Muhamad Radjab Sutan Maradjo, Dipuji Pengarang Perancis

-

Kamis, 07/10/2021 06:25 WIB
Muhamad Radjab  Sutan Maradjo-dok tempo

Muhamad Radjab Sutan Maradjo-dok tempo

Dia menjadi sangat terkenal karena menulis buku Semasa Kecil di Kampung yang juga diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Rusia. Tetapi sesung­guhnya dia adalah seorang wartawan yang bekerja di Kantor Berita Antara hingga akhir hayatnya. Namanya Muhamad Radjab Sutan Maradjo, ber­asal dari Nagari Sumpur di tepian Danau Singkarak, Kabupaten Tanah Datar.

Nama Muhamad Radjab masuk dalam buku Jagat Wartawan Indonesia (JWI) yang ditulis wartawan senior Antara Soebagjo I.N. (PT Gunung Agung 1981). Radjab dilahirkan di kampungnya pada  1913, dan meninggal di Padang 16 Agustus 1970 dalam perjalanan pulang kampung untuk mengikuti Seminar Sejarah dan Budaya Minangkabau di Batusangkar, di mana seminar itu juga dihadiri mantan Wakil Presiden Bung Hatta, Buya Hamka, dan Dr. Bahder Djohan sebagai Ketua Panitia.

Ibu Mahamad Radjab meninggal ketika ia baru berusia terhitung bulan. Penyebabnya karena wabah kolera yang melanda kampung­nya ketika itu. Ayahnya kawin lagi. Tapi ibu tirinya ternyata wanita yang budiman, ia menyayangi dan mengasuh Radjab dengan baik. Malam-malam dibacakan cerita dongeng. Memasuki usia kanak-kanak, ia disekolahkan ke pesantren, belajar mengaji di surau, dan berlajar silat dari kakeknya yang seorang guru silat. Tapi bila malam hari ia tidur di surau, karena kalau tidur di rumah akan dicemooh oleh kawan-kawannya.

Pengalaman masa kecil itulah kemudian yang ditulis Radjab dalam buku Semasa Kecil di Kampung yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1950-an. Sebuah buku yang amat menarik, dan kemudian oleh seorang kenalannya diterjemahkan lalu diterbitkan dalam bahasa Rusia.

Setelah mendapat pendidikan di sekolah rakyat dan belajar agama di kampungnya, Radjab meneruskan ke Sekolah Normal Islam di Padang. Seperti ditulis oleh Soebagjo, Muahamad Radjab mening­galkam kampung halamannya sekwaktu dia berusia 21 tahun setelah ia cekcok dengan kakak kandungnya yang memaksanya menjadi guru agama. Menurut Radjab, menjadi guru agama tidak ada hari depannya. Gajinya mulai bekerja sampai tua nanti akan tetap 7,50 perak. Karena membantah kehendak sang kakak, maka si Radjab lalu diperintahkan menunggu dagangan kakaknya itu. Harus menunggui ikan asin di pasar.

Pekerjaan itu sebenarnya kurang serasi dengan kehendak anak muda ini. Tapi ada juga sedikit yang menyenangkan hatinya. Sebab, di antara bungkus-bungkus ikan asin itu ternyata ada koran-koran yang memuat tulisan-tulisan yang menarik hatinya. Artikel-artikel itu diguntingi dan dikumpulkannya. Dewasa itu Radjab sudah tahu mana artikel yang bagus, yang berisi serta yang berguna. Sebab, dia sudah menguasai sedikit-sedikit bahasa asing: Jerman, Inggris dan Belanda yang diperolehnya dari Sekolah Normal.

