Darsjaf Rahman, Putra Pasar Mudik, Inisiator "Petisi 50"

-

Selasa, 28/12/2021 09:34 WIB

Dalam jagat kewartawanan Indonesia, Darsjaf Rahman termasuk wartawan tiga zaman yang hingga masa tuanya tetap kritis mengawasi pemerintahan.

Ia termasuk tokoh yang ikut menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” yang kemudian lebih dikenal dengan “Petisi 50” karena ditandatangani oleh 50 orang tokoh bangsa. Termasuk di dalamnya Jenderal Besar A.H. Nasution, mantan PM Mohammad Natsir, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin, dan lain-lain.

Darsjaf Rahman dilahirkan di Padang, 1 Desember 1920, satu setengah tahun lebih tua ketimbang Rosihan Anwar. Sebagai wartawan, ia sangat kenyang makan asam-garam dunia jurnalistik, sejak zaman penjajahan, masa Orde Lama hingga Orde Baru.

Berbagai jabatan di media massa dan organisadi kewartawanan pernah diembannya. Ia juga termasuk anggota pendiri PT Gunung Agung, penerbit dan toko buku paling besar di Indonesia hingga tahun 1980-an.

Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Padang, kota kelahiran dan tanah tumpah darahnya. Putra Pasar Mudik ini menjalani pendidikan HIS (SD zaman Belanda) dan MULO (setingkat SMP) di Padang. Kemudian melanjutkan ke PAMS Kweekschool di Batavia.

Pada zaman Jepang ia kuliah di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia setelah Indonesia merdeka, tapi tidak tamat. Ia juga pernah mengikuti pendidikan di East and West Summers Course di Leiden University (Belanda). Darsjaf mendapat pendidikan jurnalistik dari School of Journalism, Colombia University, Amerika Serikat, seangkatan dengan Rosihan Anwar (Pedoman).

Karier jurnalistik Darsjaf Rahman bermula sebagai redaktur Perkabaran Bahasa Indonesia Radio Jepang di Jakarta atau Jakarta Hoso Kanri Kyoku (1943-1945). Kemudian menjadi wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) setelah merdeka.

Selama masa Revolusi dan ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, Darsjaf menjadi Redaktur Surat Kabar Nasional yang terbit di Yogyakarta. Balik ke Jakarta, tahun 1947 sampai 1964 ia menjadi redaktur senior kemudian Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Mimbar Indonesia.

Ia juga salah satu wartawan yang tercatat mendirikan dan membentuk Persatuan Wartawan Indonesia di Jakarta ketika Belanda ingin kembali menancapkan kuku kolonialisnya di Indonesia. Di kepengurusan pertama PWI Jaya, Darsjaf duduk sebagai wakil ketua. Selanjutnya, pada 1951, ia menjadi Sekretaris I PWI Pusat, jabatan setingkat Sekjen PWI sekarang yang waktu itu belum ada. Selama delapan tahun, 1949-1957, Darsjaf terus menerus duduk dalam kepengurusan PWI.

Tokoh wartawan ini juga kenyang dengan pengalaman perjalanan jurnalistik ke luar negeri. Ia pernah melakukan perjalanan jurnalistik ke Amerika Serikat, berbagai negara Asia dan Eropa. Laporan perjalanannya dimuat di majalah Mimbar Indonesia.

Darsjaf juga pernah ditugasi memimpin delegasi wartawan Indonesia ke Jepang dalam rangka menjalin kerja sama persahabatan dengan pers Jepang. Anggota delegasinya antara lain Adam Malik (Antara), Nyonya Supeni (Suluh Indonesia), Suardi Tasrif (Abadi), Sanyoto (Pedoman), dan Mohammad Jusuf (Merdeka).

Sepanjang karier wartawannya, yang paling mengesankan bagi Darsjaf Rahman adalah ketika ia menjadi Pemimpin Redaksi Abad Muslimin, majalah bernapaskan Islam dan anti-PKI. Sangat mengesankan karena ketika PKI berkuasa menjelang G30S/PKI tahun 1964, banyak koran penentang PKI yang diberedel, termasuk surat kabar Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar. Pada masa itu, Abad Muslimin menjadi saluran Rosihan untuk memuat tulisan-tulisannya. Tentu saja dengan nama samaran: Muttaqien.

Darsjaf menjadi anggota redaksi Abad Muslim, yang kantornya sering digunakan untuk berkumpul wartawan dari media lainnya dan juga tokoh-tokoh hebat saat itu. Mereka antara lain Usmar Ismail, Zulharmans, Harmoko, dan tenaga baru yang baru tampil, Ed Zoelverdi. Tokoh perfilman yang juga orang awak, Djamaluddin Malik, Asrul Sani, dan Mirbach Yusa Biran, juga sering nongkrong di kantor Majalah Abad Muslimin yang sebenarnya menumpang di markas Perfini di kawasan Menteng Jakarta.

Setelah di Abad Muslimin, Darsjaf Rahman juga pernah menjadi anggota Dewan Redaksi Sari Pers dan Majalah Boss (1976-1977) serta Pemimpin Redaksi Majalah Dialog (1978-1978).

Selain sebagai wartawan dan pemimpin redaksi berbagai media, Darsjaf juga pernah menulis beberapa buku. Salah satunya adalah biografi H.B. Jassin, Antara Imajinasi dan Hukum. Jassin dan Darsjaf adalah konco lama, dan pernah terlibat dalam berbagai kerja sama, misalnya di dalam penerbitan majalah Sastra, H.B. Jassin adalah pemimpin redaksi sedangkan Darsjaf sebagai pemimpin umum.

Di samping sebagai wartawan, Darsjaf juga dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Bahkan ia, juga bergabung dengan kalangan tokoh bangsa yang kritis terhadap pemerintah di zaman Soeharto.

Dalam hal ini, ia tercatat sebagai salah satu dari 50 tokoh bangsa penanda tangan “Petisi 50” antara lain bersama A.H. Nasution, Mohammad Natsir, Ali Sadikin, dan mantan Kapolri Hoegeng Imam Sansoso. Darsjaf juga tercatat sebagai salah satu penanda tangan “Lembaran Putih Kasus Tanjung Priok” (1984) yang mengkritik perlakukan Pemerintah Orde Baru dalam “Peristiwa Tanjung Priok” yang menelan banyak korban.

Di masa tuanya, selain tetap dekat dengan dunia buku dan intelektual, Darsjaf secara tidak langsung juga menjadi aktivis prodemokrasi. Tokoh ini wafat tak lama setelah Reformasi 1998, dalam usia sekitar 80 tahun. Tapi tidak ada informasi yang sahih mengenai tanggal kematiannya.

“Saya tidak ingat kapan persisnya, tetapi sudah lama,” kata Maqdir Ismail, sesama penanda tangan “Petisi 50” ketika ditanyakan. Hasril Chaniago

 

Diambil dari buku "121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang dan Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong" (2018)

 



BACA JUGA