H.M. Samawi, Pendiri Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

-

Minggu, 06/02/2022 10:19 WIB
H M Samawi

H M Samawi

 

Haji Muhammad Samawi (biasa disingkat H.M. Samawi) adalah wartawan tiga zaman asal Minangkabau yang lebih sete­ngah usianya mengabdi di Yogyakarta.

Dia tercatat sebagai pendiri dan kemudian memimpin Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satu koran tertua di Indonesia yang terbit pascaproklamasi dan masih tetap eksis hingga hari ini.

Samawi lahir di Magek, Tilatang Kamang, Agam, Sumatra Barat, 15 Agustus 1913 dan wafat di Yogyakarta pada 4 Juni 1984. Dalam buku Jagat Wartawan Indonesia (1981), Soebagjo I.N. menulis: Meskipun Samawi dilahirkan di Bukittingi ... dan memang “Urang Awak” tulen namun dalam kenyataannya dia kini sudah menjadi “Wong Jawa”.

Betapa tidak! Sejak tahun 1942 sampai mening­gal dia secara kesinambungan terus-menerus berdiam di Yogyakarta, dan mengalami pergo­lakan zaman Jepang, gemuruhnya api revolusi, menghayati masa liberal, zaman demokrasi terpimpin, gejolak pemberontakan PKI pada tahun 1965, dan juga mengalami masa pembangunan Orde Baru. Semuanya disaksikan, dilihat dan dihayati Samawi di Yogyakarta yang pada suatu ketika pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia.

Samawi sudah meninggalkan kampung halamannya sejak usia 18 tahun untuk belajar di Taman Guru Taman Siswa Jakarta, sampai tamat pada tahun 1935. Sewaktu didirikan Kursus Jurnalistik di Jakarta oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Mr. Wilopo, M. Tabrani dan lain sebagainya, dia pun masuk di situ. Bersama-sama dengan Soemarmo, Soendoro, Mohammad Sin, Gani dan lain-lainnya lagi. Kursus tadi memang merupakan tempat kader-kader wartawan nasional digembleng, sedangkan yang diajarkan selain teori jurnalistik juga hal-hal yang ada hubungannya dengan pengetahuan umum yang harus dikuasai tiap wartawan.

Selain belajar jurnalistik, Samawi juga ikut dalam pergerakan kebangsasan. Semasa masih tinggal di Jakarta, dia sudah bergerak di kalangan organisasi pemuda, Indonesia Muda. Dia menjadi penulis (sekretaris) IM Cabang Jakarta Raya. Sebelum Jepang, Samawi  berdiam di Cianjur, lalu menjadi sekretaris dan kemudan menjadi Ketua Parindra Cabang Cianjur. Selain itu dia juga menjadi promotor dari Kepanduan Bangsa Indonesia.

Sewaktu pecah Perang Pasifik, menjelang Jepang masuk, Samawi yang sudah lama diawasi Belanda, kemudian ditangkap lalu diin­ternir Belanda di Garut, bersama-sama Sajuti Melik, Abdul Latif (yang kemudian mengibarkan bendera proklamasi), S.K. Trimurti, dan seorang wartawan asal Padang yang pernah kuliah di Jepang, Abdoel Madjid Usman. Mereka baru dilepaskan setelah Jepang datang, Maret 1942.

Lepas dari Garut, Samawi lalu berangkat ke Yogyakarta. Di kota itu dia segera dapat bekerja pada Harian Sinar Matahari yang kala itu dipimpin Raden Mas Gondhojuwono, bekas orang buangan dari Digul. Di koran ini juga bekerja Soemantoro dan Moeljono, kelak juga menjadi wartawan terkenal. Mereka bekerja di Sinar Matahari hingga Jepang kalah, dan koran itu ditutup Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Samawi bersama Soemantoro dan Bramono nekad membuka kunci pintu kantor surat kabar Sinar Matahari. Mereka bersepakat hendak menerbitkan koran. Adanya surat kabar perlu untuk Indonesia merdeka sangat diperlukan. Sebab, sudah sejak pertengahan Agustus dan waktu itu hampir akhir September, rakyat Indonesia khususnya penduduk Yogyakarta, tidak lagi mendapatkan penerangan atau informasi mengenai keadaan dunia ataupun keadaan di Indonesia sendiri.

Dikisahkan Soebagjo, setelah menguasai kantor dan percetakan eks Sinar Matahari, Samawi pun mengumpulkan tenaga-tenaga muda yang penuh semangat sebagai tenaga zetter untuk mencetak copy dibuat koran. Tenaga tata-muka (opmaker) juga sudah dipanggil dan sudah bekerja pula. Maka, pada tanggal 26 September 1945 lay-out dan zetsel koran sudah jadi. “Ada berita kotanya, berita dalam dan luar negeri, kata pengantar dari pihak penerbit. Semuanya lengkap. Yang belum ada ialah nama surat kabar itu,” tulis Soebagjo.

Semua redaktur dan karyawan yang ada di situ masing-masing dengan pikiran sendiri-sendiri, tetapi belum ada kesepakatan nama apa yang akan diberikan kepada koran yang akan lahir itu. Akhirnya ada yang usul, agar nama koran itu dimintakan saja kepada pengurus Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang masa itu berkantor di bekas rumah kediaman Chokan-Kakka, semacam Gubernur Jepang, yang kemudian dijadikan Gedung Agung semasa RI beribu kota di Yogyakarta.

