
Runah Produksi Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo, Kabupaten Solok. foto ssc
Laporan Nasrul Azwar
SATU ekor gajah tak akan bisa ditangkap oleh satu orang saja. Tapi jika bersama-sama dengan membagi peran dan bekerja kolektif-kolaboratif, yang besar pun bisa diatasi.
Filosofi inilah yang melandasi lahirnya Zona Hijau, sebuah sistem pembagian kerja dan tanggung jawab serta partisipasi warga di Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat—merupakan strategi sosial yang kini menjadi tonggak lahirnya kemandirian warga. Pola dan sistem zona ini, salah pemicu akselerasi kebangkitan warga Jorong Tabek m,enuju masyarakat sejahtera dan mandiri.
Zona Hijau dimulai pada tahun 2016. Awalnya tak banyak mendapat respons dari warga, tapi dalam waktu yang terus bergerak, dan melihat serta merasakan kemanfaatannya, sistem sosial ini berterima. Pemakaain diksi “hijau” dikesankan memberi pemaknaan keasrian dan alamiah.
Dalam implementasinya, Zona Hijau ini bukan sekadar pembagian administratif. Ia adalah sistem sosial yang fleksibel. Wilayah Tabek dibagi ke dalam sebelas zona, masing-masing berisi sekitar 40-50 kepala keluarga. Setiap zona memiliki koordinator yang bertanggung jawab atas seluruh aspek kehidupan masyarakat: lingkungan, kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, hingga kegiatan ekonomi.
“Awalnya berat. Dua tahun pertama hanya dua orang yang mau ikut. Tapi ketika kami mulai berbagi peran dan mempercayakan tanggung jawab ke masing-masing zona, semua berubah. Semuanya jadi lebih dekat dan mudah dikomunikasikan,” cerita Kasri Satra, inisiator dan Ketua Kampung Berseri Astra (KBA) Tabek saat bincang-binca1ng dengan sumbarsatu di ruang majelis guru MIS (Madrasah Intidaiyah Swasta) Mualimin Tabek, Minggu 3 Agustus 2025.
Dengan pendekatan ini, paparnya, pembangunan dan pelayanan sosial menjadi lebih cepat. Ketika ada yang sakit, bantuan segera datang. Ketika jalan rusak atau masjid butuh perbaikan, masing-masing zona langsung bergerak. Bahkan data-data warga, dari kelahiran hingga kematian, terpantau harian melalui sistem zona ini.
“Prinsip gotong-royong dan transparansi inilah yang membuat solidaritas antarwarga tumbuh kuat. Hal ini ditujukkan dengan hadirnya koperasi milik warga Tabek yang kini telah memiliki aset belasan miliaran rupiah dan mampu menopang aktivitas masyarakat tanpa ketergantungan pada lembaga luar, seperti bank,” terang Kasri Satra yang juga guru pendidikan jasmani olahraga kesehatan (PJOK) di MIS Maualimin itu.
Kemandirian Jorong Tabek tak hanya lahir dari sistem zona, tapi juga dari filosofi hidup yang mereka pegang teguh: memberi itu menerima. “Saat kita memberi, walau sedikit, Tuhan akan mengembalikannya dengan sesuatu yang lebih besar,” tambahnya.
Dampak dari sistem zona ini sangat besar. Tak heran jika kini Tabek tak lagi dikenal karena kemiskinannya, tapi justru dipelajari banyak pihak karena inovasi sosial dan ekonominya. Jorong Tabek telah berhasil membuka ruang-ruang inspirasi berbagai kalangan. Tak sedikit jumlahnya, banyak desa-desa lain yang melakukan studi tiru, lalu mengadopsi program-program dan sistem kerja yang telah berkembang dengan baik, dari pengelolaan sampah hingga bank sampah, dari produksi gula semut, kopi bubuk, sirup aren hingga keripik kolang-kaling dan kolam ikan, gula tebu, semua tumbuh dari inisiatif masyarakat.
