Ranji Keluarga: Aspek Sosial-Budaya dari Residu Kabur Literasi dalam Masyarakat Minangkabau

-

Sabtu, 12/09/2020 19:22 WIB
Ranji

Ranji

OLEH Dr. Suryadi (Leiden University, Belanda)

Heboh di media sosial (medsos) dalam seminggu terakhir ini mengenai seorang politikus PDIP yang konon berasal dari Minangkabau yang garis keturunan matrilinealnya dikait(-kaitkan) dengan pendiri PKI Sumatera Barat, Bachtaruddin, setelah seorang narasumber dalam acara ILC-nya Karni Ilyas tanggal 8 September 2020 menyebut-nyebut itu, mengingatkan kita pada fungsi dan hakikat RANJI dalam kebudayaan dan masyarakat Minangkabau.

RANJI dalam konteks kebudayaan dan masyarakat Minangkabau antara lain berarti “silsilah keturunan” (lihat misalnya: Gouzali Saydam, Kamus Lengkap Bahasa Minang (Minang - Indonesia);Bagian Pertama. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004: 312).

Dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan nasab ibu (matrilineal), RANJI merupakan salah satu bukti kecil yang menunjukkan pengaruh tradisi tulis dalam masyarakat yang memiliki tradisi lisan yang kental ini.

Berdasarkan pengalaman hidup di kampung di wilayah rantau Pariaman sampai tahun 1990-an, hampir dapat saya pastikan bahwa jarang sekali orang Minang melihat bentuk fisik RANJI keluarga besar matrilinealnya, lebih-lebih lagi di kalangan keturunan yang lebih muda, walau mereka sering menyebut-nyebutnya. Ini disebabkan oleh kebiasaan turun terumurun untuk menyimpan RANJI itu secara rahasia dalam setiap kaum di Minangkabau di mana otoritas untuk menyimpan dan merahasiakannya di kalangan anggota kaum berada di tangan MAMAK yang paling senior atau MAMAK KEPALA WARIS dalam kaum-nya, lebih-lebih jika dia diangkat sebagai penghulu kaum atau penghulu suku.

Bahkan, sejauh yang dapat saya kesan dari eksplorasi saya terhadap koleksi Perpustakaan Leiden University dan perpustakaan-perpustakaan lainnya di Belanda selama lebih dari 20 tahun bermukin di negeri yang pernah lama mengkoloni Indonesia itu, RANJI Minangkabau, saking rahasianya, kelihatannya hampir-hampir tak tersentuh oleh otoritas kolonial Hindia Belanda yang suka mengumpulkan apa saja untuk disimpan dan dipelihara. Oleh karenanya saya belum menemukan manuskrip Minangkabau berupa RANJI keluarga matrilinieal yang tersimpan di Belanda.

Oleh karena itu pula, menarik kiranya untuk melakukan pengkajian lebih dalam tentang the nature and cultural significances RANJI dalam masyarakat Minangkabau. Kalau mau, ini bisa menjadi topik penelitian setingkat disertasi.

Sifat kerahasiaan RANJI itu di kalangan keluarga-keluarga matrilineal di Minangkabau sudah cukup dijadikan sebagai principal question untuk meneliti lebih dalam fenomena PERANJIAN Minangkabau ini: “Mengapa RANJI cenderung dirahasiakan? Bahkan di antara paruik-paruik yang ada dalam satu payuang atau kaum?”

Dari sini akan dapat dielaborasi beberapa pertanyaan yang lain yang menjadi dasar pijak penelitian yang akan dilakukan, misalnya:

