-Bukik Mandi Angin Rimbo LaranganParu--Foto Thendra
Laporan Yethendra Bima Putra (Jurnalis sumbarsatu.com)
Sijunjung, sumbarsatu.com--Rimbo Larangan Paru atau Hutan Nagari Paru seluas 4.500 hektare di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat bertahan dari deforestasi. Sejak tahun 2017, Sumatera Barat kehilangan 31.367 hektare tutupan hutan alam.
Dari analisis Citra Satelit Lansat TM 8 yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia Warsi tahun 2020, tutupan hutan alam di Sumatera Barat mengalami penyusutan. Kini, tutupan hutan di Sumatera Barat tinggal 1,8 juta hektare atau 44 persen dari luas wilayahnya. Penurunan terjadi disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah izin baru untuk perusahaan logging, upaya pembukaan lahan baru untuk perkebunan, pembalakan liar, dan pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Bertahannya Rimbo Larangan Paru dari deforestasi merupakan hasil kesepakatan adat tahun 2001 dan Pernag (peraturan nagari) Nomor 1 tahun 2002. Masyarakat dilarang menebang dan mengambil kayu di hutan hujan tropis itu. Selain itu, Rimbo Larangan Paru ditetapkan sebagai hutan desa (nagari) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 2014.
Satgas PHBN Paru Sahirman--Foto Thendra
Pengakuan Sahirman (78), Ketua Satgas PHBN (perlindungan hutan berbasis nagari) Paru, sebelum tahun 1986 mesin chainsaw banyak beredar di Hutan Paru. Di mana ada kayu, di situ mesin chainsaw meraung-raung. Pohon-pohon tumbang, dipotong-potong, berkubik-kubik meninggalkan kampung. Bahkan ada yang menebang kayu tanpa setahu ninik mamak (pemangku adat). Pembalakan liar itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat, tapi juga orang luar.
Masyarakat Paru sendiri tidak memiliki mesin chainsaw tapi orang luar yang punya. Mereka berkongsi.
"Sebelum tahun 1986, aparat baju kuning (polisi) dan baju hijau (tentara) 'berhak' bermain (menebang kayu). Ninik mamak dan kami takut kepada mereka. Maklum kami yang di pedalaman ini tidak tahu hukum dan undang-undang. Tak ada yang membela kami," ujar Sahirman yang juga juru kunci Rimbo Larangan Paru, Sabtu (21/8/2021) di rumahnya di Nagari Paru.
Penebangan kayu yang merajalela membuat Sungai Batang Paru susut airnya. Hulu dan mata airnya dari kawasan hutan di Sungai Sirah. Dalam Sungai Batang Paru terdapat hingga lima anak sungai, dan bermuara ke Sungai Batang Kuantan.
"Dampak kayu ditebang pernah saya melihatnya. Dulu, kami bisa merendam sepuluh ekor kerbau di lubuk (Sungai Batang Paru). Tapi cobalah tebang kayu, seekor kerbau pun tak bisa direndam," kata Sahirman.
Sungai Batang Paru merupakan sumber utama pengairan sawah dan air bersih bagi masyarakat yang umumnya petani.
Salah satu adat di Nagari Paru ialah anak diberi bapak tanah persawahan, digelar perhelatan dengan memotong seekor kambing, diimbau urang nagari. Sawah itu disebut juga sawah pemberian. Sahirman menerima pula sawah pemberian dari bapaknya.
"Bapak saya berpesan, di mana tanah persawahan, di situ hutannya, pertahankan hutannya oleh kau. Inilah pemberian bapak saya, tanah persawahan, inilah (Hutan Paru) hulu airnya, saya pertahankan mati-matian," ungkap Sahirman.
Sejak tahun 1986 Sahirman melakukan perlawanan terhadap pembalakan liar di Hutan Paru. Ada sekitar 50 hektare sawah yang dijaga hulu airnya kala itu.
Sahirman pernah mengejar dengan lading pengusaha etnis Tionghoa pemilik PT Lestari. Pengusaha itu minta izin kepada ninik mamak, diberi izin di Lubuk Ambacang, Balai Tangah tapi ditebang pula kayu di Sungai Sirah.