Dalam tahun 1934 itu Radjab sudah mulai menulis, dan artikelnya dia kirim ke Harian Persamaan yang terbit di Padang. Tapi karena hubungannya yang kurang baik dengan abangnya itu, ia tidak senang tinggal di kampung dan hendak merantau ke Jawa. Berbekal uang 25 perak yang ia curi dari kedai kakaknya, ia pun berangkat ke Batavia. Turun dari kapal di Tanjung Priuk, Radjab belum jelas tujuannya. Tak tahu di mana akan menginap. Setibanya di Senen, ia bertemu dengan orang awak yang punya toko tekstil di sana, namanya Mohamamd Taher. Dia minta izin ikut di situ, dan turut menjaga tokonya. Dari situ ia masih meneruskan membantu surat kabar Persamaan di Padang dengan mengirimkan tulisan-tulisannya.

Tinggal di Jakarta membuka banyak kesempatan bagi Radjab. Ia bisa membaca banyak buku. Menelaah teori Darwin, juga tentang teori inkarnasi, hingga filsafat juga dibacanya.  Alhasil ia  mendapat tambahan pengetahuan dan kekayaan rohaniah. Merasa sudah mampu untuk menjadi penulis dan wartawan, tahun 1935 Radjab pindah ke Bandung dan bekerja sebagai redaktur di majalah bulanan Persatuan Hidoep yang dipimpin Soekirlan.Gajinya limabelas perak, dan sebagian ia simpan untuk meneruskan sekolah di Middlebare School (setingkat SMA) partikelir kepunyaan Ir. V Leeuwen.

Bekerja di majalah dan melanjutkan sekolah itu ia jalani hingga Jepang masuk tahun 1942. Ketika Jepang, Radjab mengungsi ke Pondok Kaso, Cicurug. Dalam pengungsian itulah ia bertemu Mr. Soejitno Mangoenkoesoemo, salah seorang saudara Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.  Di Pondok Kaso yang dimiliki seorang Belanda bernama J.H. Ritman, terdapat lebih kurang dua ribu judul buku. Ini tentu saja menarik bagi Radjab yang memang gemar membaca. Setelah Pondok Kaso diserbu Jepang, Radjab mengikuti Mr. Soejitno kemana pun pergi. Bahkan Mr. Soejitno mengangkat Radjab sebagai guru bahasa Indonesia untuk anak-anaknya yang sebelumnya tidak bisa berbahasa Indonesia.

Lewat perantara Mr. Soejitno pulalah kemudian Radjab berkenalan dengan Adam Malik yang ketika itu memimpin bagian Indonesia di Kantor Berita Domei –sebelumnya bernama Antara. Radjab pun bekerja di Domei setelah lulus tes menerjemahkan berita bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dia ditempatkan di Bagian Karangan yang dipimpin Albert Manumpak Sipahutar.

Selama masa pendudukan Jepang Radjab terus bekerja di Domei. Bahkan setelah Proklamasi, dan namanya kembali menjadi Antara, Radjab pun tetap bekerja di sana dan ikut menyebarkan berita Proklamasi ke seluruh tanah air. Kemudian, bersama-sama Mohammad Basri dan Ali Mochtar, Radjab menerbitkan Indonesia Bulletin yang isinya diambil dari berita-berita Antara. Buletin itu dicetak di Balai Pustaka.

Setelah Jakarta diduduki NICA, Antara memindahkan kantor pusat ke Yogya. Radjab bersama awak Antara lainnya juga ikut mengungsi. Mulanya ke Yogya, lalu ke Solo dan Malang. Pada tahun 1947 Radjab kembali ke Jakarta. Kemudian, bersama-sama Parada Harahap, Rinto Alwi, dan Soewardi Tasrif mereka dikirim Kementerian Penerangan ke Sumatera. Setelah Clash I, dan Ibukota Sumatera pindah ke Bukittinggi, di kota itu mereka menerbitkan harian Detik yang dipimpin Parada Harahap dan berada di bawah Komando Penerangan Sumatera (Kopersum). Pada waktu itu di Bukittinggi juga diterbitkan harian Daulat Rakjat yang dipimpin Djamaluddin Adinegoro.