  1. Hal-hal yang terkait dengan aspek filologis RANJI, seperti: a) bagaimana bentuk fisik RANJI?; b) jenis kertas apa yang dipakai untuk alas naskah RANJI? (dari sini kita dapat menentukan usia sebuah ranji); c) aksara apa saja yang dipakai untuk menuliskan RANJI (Jawi dan/atau Latin)? Apa saja yang dicatat dalam RANJI? Tentang hal ini, saya mendapat kesan selintas bahwa ada RANJI yang tidak mencatatkan nama-nama suami/ayah, karena mereka dianggap sebagai ‘orang luar’ (‘Abu di ateh tunggua’,‘Langau di ikua kabau’) dalam keluarga-keluarga besar matrilineal Minangkabau. Demikian juga misalnya, apakah ada perbedaan bentuk fisik, sistem penulisan, dan konten antara RANJI-RANJI di darek (wilayah asal Minangkabau) dan di rantau (seperti Pariaman) yang cenderung memosisikan ayah/suami dengan cara yang agak berbeda dengan di darek), dan lain sebagainya.
  2. Aspek kelisanan dan keberaksaraan RANJI. Sebagaimana terefleksi dari judul postingan/tulisan ini, saya berpandangan RANJI (produk tertulis) adalah sebentuk residu dari penetrasi budaya literasi yang datang dari luar ke dalam masyarakat Minangkabau yang hidup dalam tradisi lisan. Oleh sebab itu, menarik kiranya untuk ditelusuri kapan budaya penulisan silsilah keluarga Minangkabau melalui apa yang disebut sebagai RANJI ini dimulai? Secara etimologi dari mana asal kata ‘RANJI’ ini? Apakah ada cara lain yang bersifat lisan selaian cara pendokumentasian melalui RANJI (tulisan) ini yang dipakai untuk ‘merekam’ dan ‘mengingat’ silsilah keturunan (trah/pohon keluarga) dalam masyarakat Minangkabau?
  3. Aspek antropologis dan sosiologis RANJI. Ini tentu sangat menarik untuk diketahui lebih jauh. Intinya: apakah RANJI ikut memberi pengaruh atau turut menentukan pola-pola hubungan keluarga dan pola-pola konflik yang terjadi dalam payuang, kaum, atau suku di Minangkabau? Dalam kaitannya dengan hal ini, menarik bagi saya postingan seorang putra Minangkabau bernama Anggun Gunawan yang tinggal di Yogyakarta yang menulis di dinding FB-nya (12-09-2020) sbb:

Sengketa tanah memang menjadi sesuatu yg membelit ranah Minang. Banyak konflik keluarga terjadi karena pembagian warisan yg hanya berdasarkan SIA NAN BAGAK dan praktek2 manipulatif dari niniak mamak untuk ikut mendapatkan bagian dari pusako tinggi yang ada.

Biasanya yg memegang ranji itu adalah para mamak tertua... Seringkali ranji keluarga tak diupdate karena sang mamak sibuk di rantau dan tak tahu lagi dengan keadaan kemanakannya yg sudah menikah dan beranak-pinak...

Sebenarnya sangat urgen untuk menelusuri jejak-jejak penguasaan dan pembagian tanah yg tak adil di Minangkabau... Karena dengan itulah Minangkabau bisa kembali menjadi tanah yg berkah… Bukan tanah yg bersengketa tiada putus.”

Jadi, memang menarik sekali untuk meneliti lebih jauh tradisi PERANJIAN dan hakikatnya dalam masyarakat Minangkabau, meskipun penelitian lapangannya mungkin cukup sulit dan menantang. Bagaimana kekuatan tulisan digunakan sebagai legitimasi pengukuhan atau mungkin, sebaliknya, manipulasi dalam penguasaan tanah dan mungkin juga trah keluarga di Minangkabau, yang pada gilirannya menghadirkan paradoks-paradoks yang ikut mempengaruhi karakter dan dinamika masyarakat matrilineal terbesar yang masih tersisa di dunia ini.

RANJI ditulis tentunya untuk dapat diketahui oleh banyak orang (anggota keluarga besar matrilineal), sesuai dengan hakikat tulisan yang mengasatmatakan ide yang abstrak sehingga dapat diakses oleh orang lain, tapi di sisi lain ia justru dirahasiakan/disembunyi[-sembunyi]kan.

Interpretasi yang dapat dikemukakan, walau harus diuji lagi, adalah bahwa kecenderungan penyembunyian dan perahasiaan RANJI dalam satu keluarga besar matrilineal yang biasanya terdiri dari beberapa paruik, terkait kuat dengan kompetisi penguasaan tanah ulayat di antara anggota paruik-paruik dalam satu payuang atau kaum,dengan segala konsekuensi sosial-budayanya, seperti dapat dikesan dalam postingan Sdr. Anggun Gunawan di atas.

Jika di antara orang-orang dalam beberapa paruik dalam satu payung atau kaum saja masih saling merahasiakan RANJI kaum-nya, maka hampir dapat dipastikan bahwa nyaris tidak mungkin bagi seseorang yang berasal dari satu payuang atau kaum, walau masih dalam korong/jorong yang sama, dapat mengakses (baca: melihat, membaca) RAJI milik payuang atau kaum yang lain, apalagi kalau sudah berbeda nagari. Bukan tidak mungkin budaya konflik dan friksi antarnagari yang sudah ada jauh sebelum kuasa Barat masuk ke Minagkabau juga terkait dengan penguasaan tanah yang dirahasiakan melalui RANJI ini.