"Ternyata dia mengicuh, mengambil kayu di Balai Tangah, dia lalukan juga ke hulu air (Sungai Sirah). Dia lihatkan surat izin ninik mamak. Iko surat izin untuk Lubuk Ambacang, kok sampai ke sini. Banyak cincongnya. Saya bilang, ini (penebangan kayu) di hulu air saya. Saya kejar dia jo lading," kenangnya.
Pengusaha itu dipaksa berhenti menebang kayu dan dipanggil ke kantor kepala desa (kini kantor wali nagari)--Sahirman menyepaknya di situ. Saat itu, Sahirman mengaku usianya masih 40-an, berdarah panas, dan berani menanggung risiko apa pun.
Pada tahun 1986-1987, Sahirman tak hanya berhadapan dengan pengusaha kayu, tapi pernah bersengketa dengan aparat (tentara).
"Coba waang (kau) tebang (kayu). Nyawa waang, den (aku) sudahan (habisi), kalau ndak nyawa den melayang (mengacungkan lading panjang)," ujarnya.
Dari perlawanan Sahirman itu perlahan-lahan membangkitkan kesadaran komunal. Masyarakat mulai peduli, jika kayu terus ditebang, sumber mata air akan kering, dan bila musim hujan terjadi longsor. Lalu, dibuat kesepakatan adat tahun 2001 dan menjadi peraturan nagari tahun 2002 untuk melindungi Hutan Paru.
Dalam peraturan nagari itu, Hutan Paru yang dijadikan rimbo larangan dua lokasi, yaitu Bukik Mandi Angin (3.000 hektare) yang dilintasi Jalan Kabupaten Aie Angek-Paru di Jorong Batu Ranjau dan Sungai Sirah (1.500 hektare) di Jorong Bukik Buar. Tujuannya menjaga flora dan fauna, sumber mata air, dan menghindari longsor. Bagi yang melakukan penebangan kayu atau pembalakan liar dikenakan sanksi berupa denda satu ekor sapi.
Pada Februari 2003, ninik mamak dari enam suku di Nagari Paru melakukan kesepakatan tertulis yang terdiri dari A. Datuak Panji Alam (Ketua Kerapatan Adat Nagari Paru dan Pangulu Suku Malayu Baruah), M. Zen Datuak Gindo Tamarajo (Pangulu Suku Patopang), Suhur Datuak Ketemanggungan (Pangulu Suku Piliang), Sy. Datuak Pangulu (Pangulu Suku Malayu Ateh), Yasir Datuak Bandaro Hitam (Pangulu Suku Caniago), dan Sahirman Datuak Gadang Jolelo (Pangulu Suku Malayu Tangah) serta Wali Nagari Paru Iskandar.
Mereka sepakat memelihara hutan lindung di Mudiak Mangan (Bukik Mandi Angin), Sungai Durian, dan Sungai Sirah. Bila terbukti ada yang menebang kayu atau merusak hutan lindung tersebut dikenakan sanksi/denda satu ekor sapi (jawi). Bila yang bersangkutan tidak memenuhi atau tidak membayar sanksi/denda tersebut maka proses hukum selanjutnya diserahkan kepada aparatur penegak hukum dan dituntut berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Sahirman yang bergelar Datuak Gadang Jolelo (Pangulu Suku Malayu Tangah) ditunjuk sebagai juri kunci Rimbo Larangan Paru. Ia pun mendapat pelatihan pengamanan hutan swakarsa PHBN (pengamanan hutan berbasis nagari) oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat di Padang pada tahun 2013.
Meski kesepakatan adat dan peraturan nagari telah dibuat, bujukan memberi izin menebang kayu di Rimbo Larangan Paru mendatangi Sahirman. Pengusaha kayu menyodorkan uang ratusan juta.
"Tahun 2004, setinggi ini uang (memperagakan dua tangan berjarak sekitar 20 centimeter) datang kepada saya. Ini pitih (uang) belanja untuk Ongah (bapak), nanti hasil kayu kita bagi dua. Ada juga perusahaan kayu yang membawa oto (mobil) buka kertas. Tapi semua itu saya tolak. Orang lain yang berlaba, kami yang rugi. Hutan kami separuh hancur, tinggal yang sekarang kami pertahankan," kata Sahirman.
