Paradoks Nilai Demokrasi Modern di Nagari

--

Selasa, 29/06/2021 12:42 WIB

OLEH Marwansyah (Pemerhati Nagari dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Unand)

Nagari lahir sebelum negara ada, bahkan  ia telah lebih dahulu ada dari pada demokrasi, yang kemudian menjadi nilai universal, di dunia, termasuk Indonesia. Namun pertanyaannnya adalah kenapa hari ini seolah-olah nilai-nilai banagari digantikan dengan nilai-nilai demokrasi.

Orang lebih mengenal musyawarah mufakat, persamaan nasib, saling menghargai dan lain sebagainya merupakan nilai-nilai demokrasi. Padahal sejak dulu secara turun temurun orang tua kita mengenalkan itu sebagai nilai-nilai banagari, bagi kita di Minangkabau. Musyawarah mufakat sudah ada dalam filosofi Minangkabau, bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakat, bulek lah buliah digolongkan, pipieh lah buliek dilayangkan, persamaan nasib digambarkan sadanciang bak basi, saciok bak ayam, dan bahkan di semua lini kehidupan telah termaktub dalam nilai banagari.

Apakah akan terjadi seperti apa yang dikhawatirkan oleh orang tua kita “jalan dialiah urang lalu, cupak dialiah dek urang panggaleh, sakali aia gadang, sakali tapian barubah”

Maka sangatlah perlu kita mencoba mangkaji kembali dan menelusuri akar permasalahannya, sehingga ada suatu tindakan preventif yang mampu menjaga nilai-nilai banagari ini. Bukankah ini merupakan cita-cita kita dulu diawal reformasi pada saat keluarnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Saat itu kita sepakat mencanangkan, menggaungkan kembali ke nagari, kembali banagari, babaliak ka surau. Pada intinya adalah semua masyarakat Minangkabau ingin kembali menerapkan nilai-nilai banagari tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi sangat disayangkan momentum ini, tidak mampu dimanfaatkan oleh tokoh adat dan pemangku kepentingan lainnya untuk berpadu.

Paling tidak ada dua momentum besar yang terlewatkan begitu saja, pertama keluarnya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan kedua ketika diterbitkannya Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa. Bahkan Undang-Undang 6 tahun 2014 telah membuka ruang yang lebar bagi kita untuk dapat merumuskan nagari sebagai desa adat, namun lagi-lagi usaha kita belum menemukan hasil. Walaupun sebenarnya respons cepat juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dan Perda 07 tahun 2018 tentang Nagari.

Jadi apakah yang menjadi permasalahan mendasarnya?  Kenapa begitu sulit pada zaman ini kita kembali menerapkan kehidupan bernagari?  Menurut penulis, jawabannya adalah adanya pemahaman, bahwa sistem terbaik hari ini adalah demokrasi, semua disandarkan pada demokrasi, bahkan undang-undang yang diciptakan oleh pemerintah pusat, menjadikan demokrasi sebagai tujuannya. So, apakah salah demokrasi dijadikan sandaran nilai? Tentunya tidak sepenuhnya juga salah, akan tetapi kalau kita berkaca pada filosofi budaya kita di Minangkabau, ada atau tidak ada demokrasi, sebenarnya nilai itu telah ada pada masyarakat kita. Namun kenapa sekarang, kita menganggap bahwa semua itu adalah nilai demokrasi. Dan bahkan demokrasi yang kita pahami sudah pada nilai kebebasan dan nilai di mana mayoritas suara menjadi penentu. Kadang kala mengangkangi nilai-nilai adat dan budaya yang kita pahami selama ini.

Melihat dari persoalan diatas penulis setuju apa yang dikatakan Plato (472-347 SM) bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya. Plato dalam bukunya The Republic mengatakan, "Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai."

Bila ditelisik lebih jauh, maka beberapa fakta yang menjadikan demokrasi telah mengalahkan nilai-nilai banagari, antara lain: Pertama, permasalahan muncul adalah ketika nagari “dipaksakan” mengadopsi atau melaksaakan sistem demokrasi ala Barat. Demokrasi ala Barat yang dimaksud adalah bahwa semua kebijakan politik dan pembangunan di nagari ditentukan oleh suara terbanyak, dan semua memiliki suara yang sama dalam proses politik yang ada. Dan ini jelas mengangkangi musyawarah untuk mufakat sebagai nilai transedental di Minangkabau.