Sebagai contoh, pada awal 1936 terjadi percekcokan antara warga dua nagari – Koto Tangah (Kota Tengah) dan Air Tabit (Aia Tabik) – yang disebabkan oleh tumpang tindih klaim kedua belah pihak terhadap rimba larangan/tanah ulayat yang terletak di perbatasan antara kedua nagari yang bertetangga itu (lihat: Sinar Sumatra, No. 2, Tahoen ke 32, Hari Djoemahat 3 Januari 1936/4 Tjap Dji Gwee 2486 -8 Sjawal 1354). Banyak konflik antarnagari seperti ini terjadi pada masa lampau, yang sering diberitakan oleh media semasa.

Laporan di atas memberi kesan kepada kita kini bahwa persoalan batas nagari sering menjadi penyebab percekcokan antarnagari di Minangkabau, dan rupanya hal itu sudah berlangsung sejak dulu. Nagari-nagari yang merasa duduk sama rendah tegak sama tinggi itu saling mengklaim wilayah yang biasanya berupa rimba (hutan) yang terletak di perbatasan masing-masing nagari. Sangat mungkin hal ini juga disebabkan oleh ketidakterbukaan dalam mengetahui RANJI masing-masing, karena sebagai mana terefleksi dari penjelasan dalam kamus di atas, mestinya “ladang [tanah] lah sudah jo ranjinyo”, maksudnya batas penguasaan tanah dan siapa yang memilikinya seharusnya diketahui oleh pihak-pihak yang bersempadan.

Sepuluh tahun sebelumnya, surat kabar Sinar Sumatra, edisi 11 November 1926 dalam laporan yang cukup panjang yang berjudul “Poesaka Minangkabau gojang”,memberitakan konflik tanah yang sampai dibawa ke kantor Landraad Pariaman dan Justitie di Padang antara dua kaum yang sebenarnya saling berhubungan bako-anak pisang di Air Pampan, Pariaman: antara keluarga Sidi Badoesih (anak pisang) dan Marah Hakim (bako/kemenakan ayah), lantaran si anak pisang, yang mewakili keluarga matrilinealnya diam-diam (tanpa sepengetahuan saudara-saudara dan kemenakan-kemenakannya) telah menjual sebidang tanah yang sebenarnya dipinjamkan oleh almarhum ayahnya kepada keluarga istrinya, yang kemudian digugat oleh sang kemenakan ayahnya, Marah Hakim.

Laporan di atas juga memberi sugesti kepada pembaca untuk meneliti konflik tanah di Minangkabau dari perspektif sejarah. Rupanya konflik tanah sudah sejak lama menjadi bagian inheren dalam kebudayaan dan masyarakat Minangkabau.

Sumatera Barat termasuk wilayah dengan tingkat konflik tanah cukup tinggi di Indonesia. Penyebabnya antara lain adalah: klaim atas tanah yang tidak jelas karena transfer tradisi lisan yang mengandung ‘penjelasan’ atas status dan kepemilikan tanah terputus disebabkan oleh perubahan lingkungan sosial dan modernisasi, selain soal cara memperlakukan RANJI keluarga yang cenderung esoterik, sebagaimana telah digambarkan di atas.

Penyebab lain tentunya faktor yang lebih modern sifatnya, yaitu kodifikasi status tanah dengan proses sertifikasi yang menyebabkan sifat hak atas tanah berubah dari komunal kepada individual. Politik sertifikasi tanah ini, sampai batas tertentu, berpotensi menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat Minangkabau. Disadari atau tidak, pihak luar bisa ‘menangguk di air keruh’dari persoalan tanah yang khas Minangkabau ini. Mereka memanfaatkan konflik tanah yang terjadi dalam banyak keluarga atau nagari di Minangkabau itu untuk mengambil alih kepemilikan tanah dengan membelinya, sering dengan bekerjasama dengan representatif negara terkait yang memegang otoritas secara hukum dan kelembagaan.

Penelitian yang mendalam tentang RANJI Minangkabau mungkin dapat lebih menguak lagi lapis lebih dalam tabir rahasia etnis yang unik ini, sebuah kelompok masyarakat yang sebagai mana telah tercatat dalam sejarah Indonesia modern, melahirkan individu-individu dengan karakter dan ideologi yang paradoks, bahkan dari keluarga atau nagari yang sama, sebagaimana tercermin dari pribadi Ignatius Franciscus Michael Chalid Salim yang Kristen dan kakaknya Haji Agus Salim yang Islamis dan si PKI Bachtaruddin dan si Masyumi M. Isa Anshari yang sama-sama berasal dari Maninjau yang berdebat keras di arena politik nasional di Jakarta pada tahun 1955.

Leiden, Sabtu, 13 September 2020

 

Iklan

BACA JUGA