Sahirman usianya kini tidak lagi muda. Ia dikaruniai 8 anak, 14 cucu, dan 2 cicit--baginya itu adalah kekayaan. Sehari-hari ia menggembalakan 7 ekor kerbau. Namun, semangatnya menjaga Rimbo Larangan Paru tidak pudur. Sekali sebulan ia menyusuri hutan hujan tropis itu, melihat kondisinya, menjaga hulu sungai.
"Saya masih kuat jalan menyusuri rimbo larangan, asal tidak membawa beban," ucap Sahirman dengan suara yang masih lantang.
Menegakkan Pernag, Menjaga Mata Air, Panen Padi Tiga Kali Setahun
Nagari Paru dengan luas 7.800 km²--terdiri dari Jorong Batu Ranjau, Jorong Bukik Buar, dan Jorong Kampung Tarandam--merupakan bagian dari sembilan nagari di Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Nagari Paru dilintasi Bukit Barisan, berdampak pada topografinya. Ketinggiannya bervariasi, antara 100-850 meter dari permukaan laut. Beriklim tropika. Penduduknya 2.300 jiwa dan 800 KK (kepala keluarga).
Permukiman warga terletak di sekitar jalan kabupaten dan jalan nagari, dikelilingi rimbo larangan. Meski sudah dialiri listrik dari PLN, namun Nagari Paru masih blank spot (belum ada sinyal seluler). Masyarakat Paru adalah agraris, bermata pencaharian dari hasil sawah dan ladang (terutama karet dan kelapa).
"Sejak adanya Rimbo Larangan Paru, mata air terjaga. Kami gali potensi yang ada, untuk air minum dan air sawah. Kapan pun kami bisa turun ke sawah, bahkan di musim kemarau. Di musim kemarau musuh padi tidak banyak," ungkap Wali Nagari Iskandar (56), Minggu (22/8/2021).
Luas sawah di Nagari Paru sekitar 500 hektare. Kini satu hektare sawah bisa menghasilkan 6-7 ton padi setiap kali panen. Dulu masyarakat turun ke sawah sekali setahun dengan sistem tadah hujan, kini tersedianya sumber mata air turun ke sawah tiga kali dalam setahun.
"Saat saya kecil, tahun 1970-an dan 1980-an, nagari kami mengalami krisis air dan bila musim hujan longsor, akibat merajalela penebangan kayu. Nagari kami ini daerah perbukitan," kata Iskandar.
Sungai Batang Paru-Foto Thendra
Bahkan longsor itu pernah menutupi ruas Jalan Kabupaten Paru-Aia Angek di Bukik Mandi Angin, sehingga masyarakat terpaksa harus menempuh lebih kurang 100 kilometer menuju pusat Kecamatan Sijunjung, yakni melalui Nagari Sungai Betung, Aia Amo, Kamang, Kilaranjao, dan Tanjung Gadang. Padahal, jika menempuh Jalan Kabupaten Paru-Aia Angek hanya 29 kilometer.
Peristiwa longsor yang menutup ruas jalan kabupaten itu terjadi tahun 1990-an. Saat itu pembalakan liar masih terjadi di hutan Nagari Paru. Kayu bertumpuk-tumpuk di pinggir jalan. Namun, perlawanan terhadap perusak alam gigih pula dilakukan masyarakat.
"Kami pernah menangkap polisi yang menebang kayu. Orang menyebutnya oknum. Kami ndak ada istilah oknum. Yang berlambang polisi, ya polisi. Kalau oknum nanti pribadi orang yang disalahkan oleh komandannya. Kami laporkan kepada Kapolres, ketika itu Kapolresnya(Sawahlunto/Sijunjung) Ikhlas Yusuf. Ijin, Pak, anak buah bapak menebang kayu. Langsung kami gitu kan," kata Iskandar.