Radjab dan kawan-kawan baru kembali ke Jakarta setelah Perjanjian Renville menjelang Penyerahan Kedaulatan. Mereka melanjutkan Antara yang ketika itu dipimpin Mochtar Lubis dan bergantor di Paviliun Gedung Jalan Pegangsaan No. 56. Sebagai wartawan pejuang, mereka di sana bekerja tanpa gaji, kecuali mendapat makan tengah hari. Begitulah perjuangan wartawan ketika itu, seperti ditulis oleh Soebagjo I.N.

Ketika Mochtar Lubis kemudian menerbitkan Harian Indonesia Raja, Radjab ikut pula ke surat kabar itu. Tapi tidak lama, lalu ia kembali ke Antara dan bekerja di kantor berita milik pemerintah itu hingga akhir hayatnya.

Selama bekerja di Antara, Radjab sering merasa dipojokkan terutama ketika Antara dipimpin Djawoto yang beraliran komunis. Dikisahkan Soebagjo, semasa Djawoto, Radjab dianaktirikan di Antara. Dia tidak pernah diberi kesempatan untuk melawat ke luar negeri, sekalipun syarat-syarat untuk itu sudah ia penuhi.

Akibatnya, frustrasi demi frustrasi menimbuni hidup Radjab. Berulang kali ia cuhat kepada Soebagjo. “Saya ini sarjana, saya ini wartawan, saya ini pengarang, tapi saya ini tunawisma juga,” kata Radjab mengeluh. “Istriku sudah meninggal, anak-anakku masih kecil,” katanya seterusnya.

Bagitulah. Padahal Radjab bukanlah wartawan biasa. Ia juga seorang penulis yang hebat. Dia menulis setidaknya tiga buku yang terkenal. Selain Semasa Kecil di Kampung, ia juga menulis Dongeng-dongeng Sulawesi Selatan, hasil perjalanannya ke provinsi itu.

Dia juga menulis buku Perang Paderi yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1954. Buku itu dipuji oleh dalam sebuah resensi yang bagus oleh pengarang Perancis Jean Cuissinier dalam bukunya La Guerre de Padri. Pengarang itu menulis tentang buku Radjab antara lain:

“Sedikit sekali buku yang mengenai tentang Perang Padri yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Yang terbesar adalah buku Muhamad Radjab yang baru saja diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1954. Inilah karya seorang seniman di Tanah Air yang merdeka; maskipun si pengarang selalu memegang objektivitas, namun dia tetap menghormati kebenaran. Dikutipnya dengan teliti sekali sumber-sumber yang kebanyakan dari pihak Belanda, terbukti dari bibliografinya”

Radjab meninggal di Sumatera Barat, kampung halaman yang lama ditinggalkannya, pada 16 Agustus 1970 dalam usia 57 tahun, di saat perjalanan mengikuti Seminar Sejarah dan Budaya Minang di Batusangkar. Padahal, niatnya pulang kampung adalah untuk menulis buku lagi. Seperti diceritakan sahabatnya Soebagjo I.N.: “Sewaktu dia hendak berangkat ke kampung halamannya, dan mengemukakan hasratnya itu kepada saya, masih belum ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa dia menderita sesuatu penyakit,” tulis Soebagjo.

Lalu ia kutip kalimat-kalimat Radjab sendiri: “Jika seminar sudah selesai, saya akan meneruskan cuti besar tiga bulan. Saya akan mengumpulkan bahan-bahan untuk menulis buku,” kata Radjab.

Sahabatnya itu juga mengungkapkan kebiasaan Radjab. “Datang di suatu tempat, mengadakan wawancara dengan orang-orang di sekitar, menulis keterangan-keterangan itu di buku catatannya, kemudian dihimpunnya menjadi menjadi sebuah naskah untuk akhirnya diterbitkan menjadi buku, adalah kegemarannya.” (Hasril Chaniago)

Disadur dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)



BACA JUGA