Kolam ikan, misalnya, tak hanya jadi tempat rekreasi, tapi juga ruang musyawarah warga. Rumah Pintar bukan sekadar tempat sebagai taman bacaan masyarakat semata, tapi pusat gagasan dan inovasi. “Semua tempat di Tabek memiliki makna dan sejarah perjuangan warga yang ditulis dengan peluh dan air mata.”
Tak berapa jauh dari Rumah Pintar, MIS Mualimin Tabek—termasuk sekolah terbaik di Kabupaten Solok—hadir bukan sekadar semata tempat belajar anak peserta didik, melainkan menjadi ruang publik yang hidup bagi warga Jorong Tabek. Di sinilah denyut pendidikan keagamaan dan kecintaan kebudayaan ditanamkan kepada generasi mudanya.
Hal ini terlihat ketika lebih dari 60 jurnalis, fotografer, blogger, kreator konten, pihak dari PT Astra Internasional dari berbagai latar belakang berkunjung dalam rangkaian program Anugerah Pewarta Astra 2025. Tujuan mereka satu: melihat langsung transformasi dan kemajuan yang dicapai Jorong Tabek—kampung kecil yang kini dikenal luas karena kemandiriannya.
Rombongan ini berangkat dari Kota Padang saat fajar masih menggeliat berjarak lebih kurang 80 km dengan estimasi durasi perjalanan 3 jam. Setibanya di Jorong Tabek, rombongan disambut penuh sukacita. Denting talempong mengalun, dan tari Piring dan dilanjutkan tari Pasambahan nan anggun dari para penari Sanggar Titik Mayang Tabek menyambut kedatangan para tamu. Sebuah penghormatan khas Minangkabau yang menggambarkan adat dan rasa hormat kepada siapa pun yang datang membawa niat baik. Sirih dalam carano yang dibawa penari pun dikecap tetamu yang dimuliakan.
Sirih dalam carano sebagai bentun penghormatan kepada para tetamu dengan menampilkan tari Pasambahan yang dibawakan Sanggar Titik Mayang Tabek, Minggu, 3 Agustus 2025. foto ssc
MIS Mualimin terlihat tak hanya menjadi tempat perjumpaan antara warga dan pewarta, tapi menjadi simbol dan representasi kemajuan kampung ini. Di tempat inilah narasi tentang perubahan, kreativitas, dan kolaborasi menemukan panggungnya.
Dahulu, tempat belajar anak-anak hanyalah sebuah bangunan darurat—"sekolah kandang kuda” istilahnya— karena berada di rumah guru tua yang sudah tak layak dan ditutup dengan kawat ayam.
“Seringkali mereka diusir karena menempati ruang yang bukan milik sendiri. Mereka pindah-pindah, dari rumah guru ke musala, lalu ke tempat lain, dengan fasilitas seadanya. Bahkan, semua peralatan belajar harus dipinjam dari sekolah lain,” terang Kasri Satra.
Namun, semangat tak pernah padam. Warga saling bergandeng tangan. Kini, sekolah di Tabek telah menjadi salah satu sekolah terbaik di Kabupaten Solok. Dulu, murid datang hanya satu dua hari, lalu tak kembali. Kini, sekolah ini menjadi tujuan utama.
“Murid-muridnya terbanyak di Kecamatan Hiliran Gumanti, bahkan ruang kelas yang tersedia sudah tak mencukupi. Di balik kemajuan ini, tersimpan kisah kegigihan dan solidaritas warga yang tak menyerah meski berkali-kali tertolak,” kata Yasrul, Wali Jorong Tabek.
Bagi warga Tabek, perjalanan panjang dan kondisi serba terbatas beberapa puluh tahun lalu, telah mengajarkan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari kemewahan, tetapi dari kesadaran, kolaborasi, dan tekad bersama. “Dari sampah menjadi berkah. Dari kandang kuda menjadi pusat ilmu. Dari olok-olok menjadi inspirasi.”
KBA Tabek yang Menginspirasi
Sementara Rananggana Rayidhea, Media Relation Asra International mengisahkan, Jorong Tabek adalah satu dari lebih dari 1.500 Kampung Berseri Astra (KBA) yang tersebar di seluruh Indonesia. Program ini tak sekadar memberi bantuan, tapi membina masyarakat berdasarkan potensi lokal.