Minangkabau selama ini sistem pengambilan kebijakan lebih kepada sistem perwakilan, kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alua jo patut. Artinya semua aspirasi anak nagari semestinya disampaikan secara berjenjang, ini jugalah kenapa seorang penghulu kalau mau pergi bersidang ke Balai Adat, mampir dulu ke rumah kamanakan atau Bundo Kanduang. Tujuannya adalah mengambil baju gadang/baju ninik mamak, dan menanyakan kepada anak kemanakan, aspirasi apa yang mau disampaikan dalam nagari.

Kedua, sistem pemerintahan nagari dalam konteks kekinian yang disamakan dengan desa, inilah yang menjadi penyebab  utama pengikisan nilai-nilai banagari tersebut. Nagari adalah wilayah hukum adat yang dipimpin oleh ninik mamak, sementara saat ini sistem pemerintahan nagari diselenggarakan persis sama dengan desa, dipimpin oleh wali nagari yang tidak memerlukan kualifikasi sebagai pemangku adat, walaupun secara peristilahan sebagian masih memakai istilah istilah banagari.

Beberapa kenyataan yang kita dapati di lapangan, sudah banyak nagari sebagai wilayah hukum adat di mekarkan menjadi beberapa pemerintahan nagari sehingga dalam satu nagari berdasar hukum adat, terdapat beberapa orang wali nagari.

Kemudian dengan adanya demokrasi, maka siapa saja bisa menjadi wali nagari, dan bahkan beberapa wali nagari di Sumatera Barat bukanlah orang Minangkabau.

Ketiga, mengutamakan voting daripada musyawarah dalam pengambilan kebijakan. Masyarakat nagari sebagaimana dipahami berada dalam dua kelarasan, walaupun secara alua jo patuik berbeda (Bodi Caniago/duduak samo randah tagak samo tinggi,  Koto Piliang/bajanjang naiak batanggo turun), tetapi dalam pengambilan kebijakan tetap mengutamakan musyawarah. Sementara dalam sistem demokrasi kekinian di nagari, seorang penghulu sama suaranya dengan seorang kemenakan, kemenakan dan mamak bisa saja berdebat, berbantahan dalam satu forum di nagari dan itu sudah menjadi seuatu yang biasa.

Keempat, konsep pemerintahan nagari kekinian telah banyak menghilangkan peran dari anak nagari dari proses pembangunan, seperti alim ulama, cadiak pandai, bundu kanduang, manti, dubalang dan lainnya.

Hal ini disebabkan bahwa pengambilan kebijakan politik dan pembangunan di nagari lebih disandarkan kepada suara terbanyak. Bahkan tidak jarang, lembaga-lembaga masyarakat nagari tersebut dimanfaatkan pada saat mau pemilihan wali nagari saja. Dan ini jugalah yang menjadi penyebab Perda Provinsi Sumatera Barat nomor 7 tahun 2018 menjadi layu sebelum berkembang. Dalam Perda tersebut lembaga-lembaga masyarakat adat ini mau difungsikan, tetapi terbentur dengan adanya demokrasi tersebut.

Tentunya yang lebih kita khawatirkan adalah terkikisnya nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai banagari ini dalam kehidupan, nilai yang bersandar kepada filosofi ABSSBK. Generasi yang akan datang, tidak lagi paham dengan hidup dengan nilai-nilai banagari. Maka untuk itu perlu upaya mengembalikan kehidupan banagari, agar generasi masa depan paham dan tahu dengan nagari dan nilai-nilai nagari. Upaya dan usaha ini harus dilakukan secara serius dan terstruktur, dan mencakup disemua lini kehidupan.

Boleh jadi, salah satu proses yang bisa dilakukan adalah restorasi, dimana kita sebagai masyarakat Minangkabau melakukan penggalian terhadap nilai-nilai banagari, merangkumnya sebagai sistem nilai bersama dan melahirkan payung hukum atau kesepakatan bersama untuk mengaplikasikanya. Restorasi ini pernah dilakukan oleh bangsa Jepang pascatragedi bom atom Hirosima dan Nagasaki. Setelah itu Jepang keluar sebagai salah satu negara terkuat didunia.

Kita yakin apabila stakeholder Minangkabau melakukan ini, maka nilai-nilai banagari kembali akan menjadi pakaian sehari-hari anak nagari Minangkabau. Apalagi kita mampu melahirkan payung hukum yang jelas dan tegas. Dan tentunya payung hukum tersebut adalah undang-undang khusus atau istimewa. Aceh saja bisa, kenapa kita tidak?*



BACA JUGA