-
“Ah, itu berita koran saja...” Pernyataan demikian belakangan mulai hilang pelan-pelan. Biasanya, berasal dari orang-orang yang meragukan informasi yang disiarkan koran. Atau paling tidak, mereka pernah “dimainkan” berita bohong. Akibatnya, image yang terbangun seperti itu tadi ketika informasi yang disiarkan koran senantiasa dipertanyakan akurasinya.
Ada keraguan dan rasa ketidakpercayaan?
Pembaca, bila selama ini, kita mengenal istilah populer uji publik dan debat publik, maka untuk pers, istilahnya media publik. Kalau uji publik, tekanan cenderung pada produk, seperti rancangan perundang-undangan dan sejenisnya yang akan diundangkan. Debat publik, biasanya tokoh dengan visi-misinya dalam sosialisasi. Sedangkan media publik, menegaskan, bahwa hari ini, publik yang menentukan eksistensi sebuah media.
Media yang hadir mencerahkan dan mencerdaskan akan dekat dengan publik, sebaliknya media yang asal jadi, apalagi berita tak akurat dijauhi, publik bahkan akan “membredelnya”.
Maka, frase ”ah itu berita koran saja...,” menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola media. Tantangan dengan menunjukkan kepada publik, bahwa informasi yang dikemas dengan data dan fakta bisa dipertanggungjawabkan. Beritanya bisa diuji, bisa diperdebatkan dan informasi yang muncul berarti bagi kepentingan publik.
Itulah sebabnya untuk meyakinkan orang banyak, liputan yang dikemas media, tidak sekadar informasi singkat namun diperkuat dengan latar belakang, bahkan siapapun yang ada di sekeliling objek di suruh bicara. Siapa kira, misalnya, Mbah Marijan tiba-tiba menjadi top, padahal sebagai pemegang kunci Gunung Merapi di Yogya selama ini tak dikenal. Media, tampil komprehensif, sehingga mampu menjelaskan totalitas aktivitas serta orang-orang yang terlibat dengan menunjukkan peran masing-masing.
Memang masih banyak yang tak kuat dikritik media. Padahal pers kritis itu pertanda pers yang peduli pada potensi, dan menginginkan sesuatu yang lebih baik, sekaligus agar tak ada yang didustakan di tengah-tengah kita. Apalagi, sekarang kita hidup di alam transparansi, semestinyalah kritik ditanggapi dengan hati lapang. Beda bila, apa yang disiarkan tidak proporsional. Memang ada hak untuk mendebatnya, melakukan serangan balik.
Biasanya pengelola media sangat arif. Mereka tidak mau konyol dengan menampilkan berita asal jadi. Ini menyangkut kredibilitas, penampilan dan masa depan dari media tersebut. Wartawannya harus profesional dan beretika agar tetap bisa hidup, mampu bertahan dan dekat dengan publik namun selain kritis, media juga harus jauh dari boncengan kepentingan pihak tertentu.
Maiyoan nan nan dek inyo, malaluan nan dek awak? Sebab, sebagai lembaga bisnis, media pun harus berpikir menjawab kebutuhan publik sesungguhnya. Bukan kelompok.
“Ah, itu hanya berita koran saja...” Istilah tersebut hari ini sudah berubah dan sebuah jawaban kritisnya ialah “kalau sudah diberitakan koran, berarti itu informasi valid...” Sekaligus mengisyaratkan, media sebagai lembaga yang dipercaya, karena akurasi berita dan komitmen pengelolanya yang sudah teruji.
Dan, tak syak lagi, belakangan, publik mengadu ke media, ketika melihat hal-hal yang tak beres untuk dikiritisi agar jangan sampai ada yang terlena dan mabuk kekuasaan. Bahkan, ada yang melapor ke media ketika ada orang hilang, selain, kita lihat juga publik mempercayai media untuk menghimpun dana sosial, dan dana untuk saudara-saudara kita korban bencana alam. Media dipercaya! (*)