“Ini bukan soal besar atau kecilnya bantuan dari Astra, tapi soal kepercayaan dan keberanian bermimpi,” ujar Rananggana Rayidhea, dari Media Relations Astra. “Capaian, kekompakan, dan keras hati masyarakat Tabek untuk maju dan sejahtera semoga menjadi kisah yang menginspirasi kampung-kampung lain di Indonesia.”
Rananggana bercerita, pada akhir 2015 PT Astra International Tbk. melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) meluncurkan Kampung Berseri Astra (KBA) di Jorong Tabek. Program ini dirancang untuk memberi dampak positif bagi masyarakat di empat bidang utama: pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi.
“Setelah melalui berbagai kajian dan pembacaan potensi lokal, Jorong Tabek dipilih masuk dalam program kami,” jelasnya. “Secara umum, kami membedakan Kampung Berseri Astra dan Desa Sejahtera Astra berdasarkan pendekatan dan fokus utama di lapangan.”
Rananggana menjelaskan, Kampung Berseri Astra (KBA) diarahkan pada pengembangan berkelanjutan berbasis empat pilar: pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan. Sementara Desa Sejahtera Astra (DSA) lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama sektor UMKM, produk unggulan lokal, dan pariwisata.
“Misalnya, jika sebuah desa punya kekuatan di sektor pariwisata, maka pembinaannya akan diarahkan ke penguatan infrastruktur dan pelatihan pariwisata. Kalau unggul di produksi, kami fokuskan pada pengemasan, branding, hingga pemasaran produk,” paparnya.
Ketika ditanya soal anggaran, ia menyebut tidak ada patokan angka yang sama untuk setiap lokasi. Semua program disesuaikan dengan kebutuhan spesifik kampung tersebut. “Kami tidak memberi dana besar di awal. Kami membina apa yang sudah ada. Dana dan dukungan datang bertahap, seiring dengan komitmen dan kesiapan masyarakat lokal,” tambahnya.
Menurut Rananggana, baik KBA maupun DSA lahir dari komitmen Astra untuk membina kemandirian ekonomi kampung-kampung di seluruh Indonesia. “Hingga tahun ini, kami sudah membina lebih dari 1.500 kampung di 34 provinsi,” ujarnya. “Salah satunya adalah Tabek ini.”
Ia menambahkan, proses awal pembinaan biasanya dimulai dari Tunas Kampung Berseri, semacam tahap perkenalan selama lima tahun. Di sini, Astra melihat potensi, menguji komitmen masyarakat, dan memastikan keberlanjutan gerakan. “Kami mencari kampung yang tidak hanya punya potensi, tapi juga penggerak lokal yang kuat,” tandasnya.
Bagi Rananggana Rayidhea, keberhasilan Jorong Tabek membuktikan bahwa kunci perubahan ada pada kemauan masyarakat lokal yang kuat. “Keberhasilan ini bukan semata hasil bantuan, tapi buah dari proses panjang dan kegigihan masyarakat,” ujarnya penuh keyakinan. “Jika semangat itu tumbuh di tempat lain, saya percaya banyak Tabek-Tabek baru akan muncul di seluruh Indonesia.”
Ia menegaskan, program Astra bukanlah sekadar memberi bantuan, melainkan pembinaan berkelanjutan. “Kami membina apa yang sudah ada. Kami ingin menguatkan potensi lokal yang telah tumbuh, bukan memulai dari nol,” tandasnya.
Menurutnya, pemberdayaan harus dilihat bukan sebagai belas kasihan, melainkan kolaborasi dan penataan dan pemanfaatan potensi yang ada. Tata kelola dan dikstrubusi kita bantu, sekalian membangun relasi dan konetivitas jejating dengan pihak lain. Di Tabek, kolaborasi itu nyata: dari kampung yang dulu termiskin, kini menjelma menjadi inspirasi nasional.
Kasri Sasta, mengaku momen kehadiran Astra menjadi titik balik. “Mereka hadir saat kami lelah, saat kami terluka, saat kami merasa sendirian,” kenangnya. “Astra datang dan bertanya: dari sisi mana kami bisa membantu?”