Saat kesepakatan adat dan peraturan nagari tentang Rimbo Larangan Paru dibuat, diketahui dan ditandatangani oleh ninik mamak dan wali nagari tetangga yakni Nagari Aia Angek, Sungai Betung, dan Durian Gadang. Danramil, Kapolsek, dan Camat Sijunjung turut pulamenandatanganinya.
"Wali nagari tetangga juga mensosialisasikan kepada warganya tentang Hutan Paru jadi rimbo larangan. Kalau kami bikin peraturan tanpa diketahui nagari sebelah, kan repot juga nanti," ujar Iskandar.
Empat tahun awal penetapan Rimbo Larangan Paru terjadi lima kali pelanggaran. Pelakunya masyarakat Paru dan dari luar. Mereka didenda sapi dan diuangkan, kayu curian disita, digunakan untuk kepentingan nagari. Ada pula yang komplain, dilarang menebang kayu menghambat ekonomi, tapi nada sumbang itu hanya di belakang.
"Pro dan kontra tentang rimbo larangan masih ada. Memang belum 100 persen setuju. Tapi Kami rangkul ninik mamak, tokoh masyarakat, dan kelompok tani. Yang penting ikut aturan nagari. Yang ingin menebang kayu taroklah 10 persen, petani yang butuh air 90 persen. Mana yang banyak, itulah yang memotivasi kami menegakkan Pernag," imbuh Iskandar.
Selain itu,dibentuk Satgas PHBN (perlindungan hutan berbasis nagari). Ada yang merusak, ada yang marah. Yang bertindak tidak hanya Satgas PHBN tapi juga masyarakat. Jadinya mendarah mendaging melindungi.
"Tahun 2019 ada pelanggaran. Empat orang, masih muda, di bawah 25 tahun umurnya. Warga Paru. Mereka baru menebang dua batang kayu. Kami serahkan kepada ninik mamaknya, didenda seekor sapi, diuangkan, digunakan untuk keperluan nagari. Kami juga berkoordinasi dengan Polhut (polisi hutan) dan KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung)Sijunjung. Yang melanggar hukum, jika perlu diserahkan ke ranah hukum," tegas Iskandar.
Setelah 4 tahun tegaknya Pernag Rimbo Larangan Paru ada peluang jadi hutan desa nasional. Diusulkan 4.500 hektare rimbo larangan itu. Surat keputusan Menteri Kehutanan turun tahun 2014. Hak kelola hutan desa selama 35 tahun. Bisa diperpanjang asal aset hutan tidak rusak.
"Prosesnya panjang. Dari provinsi ke kementerian. Bolak-balik. Orang kementerian awalnya tidak percaya. Kami bawa mereka untuk melihat Rimbo Larangan Paru, baru percaya," ungkap Iskandar.
Sesuai aturan hutan desa, yang bisa diambil dari Rimbo Larangan Paru adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK),seperti rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian.
Di Rimbo Larangan Paru terdapat banyak jenis rotan dan manau. Dari riset Nunung Puji Nugroho dan Dona Octavia (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 2020), ada 18 jenis rotan dan sembilan di antaranya masuk ke dalam daftar 20 jenis tanaman HHBK dominan. Berdasarkan hasil pengamatan pada 98 plot, rotan sikai (Calamus sp.) ditemukan dalam jumlah terbanyak, yaitu 149 individu, diikuti oleh rotan semut (Daemonorops verticilliaris (Griff.) Mart.) dan rotan udang (Calamus spectabilis Bl.) dengan jumlah masing-masing 119 dan 114 individu.
Menurut Sunarto (43), salah satu pengrajin rotan di Nagari Paru, di Rimbo Larangan Paru terdapat jenis rotan terbaik yaitu rotan sago. Namun, belum ada mesin pengolahan rotan di nagari tersebut. Ia mengambil rotan olahan dari Padang.
Sunarto yang memiliki basis kerajinan ukiran Jepara pernah mendapat pelatihan kerajinan rotan bersama masyarakat lainnya yang diadakan oleh Nagari Paru tahun 2017. Ia terus mengembangkannya. Saat ini, ia sudah menghasilkan kerajinan rotan seperti wadah cermin, boneka, pot bunga, kursi, meja, dan lemari dengan kualitas yang mumpuni. Ia mengaku sanggup membuat produk rotan pesanan konsumen.
