi sebesar 3,58 juta dolar AS atau sekitar Rp56 miliar, sesuai Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1398/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2023.
Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat tata kelola hutan, menyusun arsitektur REDD+ di tingkat provinsi, serta mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selain menjaga kelestarian hutan, program ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak.
“Sumatera Barat sangat kental dengan tradisinya, yang kemudian menjadi sistem sekaligus contoh baik dalam pengelolaan perhutanan di Indonesia,” ujar Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana BPDLH, Endah Tri Kurniawati, pada acara Kick Off Implementasi RBP REDD+ GCF Output II Kamis, 28 Agustus 2025.
Pendanaan ini diberikan atas kinerja pengurangan emisi nasional dari sektor Forest and Other Land Uses (FOLU) pada periode 2014–2016. Alokasi untuk Sumbar didasarkan pada capaian pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kawasan hutan sekaligus mencegah deforestasi.
“Keseriusan ini muncul karena 80 persen masyarakat Sumbar tinggal di sekitar hutan dan bahkan terlindungi oleh hutan. Tantangannya adalah bagaimana potensi hutan bisa dimanfaatkan tanpa merusaknya, sehingga masyarakat tetap dapat menjalani kehidupan yang layak,” kata Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi.
Pendanaan iklim yang berkeadilan harus menempatkan masyarakat sebagai subjek utama. Selama ini, masyarakat sekitar hutan menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian hutan.
Dari sisi emisi, mereka justru menjadi penyumbang paling rendah karena terbiasa dengan gaya hidup ramah lingkungan. Namun, ironisnya mereka juga yang paling terdampak akibat perubahan iklim, terutama dalam sektor pertanian yang sangat bergantung pada kondisi alam.
“Program ini akan disalurkan BPDLH ke lembaga perantara tanpa melalui mekanisme APBD. Dana langsung ditujukan kepada kelompok masyarakat pengelola hutan. Harapannya, kapasitas masyarakat meningkat dan jumlah izin perhutanan sosial bertambah tiap tahun,” tambahnya.
KKI Warsi, Lembaga Perantara
Pada 2024, Gubernur Sumbar menunjuk KKI Warsi sebagai lembaga perantara (lemtara) pendanaan RBP REDD+. Penunjukan ini didasarkan pada rekam jejak Warsi dalam mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan, memperkuat kelembagaan masyarakat, dan mengembangkan ekonomi berbasis potensi lokal.
Kerja sama Pemerintah Sumbar dan KKI Warsi sebelumnya telah diikat melalui MoU pada 2023 terkait pengelolaan sumber daya alam.
“KKI Warsi bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumbar dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, termasuk perhutanan sosial, penguatan kelembagaan, basis data nagari, serta pengembangan usaha masyarakat,” demikian salah satu butir kesepakatan.
Selama lebih dari dua dekade, KKI Warsi menjalin kolaborasi erat dengan Pemprov Sumbar, Dinas Kehutanan, dan masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Upaya ini juga menjadi bagian dari kontribusi nasional terhadap program REDD+ dalam rangka mencapai target NDC Indonesia dan FOLU Net Sink 2030.
Melalui penandaan batas dan pengamanan kawasan hutan, sistem zonasi di hutan nagari dibagi menjadi zona lindung dan zona pemanfaatan. Dari sisi ekonomi, Warsi mendorong masyarakat beralih dari praktik eksploitasi merusak lingkungan ke pengembangan usaha ramah lingkungan, seperti budidaya, penyaluran dana hibah, serta pengembangan komoditas lokal.
RBP REDD+ GCF Output II merupakan inisiatif global untuk mendukung negara-negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan. Bantuan finansial diberikan berdasarkan capaian provinsi dalam meningkatkan tutupan hutan dan menahan laju deforestasi.
Di Sumatera Barat, perhutanan sosial terbukti berkontribusi signifikan dengan menambah 3.000 hektar tutupan hutan baru pada 2024. Program ini juga berperan penting dalam melindungi keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan pendekatan partisipatif yang menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama, RBP REDD+ menghadirkan solusi komprehensif bagi mitigasi perubahan iklim sekaligus pembangunan berkelanjutan.
Ke depan, program ini diharapkan tidak hanya menjadi insentif atas kinerja pengurangan emisi, tetapi juga menjadi model kolaborasi antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat dalam menjaga hutan.
Dengan menempatkan masyarakat sebagai pusat pengelolaan serta memastikan distribusi manfaat yang adil, RBP REDD+ di Sumatera Barat diharapkan memperkuat ketahanan wilayah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus berkontribusi nyata pada pencapaian target iklim nasional. ssc/rel