Salah satu jawabannya adalah di bidang pendidikan. Saat warga kesulitan membiayai sekolah anak-anak, Astra menyalurkan beasiswa. Bagi penerimanya, beasiswa itu lebih dari sekadar bantuan biaya. “Kami selalu bilang, suatu hari kamu harus jadi orang besar, kembali mengabdi ke kampung ini,” kata Kasri. Hasilnya mulai terlihat: banyak penerima beasiswa kini kuliah, bahkan ada yang melanjutkan pendidikan hingga ke luar negeri, membawa semangat gotong royong yang sama.
Dukungan juga mengalir ke pelatihan UMKM, penguatan lingkungan, dan sektor kesehatan. “Mereka tidak menggantikan kami, tapi melengkapi di titik-titik yang belum kami sanggupi,” ungkap Yasrul, warga setempat. “Itu yang membuat rasa memiliki dan keberlanjutan program ini semakin kuat.”
Perubahan pun terasa. Perekonomian warga mulai stabil, dan anak-anak muda tak lagi meninggalkan kampung. Sebaliknya, mereka memilih tinggal, berkarya, dan bahkan membuka lapangan kerja di tanah kelahiran. Tabek tak lagi sekadar sebuah jorong di dataran tinggi Solok—ia telah menjadi simbol bahwa mimpi besar bisa tumbuh dari desa kecil, asal dijaga dengan kerja bersama.
Ruang Gagasan dan Inspirasi
Tak jauh MIS Mualimin, berdiri indah dak arsitektur khas Minangkabau, rumah panggung berukuran 4x20 meter. Atapnya bergonjong. Bangunan itu seperti lumbung padi raksasa tapi bukan. Warga Tabek memberi nama Rumah Pintar. Dibangun secara gotong royong pada 2019. Tiang bangunan itu dari batang aren. Beruyung dan kuat yang banyak tumbuh di kampung ini.
“Batang aren atau enau itu ditebang di kaki bukit. Satu batang membutuhkan lebih kurang 50 orang membawanya ke lokasi bangunan ini. Dikerjakan dengan gotong-royong semua warga di Tabek ikut. Tiang-tiang yang kuat dan kokoh itu menyangga komitmen yang dihasilkan dari dalam Rumah Pintar,” kata Yasrul, Kepala Jorong Tabek.
Kini, bangunan itu jadi menjadi simbol kebangkitan Tabek. Di sinilah program edukasi bagi anak-anak didik untuk membaca, belajar adat, dan kegiatan lainnya. “Bangunan ini sebagai taman bacaan masyarakat. Gerakan literasi di Jorong Tabel sudah berkembang sejak kehadiran Rumah Pintar ini,” tambah Yasrul.
Selain taman bacaan, Rumah Pintar juga berfungsi sebagai ruang jamuan makan bajamba bagi tetamu. Makan bajamba dalam tradisi adat budaya Minangkabau adalah makan bersama dengan cara duduk melingkar dan menyantap hidangan yang diletakkan di tengah, biasanya dalam satu nampan besar tanpa menggunakan piring sendiri-sendiri.
Pemaknaan lebih jauh, makan bajamba bukan sekadar makan, melainkan simbol kebersamaan, persaudaraan, dan egalitarianisme. Biasanya dilakukan dalam konteks adat, kenduri, acara keluarga, atau situasi yang menjunjung nilai gotong-royong.
“Para tamu bisa menikmati hidangan bajamba—tradisi makan bersama khas Minangkabau—sambil mendengar kisah tentang leluhur kampung yang dulu hidup selaras dengan keindahan alamnya. Sembari menikmati kopi panas khas Tabek setelah makan bajamba,” terang Yasrul.
Gula Semut, Gula Harapan
Di teras kelas MIS Mualimin, dengan memanfaatkan meja belajar murid, tersusun rapi kemasan 200 gram gula semut, buah tangan dari kerja keras warga. Selain gula semut, ada juga perbagai jenis makanan olahan dari kekayaan alam Tabek: kerupuk pisang lidi, kerupuk kolang-kaleng, dijajakan kepada rombongan. “Bawalah oleh-oleh dari Tabek ini, Pak. Ada juga kopi khas Tabek,” kata Yani kepada penulis.