Seorang karyawan pergi ke kantor tersebut, dan bertemu dengan Pengurus KNI Daerah, menyampaikan maksud kedatangannya, yakni memintakan nama untuk koran yang akan lahir. Mr. Sudarisman Purwokusumo yang kala itu menjadi Ketua KNIP Daerah segera pula memberikan jawaban: “Kedaulatan Rakjat.”

Dan begitulah di papan terluang bagian atas zetsel yang masih lowong, lalu diisi huruf-huruf yang berbunyi: Kedaulatan Rakjat. Baru keesokan harinya, tanggal 27 September 1945 harian Kedaulatan Rakjat lahir, salah satu harian yang tertua di Republik Indonesia.

Samawi bukan saja ikut membidani lahirnya harian tersebut, tetapi dia memang ikut serta menangani. Bramono yang sudah banyak peng­alaman dalam bidang jurnalistik pada masa praperang, dijadi­kan pemimpin umum. Soemantoro yang semula bekas guru, dan baru masuk jurnalistik pada zaman Jepang, ditunjuk menjadi pemim­pin redaksi, sedangkan Samawi menjadi wakil pemimpin redaksi.

Dalam perkembangan seterusnya, Bramono jarang datang di kantor karena harus mengurusi perjuangan. Demikian pula dengan Soeman­toro bahkan terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli” dan kemudian masuk ke dalam tahanan bersama Tan Malaka, Muhammad Yamin, Abikusno dan lain-lainnya lagi. Akhirnya, Samawi yang ditunjuk menjadi Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakjat. Nama pena yang dipakainya untuk menjaga “Pojok” ialah Berabe. Berasal dari bahasa Jakarta yang berarti “serba semrawut”, “tidak teratur”. Nama itu secara terus menerus dipakai terus di Kedaulatan Rakjat sampai sekarang, meskipun pengisinya sudah berganti-ganti.

Setelah Belanda berhasil menduduki Yogyakarta menyusul Agresi Militer II 19 Dsember 1948, koran-koran nasional tidak ada yang terbit, termasuk Kedaulatan Rakjat. Samawi sendiri bersama sejumlah wartawannya, mengungsi “ke luar” meninggalkan Yogyakarta yang diduduki Belanda. Dari “luar”, pada suatu hari Samawi mendapat info, bahwa Kol. Soeharto memerlukan alat percetakan kecil, untuk mencetak pamflet-pamflet atau surat selebaran yang isinya untuk propaganda perjuangan melawan Belanda.

Soeharto akan sangat senang sekali apabila Kedaulatan Rakjat dapat membantu keperluan tersebut. Samawi pun mencari akal agar bisa mem­bantu. Dipanggilnya beberapa orang tukangnya, dan dibisikkannya tugas apa yang harus mereka emban. Mesin percetakan Kedaulatan Rakjat harus dilepas satu demi satu, sedikit demi sedikit untuk kemudian dibawa ke luar kota, ke tempat kaum gerilya. Di sana mesin-mesin yang sudah dilepas tadi dipasang lagi, sehingga dapat berfungsi lagi untuk mendukung usaha perjuangan.

Setelah penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949, Samawi kembali ke Yogyakarta. Demikian pula mesin percetakan. Dengan demikian Kedaulatan Rakjat yang populer dengan singkatan “KR” terbit pula kembali. Samawi ditunjuk sebagai pemimpin umum, sedangkan Madikin Wonohito yang selama revolusi juga sudah menjadi “orang KR” di daerah pertempuran Purworejo dan Yogyakarta sebagai wartawan parlementer, menjadi pemimpin redaksi.

Demikianlah, sejak saat itu, Harian “KR” terus terbit dan berkembang dan identik dengan masyarakat Yogyakarta. Setelah tiga puluh tahun mengabdi sebagai pemimpin umum, pada tahun 1979 H.M. Samawi pun pensiun.

Ia tinggal hanya sebagai Direktur Utama PT BP Kedaulatan Rakyat, perusahaan yang menerbitkan “KR”. Posisinya digantikan Wonohito. Sedangkan kedudukan Wonohito sebagai pemimpin redaksi digantikan oleh tenaga yang lebih muda, Iman Soetrisno, alumnus “International Institute for Journalism” di Berlin Barat dan NSK-CAJ Fellowhip Program di Tokyo.

H.M. Samawi yang telah menjadi “Wong Jawa” itu meninggal di Yogyakarta pada 4 Juni 1984, dalam usia 71 tahun, dan dimakamkan di kampung keduanya itu. Semasa hidupnya, selain sebagai wartawan dan pemimpin “KR”, ia juga sempat menulis tiga buku: Negaraku (1950), Negara Baru di Pasifik (1958), dan 25 Tahun Kemerdekaan (1970). (Hasril Chaniago)

 

Dikutip dari buku “121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong” yang diterbitkan Panitia Pelaksana Daerah Hari Pers Nasional 2018. Biro Humas Setda Provinsi Sumatra Barat Cetakan I, Februari 2018

 



BACA JUGA