"Harga mesin pengolahan rotan tersebut ratusan juta. Dana desa (nagari) kami saat ini Rp1 miliar per tahun. Kami sedang mengusahakan pengadaan mesin pengolahan tersebut dan mengembangkan kerajinan rotan," kata Iskandar yang menjabat Wali Nagari Paru periode 2001-2007, 2013-2019, dan 2019-2025.
Selain itu, direncanakan pula membuat wisata alam, kebun buah,camping ground di hutan nagari, dan akan dibangun jalan ke lokasi dari dana desa. Di Nagari Paru terdapat ratusan ngalau (gua), salah satunya Ngalau Batang Lansek yang di dalamnya mengalir sungai kecil.
Mencari Rotan di Sungai Sirah
Suara enggang mengentalkan kesunyian hutan hujan tropis Rimbo Larangan Paru saat kami mencari rotan dan beristirahat di tepi Sungai Batang Paru di kawasan hutan Sungai Sirah. Saya menebarkan pandang, mencari di pohon mana burung raja rimba itu hinggap.
"Itu enggangnya, Bang," ujar Nandes (26), pemuda Nagari Paru, menunjuk sebuah pohon besar di kejauhan.
Mencari rotan di Sungai Sirah Rimbo Larangan Paru--Foto Thendra
Dua ekor enggang terbang dari pohon besar di kejauhan itu, memasuki langit Minggu (22/8/2021) siang yang agak muram dan mengandung hujan. Saya ingin memotret enggang itu, mengabadikan burung yang terancam punah itu seiring deforestasi masif hutan hujan tropis Sumatera. Namun, enggang itu terbang begitu lekas.
Di Rimbo Larangan Paru masih terdapat hewan yang terancam punah seperti siamang, ungko, beruang, enggang, dan harimau Sumatera. Sahirman mengaku pernah jumpa Inyiak (panggilan kehormatan orang Minangkabau kepada harimau Sumatera), jaraknya sekitar 5 meter. Namun, Inyiak tersebut tidak mengusiknya. Ia juga mengatakan Inyiak di Rimbo Larangan Paru jarang memasuki permukiman warga dan tidak pernah mengusik ternak. Harimau rantau (dari hutan lain) yang kadang masuk permukiman dan mengusik ternak. Biasanya, Inyiak akan mengaum apabila harimau rantau datang, seperti memberi tahu warga.
Selepas enggang itu terbang, saya, Jaka Hendra Baittri (jurnalis Mongabay), Nandes, dan Ilhendra (pemuda Nagari Paru) melanjutkan perjalanan mencari rotan. Kami sampai di Mudik Ampang, Sungai Sirah. Dari tepi Jalan Kabupaten Paru-Durian Gadang, kami menuruni tebing tanah yang licin karena usai disiram hujan, lebih kurang 15 meter. Akar dan kayu kecil dijadikan pegangan, agar tidak terjelepak dan merosot atau terguling-guling ke bawah.
Kami sampai di bawah, disambut kayu meranti berukuran sekitar 8 pelukan orang dewasa yang di sampingnya mengalir sungai kecil selebar sekitar satu meter. Nandes dan Ilhendra (21) menemukan rotan yang banyak tumbuh di situ, meraut kulitnya yang berduri tanpa tertusuk, memotongnya, lalu menggulungnya dan menyandangnya di bahu.
"Iko rotan semut, masih muda, kita cari lagi ke atas," kata Ilhendra sambil melihatkan segulung rotan.
Masyarakat Paru mencari rotan biasanya tergantung permintaan, karena belum ada toke (pengepul) tetap.
Kami memudik air sungai kecil, lalu menaiki tebing tanah yang licin setinggi sekitar 7 meter. Nandes dan Ilhendra begitu lincah menaiki tebing licin itu, berpegangan pada akar dan kayu kecil. Selincah mereka menguliti dan memotong rotan.