Seorang pelaku UMKM di Jorong Tabek sedang memproduksi gula semut yang telah menggunakan teknologi modern dengan pengeringan lewat oven. Sebelumnya, dilakukan secara manual dan tradisional. UMKK begini jumlahnya puluhan di Jorong Tabek. foto iggoy El Fitra
Gula semut berasal dari sadapan pohon-pohon aren di kaki Bukit Barisan berupa air nira. Lalu direbus selama berjam-jam, dikeringkan menjadi butiran-butiran. “Setiap butir gula ini adalah hasil kerja keras warga. Kami menyebutnya gula harapan,” tutur Yasrul.
“Pada awal-awal, gula semut mampu diproduksi sekitar 24 kilogram per bulan. Setelah modernisasi dan Asra mendorong penggunaan teknologi untuk memproduksinya, kita sudah mampu memproduksi hampi 1 ton sebulan. Keunggulan gula semut dari Tabek adalah tingkat ketahananya bisa mencapai 1 tahun tanpa bercendawan,” sebut Yasrul.
Menurut Kasri Satra, beragam inisiatif ekonomi yang memanfaatkan kembali sumber daya alam sekaligus mengurangi limbah dan polusi, konsep ini menjadi pijakan bersama dalam pengembangan berbagai produksi di Tabek.
Ia menyebutnya sebagai penerapan ekonomi sirkuler, sistem rantai kegiatan yang saling terhubung, dari hulu ke hilir, demi menciptakan nilai baru. Salah satunya yang mendekati sistem ini adalah gula semut aren. Prisinsip ekonomi sirkuler sudah dijalankan dengan sangat baik di Tabek.
“Barang yang rusak diperbaiki, bukan dibuang. Sampah dikumpulkan lalu dio;ah. Limbah diolah menjadi bahan baku baru. Bank sampah jenis organic memiliki peran penting. Sekarang masyarakat sedang mengembangkan budi daya magot dari limbah organik,” tuturnya.
Selain itu, sistem produksi gula semut yang bahan bakunya berasal dari nira pohon enau yang tumbuh subur di dataran tinggi Tabek juga menerapkan ekonomi sirkuler dan ramah lingkungan. Prosesnya dimulai dengan teknik unik: memukul pangkal bunga pohon enau untuk merangsang aliran nira, lalu menampungnya di bambu. Nira yang terkumpul kemudian dimasak menggunakan oven berbahan bakar gas, hingga berubah menjadi bubuk manis beraroma khas.
Usaha ini kini digarap oleh lebih kurang 30 kepala keluarga. Produksinya bervariasi, dari 10–20 kilogram per hari, bahkan pernah tembus 50 kilogram per hari ketika musim dan cuaca bersahabat. Dalam sebulan, kapasitas optimal bisa mencapai 1.000 kilogram. Sebenarnya masih bisa ditingkatkan, apalagi peluang pasar untuk gula semut sangat menjanjikan,” ujarnya.
“Keunggulan gula semut Tabek tak hanya soal rasa, tapi juga soal asal-usulnya. Pohon enau di sini tumbuh di ketinggian di atas 1.500 meter dengan suhu sejuk 18–24 derajat Celsius—kondisi yang menghasilkan kadar gula lebih tinggi dan tekstur lebih halus. Dari akar hingga aroma, semua adalah hasil karya alam yang berpadu dengan keterampilan tangan warga,” urai Kasri Satra.
Koperasi Urat Nadi
Di Jorong Tabek tak ada Koperasi Merah Putih yang sedang digalakkan pemerintah pusat. Di sini sudah ada koperasi yang dibesarkan dengan keringat dan kerja keras warga. Sistemnya benar-benar kebersamaan dan kegotongroyongan. Koperasinya sebagai urat nadi utama ekonomi dan tata kelola aktivitasnya dalam satu pintu yang bernama Koperasi Serba Usaha dan Ekonomi Desa (KSU ED) Tabek dengan unit utama usaha simpan pinjam dan sewa menyewa peralatan berupa mesin giling tebu, aksesorism pakaian berhelat, dan pelaminan.
