
Heru Joni Putra tampil sebagai pembicara dalam diskusi pertunjukan dalam Gelar Karya Budaya Festival Bumi 2021, Selasa (9/11). Diskusi dilangsungkan di Teater Arena ISI Padang Panjang yang dimoderatori Kurniasi Zaitun. (Dok. Rs Putra)
Padang Panjang, sumbarsatu.com—Kegiatan Gelar Karya Budaya Festival Bumi 2001 Selasa (9/11/2021) menghadirkan diskusi usai pertunjukan. Tema yang diusung adalah teater polifonik. Pandangan ini melihat bagaimana naskah Wisran Hadi diterjemahkan hari ini.
Dalam pandangan Heru Joni Putra (HJP), narasumber pemantik diskusi, naskah “Kemerdekaan” yang sudah berumur hampir 20 tahun diuji dalam konteks kekinian. Isunya masih penting karena ditulis pada masa Orde Baru.
“Mengapa naskah itu masih dipentaskan? Bukan karena naskah itu tidak layak,” tanya Heru memulai diskusi yang dimoderatori Kurniasih Zaitun itu.
Polifonik yang dimaksud adalah bagaimana sutradara-kritikus berperan dalam melihat naskah. Namun, ini harus dilandasi dengan pemikiran logis.
“Karena kalau diacak-acak tidak sesuai nalar. Di sini intelektual harus bagian terdepan dalam melihat naskah itu ,” terang Heru Joni Putra.
Diskusi menghangat. Bergantian penanya mangajukan argumen atau memperpanjang serta merespons pikiran pemantik diskusi itu.
“Saya penasaran, seandainya memang naskah Pak Wis diacak, bagaimana tanggapan beliau?” tantang Abdul Hanif, alumni ISI Padang Panjang yang menyempatkan hadir dalam acara itu.
Khusus untuk pertunjukan, Heru Joni Putra berpendapat, kedua pementasan yang membawa naskah “Kemerdekaan” dan “Nurani” pada hari ketiga GKB ini belum menghasilkan teater polifonik yang dimaksud.
Pertunjukan dari Pekanbaru
Hari terakhir, GKB Festival Bumi Rabu (10/11/2021) menampilkan Teater Batuang Sarumpun dari Padang dan Teater Selembayung dari Pekanbaru. Teater Batuang Sarumpun mengangkat naskah Wsiran Hadi “Perempuan Salah Langkah” dan Teater Selembayung mengusung “Penjual Bendera”.
Adegan naskah "Nurani" yang dipentaskan Teater Binggo Padang Panjang di Teater Arena ISI Padang Panjang Selasa (9/11). Dok. LBK
Sutradara Fedli Azis dari Selembayung memilih “Penjual Bendera” karena rasa keindonesiaan yang kental dalam naskah tersebut
.”Saya kaget juga Pak Wis menulis naskah dengan tema seperti ini,” ujar lulusan Universitas Lancang Kuning ini.
“Ini menunjukkan, betapa luasnya jangkauan tema pada naskah Pak Wis. Tidak hanya Minang atau Melayu,” Ia juga menulis tentang Hikayat Hang Tuah menjadi naskah drama berjudul “Senandung Semenanjung,”” kata Fedli Azis.
Sementara Yenny Ibrahim, perempuan sutradara dari Batuang Sarumpun, keinginan untuk mementaskan naskah Wisran sudah cukup lama. Ia sempat berganti naskah. “Dua tahun lalu saya membaca “Titian”. Lalu, “Roh”. Namun, “Perempuan (Salah Langkah)” jadi pilihan. Ini saya sesuaikan dengan kondisi grup yang tidak mempunyai banyak opsi untuk aktor. Sewaktu memilih “Roh” saya memiliki banyak pemain, tapi karena pandemi, satu per satu mundur,” terang Yenny.
Pemilihan kedua grup memang berlandaskan pada keinginan panitia untuk memberi tatapan baru pada naskah Wisran Hadi. Kemudian, wilayah juga masuk perhitungan sehingga Pekanbaru dipilih sebagai salah satu tempat.
“Ini juga disesuaikan dengan anggaran yang ada,” ujar Trikora Irianto, Direktur Produksi, Rabu (10/11/2021).
Usai pementasan hari ini, seluruh pementasan akan diunggah di YouTube Lembaga Bumi Kebudayaan. Delapan pertunjukan akan menjadi bahan calon peserta untuk mengikuti Lomba Esai Nasional. Lomba ini jadi bagian program Festival Bumi kali ini. SSC/Rel