Di atas, semak tidak terlalu rapat dan kayu-kayu besar tumbuh bebas salah satunya mersawa. Kami masih mencari rotan dan berharap jumpa anggrek hutan. Di Rimbo Larangan Paru terdapat banyak anggrek hutan, salah satunya anggrek hitam. Menurut Iskandar, anggrek hitam dari Rimbo Larangan Paru pernah dipamerkan di Abu Dhabi dan disaksikan oleh salah satu anggota DPRD Sijunjung.
Namun, peruntungan belum berpihak kepada kami, tak ada anggrek hutan dijumpai. Saya menemukan kubangan babi hutan. Hari berasak petang. Langit mendung bikin suasana hutan jadi lekas gelap sebelum waktunya.
Kami kembali ke tepi Jalan Kabupaten Paru-Durian Gadang, menyusuri jalan yang sama. Tiba di sungai kecil dekat kayu meranti besar, kami jedah sejenak, merendam kaki di air yang jernih dan sejuk. Dua ekor acek (pacet) menggigit punggung kaki kanan saya, satu ekor lagi menggigit di bawah mata kaki kiri saya. Lagi pula saya mengenakan sandal gunung. Sebelum acek itu menjadi gemuk karena terus menyedot darah, saya singkirkan mereka. Acek biasa ditemukan di hutan hujan tropis yang masih alami.
Kami melanjutkan perjalanan. Tiba di tepi Jalan Kabupaten Paru-Durian Gadang kami rehat. Ilhendra menempelkan timah rokok di bekas gigitan acek di punggung kakinya yang kanan untuk menghentikan darah mengalir. Dia menyarankan saya melakukan hal serupa. Tak sampai sehisapan sebatang rokok, darah di kaki saya berhenti. Nandes dan Jaka Hendra Baittri kakinya tidak disantap acek.
"Kayu meranti yang kita jumpai tadi jika ditebang sekitar 9 kubik. Harganya Rp2,5 juta per kubik. Ninik mamak dikasih uang Rp200 juta oleh pengusaha kayu agar diberi izin menebang kayu, itu sama saja 10 kayu meranti dari hutan sini yang diberikan kepada ninik mamak. Yang dicari biasanya kayu banio, mersawa, dan meranti, itu masih banyak di Rimbo Paru," kata Ilhendra.
Ilhendra dan Nandes berharap rimbo larangan di kampungnya tetap bertahan dari deforestasi, tidak bernasib seperti hutan nagari lain di Kabupaten Sijunjung yang kayunya ditebang dan tergerus kekayaan hayatinya, seperti di Kecamatan Sijunjung, Tanjung Gadang, Lubuk Tarok, Sumpur Kudus, dan Kamang Baru.
Kabupaten Sijunjung yang dilintasi Bukit Barisan, topografi ketinggian bervariasi antara 120-930 meter dari permukaan laut, dengan kemiringan 15-40 persen. Luas wilayahnya 3.130,40 kilometer persegi atau sekitar 313.040 hektare. Terdiri dari 8 kecamatan, 61 nagari dan 1 desa.
Dari topografinya Kabupaten Sijunjung sangat rawan terhadap longsor dan banjir jika kayu terus ditebang, sebagaimana dialami Nagari Kamang dan Kunangan Parit Rantang, Kecamatan Kamang Baru yang kini jadi langganan banjir di musim hujan. Menurut Bagus Budi Antoro, Ketua DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kabupaten Sijunjung, jumlah lahan sawit di Kabupaten Sijunjung saat ini sekitar 8.000 hektare. Dan sekitar 60 persen dari luas lahan tersebut berada di Kecamatan Kamang Baru.
Selain itu, di Nagari Padang Tarok, Kecamatan Kamang Baru terdapat PT Multi Karya Lisun Prima (MKLP) dengan SK Kemenhut nomor: 347/Menhut-II/2011, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) dengan luas lahan 28.885 hektare selama 45 tahun.
Rimbo Larangan Paru satu-satunya hutan nagari yang dilindungi di Kabupaten Sijunjung, jadi anomali di tengah deforestasi hutan hujan tropis kian masif.***
Liputan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center