Kini, eksistensi KSU ED Tabek jadi urat nadi dan tonggak penting dalam perjalanan menuju kesejahteraan dan kemandirian warga. Koperasi ini benar-benar yang inheran dengan denyut ekonomi warga. “Uang hasil simpan pinjam dan usaha bersama dikembalikan sepenuhnya ke masyarakat. Setiap rupiah harus kembali ke warga. Kalau ada yang butuh biaya berobat, koperasi bantu. Ada acara adat atau keagamaan, koperasi dukung,” kata Kasri Satra, KSU ED Tabek.
Berkat prinsip transparansi dan gotong royong, koperasi Tabek kini punya aset lebih-kurang Rp17 miliar dan menopang kebutuhan warga tanpa bergantung pada bantuan luar. “Memberi itu menerima. Prinsip ini jadi dasar etika sosial warga Tabek,” jelasnya.
Taufik Effendi: Tabek Memang Gemilang
Atas capaian gemilang Jorong Tabek dalam memajukan ekonomi warga melalui konsep ekonomi sirkuler dan semangat kebersamaan, Taufik Effendi memberikan apresiasi positif. Kini ia menjabat Kepala Bappeda Solok Selatan, namun sebelumnya Taufik pernah menempati sejumlah posisi strategis, seperti Kepala Bappeda Kabupaten Solok dan Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.
Perjalanan panjang dalam birokrasi itu memberinya pengalaman luas dan pemahaman mendalam tentang proses berkembangnya Jorong Tabek. Menurutnya, daerah ini memang tidak bisa hanya bergantung pada hasil sawah untuk menopang kehidupan warganya karena lahan persawahan berada di lereng bukit sehingga hasil panen tidak optimal.
“Untunglah, sejak dahulu masyarakat Tabek sudah memiliki alternatif penopang ekonomi: gula enau (brown sugar). Dahulu gula enau Tabek diolah dengan teknologi sederhana dan tanpa kemasan. Kini, berkat inovasi dan peningkatan mutu, gula enau tersebut menjadi pilihan pemanis kopi di berbagai kafe, hotel, dan rumah tangga,” kata Taufik Effendi kepada sumbarsatu.
Menurut Taufik Effendi, keberhasilan produksi gula semut di Jorong Tabek tidak lepas dari penerapan teknologi, baik dalam pengolahan maupun pengemasan, serta tata kelola manajemen pemasaran dan distribusi yang baik. Semua itu, ujarnya, tak bisa dipisahkan dari peran dan perhatian Astra Internasional melalui program Kampung Berseri Astra (KBA) di Jorong Tabek.
“Kehadiran program KBA di Jorong Tabek memberikan kontribusi yang sangat penting. Sejak program ini masuk pada akhir 2015, produksi dan tata kelola gula aren telah menunjukkan perkembangan positif. Kini, gula semut atau gula aren hasil produksi rumahan usaha kecil di sini sudah mampu memasok permintaan hotel-hotel di Sumatera Barat dan provinsi lain. Perputaran uang di sektor ini cukup besar, bisa mencapai miliaran rupiah per bulan,” terang Taufik Effendi, yang berasal tak jauh dari Nagari Talang Babungo.
Secara administratif, Jorong Tabek berada dalam wilayah adat selingkar nagari dan pemerintahan Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Luas nagari ini sekitar 8.514 hektare dengan tujuh jorong: Tabek, Talang Timur, Talang Barat, Taratak Jarang, Bulakan, Silanjai, dan Taratak Dama. Sebanyak 85 persen masyarakat Nagari Talang Babungo bermata pencaharian sebagai petani, termasuk warga Jorong Tabek. Selain pohon enau, Tabek juga memiliki kebun tebu terluas di Talang Babungo, dengan total area sekitar 35 hektare. Potensi kedua sumber daya alam ini mampu menggenjot ekonomi warga Tabek menuju kemandirian.*